Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image DWIKA INTISHAR SHAFARA

Perwujudan HAM oleh Indonesia Melalui Perlindungan Pengungsi Myanmar

Politik | 2022-07-16 22:05:35
Oleh : Dwika Intishar Shafara. Mahasiswi Universitas Islam Indonesia. Prodi Hubungan Internasional.

HAM secara singkat dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, dan bukan karena diberikan oleh masyarakat atau hukum positif. Jika dirunut jauh ke belakang, sesungguhnya wacana HAM telah hidup bahkan sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi ketika terjadi perdebatan kontroversial yang menggeser hak objektif dan hak subjektif. Ketika itu sudah dikenal konsep hak, namun hak ini tidak melekat pada semua orang, melainkan hanya dimiliki sebagian orang sesuai status, kolektivitas, dan kelas. Isu-isu mengenai HAM berkaitan dengan masalah di masyarakat transnasional. Transnasionalisme secara luas merujuk kepada ikatan-ikatan dan interaksi-interaksi yang menghubungkan orang-orang atau institusi-institusi melewati batas-batas negara-bangsa. Jika merujuk pada pengertian tersebut, dapat dilihat bahwasanya isu-isu HAM berkembang dan terjadi di seluruh dunia. Sejak tahun 1948 dunia telah memiliki Universal Declaration of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati HAM.

Adapun dewasa ini, isu hak asasi manusia (HAM) dapat dikatakan sebagai salah satu isu yang paling hangat dibicarakan dalam hubungan internasional. Di tengah derasnya arus penegakan HAM, permasalahan HAM mengenai kasus mengenai hak perempuan, hak anak-anak, hak imigran, dan sebagainya semakin meningkat dan itu semua merupakan bentuk permasalahan HAM dalam masyarakat transnasional karena telah melintasi batas negara. Terutama permasalahan HAM dalam kasus penegakan HAM bagi pengungsi (Refugee). Human Rights Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari pengungsi yaitu United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR).

Berdasarkan konvensi dan peraturan mengenai pengungsi, sebagai pengungsi tidak berlaku abadi artinya bisa berhenti, persoalan yang timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa dirugikan statusnya sebagai pengungsi secara sewenang-wenang. Oleh karena itu penghentian status pengungsi harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban pengungsi adalah Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana mereka berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi mereka diatur oleh hukum dimana mereka ditempatkan (place of residence). Dari hal ini dapat terlihat bahwa meskipun suatu negara tidak menyetujui konvensi pengungsi, akan tetapi pengungsi tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan. Hal ini sendiri dapat terlihat dari apa yang dilakukan Indonesia terhadap pengungsi Myanmar. Padahal Indonesia menjadi salah satu yang belum menandatangani konvensi tentang status pengungsi.

Adapun sebagai wujud dalam pengimplementasian kebijakan luar negeri Indonesia untuk krisis pengungsi di Rohingya ini menggunakan bentuk diplomasi kemanusiaan. Namun uniknya, dibalik diplomasi tersebut melibatkan peranan perempuan sebagai pembuat kebijakan yaitu Retno Marsudi. Jika dikaitkan bagaimana pengaruh ataupun peranan dari Indonesia dan khususnya Retno Marsudi dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Rohingya ini dengan perspektif politik luar negeri, maka akan terlihat jelas bahwasanya melalui kebijakan luar negeri sendiri mempunyai bentuk misi demi mewujudkan kepentingan nasional Indonesia yang dimana salah satunya yaitu menciptakan keamanan dan juga perdamaian bagi dunia. Adapun hal ini berhubungan dengan teori menurutnya Rosenau dalam melihat mengenai kebijakan luar negeri, dimana menurutnya adanya bentuk kebijakan luar negeri itu sendiri dianggap sebagai strategi ataupun sebagai bentuk rencana yang disertai juga dengan bentuk tindakan yang telah dibuat oleh policy maker agar dapat mencapai yang dinamakan tujuan nasional atau kepentingan nasional.

Dalam hal ini Indonesia juga menunjukan bagaimana peranan dari pembuat kebijakan juga bisa berperan penting di dalam tatanan internasional sekalipun . Adapun bentuk bukti lainnya kebijakan Indonesia dalam merespon permasalahan pengungsi Rohingya yakni dengan cara menerima adanya kedatangan dari pengungsi Rohingya. Indonesia juga melakukan bentuk kerjasama dengan UNHCR dan juga bersama IOM dalam menangani permasalahan mengenai pengungsi yang ada di Rohingya .

Adapun bentuk wujud nyata kebijakan luar negeri dari Indonesia lainnya yakni dengan cara melakukan kerjasama dengan negara tetangga seperti Malaysia mengenai pengungsi Rohingya. Pada masanya Presiden Jokowi sendiri langsung langsung melalui langkah diplomasi yang dimana melakukan pendekatan dengan melalui persuasi ataupun bentuk soft diplomacy. Pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia juga memberikan bantuan mulai dari makanan, ataupun juga dalam bentuk obat-obatan yang berguna bagi pengungsi Rohingya. Bentuk kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia dalam mengatasi permasalahan pengungsi Rohingya ini sebagai wujud upaya Indonesia dalam mewujudkan dan melaksanakan cita-cita Indonesia dalam menciptakan keamanan dan juga perdamaian bagi seluruh dunia sesuai dengan prinsip dari politik luar negerinya Indonesia yaitu bebas aktif. Maka dari itu pula di sini Indonesia dalam mewujudkan hak asasi manusia terhadap pengungsi Myanmar meresponnya dalam bentuk kebijakan luar negeri. Salah satu bentuk contoh responnya adalah dengan menerima para pencari suaka, lalu Indonesia juga melakukan bentuk kerjasama dengan UNHCR dan juga bersama IOM, bahkan juga bekerjasama dengan negara Malaysia dalam memberikan bentuk bantuan pada pengungsi Rohingya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image