Malik bin Dinar dan Shalat Meminta Jabatan
Agama | 2022-07-16 06:14:05Ya Allah! Hanya untuk Engkaulah ibadah, hidup, dan matiku. Kuserahkan semuanya untuk Engkau!”
Itulah rintihan Malik bin Dinar Al-Sami, seorang ulama sufi yang hidup antara tahun 70 – 130 H. Sebelum terjun ke dunia sufi, ia hidup dengan bergelimang harta dan kemewahan di kotanya, Damaskus.
Suatu ketika, ia menginginkan jabatan menjadi pengurus masjid Umawiyah. Sebuah jabatan sederhana namun sangat strategis. Jika seseorang dapat menduduki jabatan ini, selain akan dekat dengan penguasa, juga akan mendatangkan kekayaan dan kemewahan.
Secara kasat mata, orang yang pantas menduduki jabatan tersebut adalah orang-orang yang palingsering ke masjid dan paling banyak melaksanakan ibadah di masjid. Oleh karena itu, Malik bin Dinar sesering mungkin melaksanakan ibadah shalatnya di masjid istana tersebut.
Ia senantiasa duduk di barisan terdepan. Sepanjang siang ia melaksanakan ibadah shalat sunat dengan berbagai bacaanwiridnya yang panjang, dengan hiasan linangan air mata. Hatinya senantiasa berbisik,
“Kalau orang-orang melihat ketekunanku beribadah seperti ini, pasti orang-orang secara aklamasi, tanpa deadlock, akan memilihku sebagai orang yang pantas memegang jabatan untuk mengurus masjid istana yang megah ini.”
Namun, ternyata bisikan hatinya berlainan dengankenyataan. Berhari-hari ia melaksanakan shalat sunat dan wirid-wirid panjang seharian, tak ada seorang pun yang memerhatikannya. Sebaliknya, orang-orang sangat acuh tak acuh terhadap kebisaaan Malik bin Dinar. Padahal dihitung-hitung sudah hampir setahun ia setia melaksanakan kebiasaannya tersebut.
Pada suatu malam, tiba-tiba hati nuraninya berbisik. Malahan seolah-olah ada yang berbisik ke telinganya,
“Hai Malik! Sampai kapan kau akan membohongi dirimu sendiri dengan ibadah-ibadahmu selama setahun ini? Sampai kapan kau akan berbuat munafik? Kapan kau akan bertobat?”
Ia segera tersadar. Ia menangis sedih. Hatinya hancur. Setahun penuh shalatnya dihiasi dengan kepura-puraan. Ibadah shalat yang dilakukannya demi meraih jabatan, bukan karena Allah.
“Mengapa aku tidak sungguh-sungguh melaksanakan ibadah shalat? Mengapa bukan rida dan ampunan-Nya yang aku kejar?” Demikian sejumput pertanyaan di hatinya.
Malik bin Dinar bangkit, dibuangnya segala keinginan terhadap jabatan yang selama setahun benar-benar ia impikan. Ia segera menyibakkan selimut duniawi yang selama hampir setahun menyelimutinya. Ia segera mengambil air wudhu, kemudian melaksanakan ibadah shalat. Dengan khusyuk ia menyerahkan diri kepada Allah swt. Hati dan pikirannya terfokus hanya kepada Allah SWT. Selepas shalat, ia mengucapkan istighfar, mengakui selama ini.
“Ya Allah! Inilah shalatku. Baru sekarang ini aku merasakan shalat yang betul-betul shalat. Tidak ada harapan apa-apa dalam hatiku selain mengharapkan rida, rahmat, dan ampunan-Mu.” Demikian sebagian dari rintihan dalam munajatnya.
Ketika sedang khusyuk-khusyuknya membaca tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil, ia mendengar suara ribut-ribut di luar. Orang-orang membicarakan pentingnya seorang pejabat yang mengurus masjid istana.
“Kita angkat saja Malik bin Dinar. Selain rajinberibadah di masjid ini, ia juga sangat mumpuni dalam ilmu agama dan kemasyarakatan. Ia paling baik akhlak dan takwanya diantara para jamaah masjid.” Seru orang-orang yang membicarakan Malik bin Dinar.
Malik bin Dinar terperangah. Badannya bergetar. Ia tersungkur, bersujud, air matanya membasahi sajadah. Hatinya merintih pedih.
“Ya Allah, setahun penuh aku shalat, bukan untuk mencari perhatian-Mu, tapi untuk mencari perhatian manusia, tak seorang pun yang menaruh perhatian kepadaku. Namun, baru sekali ini shalatku hanya untuk mencari perhatian-Mu, Engkau langsung mengirimkan beberapa orang untuk memperhatikanku. Mereka menawarkan jabatan sebagai pengurus masjid istana seperti yang aku impikan. Demi Keagungan dan Kebesaran Rahmat-Mu, aku malu menerima jabatan itu karena-Mu. Kini aku tak berminat lagi dengan jabatan itu.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.