Apapun Jenisnya, Polusi Itu Menyesakkan Kehidupan
Agama | 2021-11-14 20:09:16Pada saat ini kita nyaris sulit mendapatkan udara bersih. Di pedesaan maupun di perkotaan nyaris tak jauh berbeda. Dahulu di pedesaan lingkungan alamnya begitu indah, jauh dari kata polusi. Pepohonan menghijau, air bening mengalir, tanahnya subur, langit biru nampak indah dihiasi awan putih. Kesegaran udara pedesaan terasa nikmat tatkala semilir angin nan sejuk meniup tubuh. Kicauan burung yang terbang riang menambah keindahan.
Kini semua itu sangat sulit didapatkan. Hanya beberapa wilayah saja yang masih mampu mempertahankan keasrian alam tersebut. Inilah imbas dari kehidupan modern, hampir setiap jengkal dari kehidupan kita diselimuti berbagai polusi.
Langit biru tergantikan asap kelabu yang dikeluarkan cerobong asap pabrik dan knalpot kendaraan. Dahulu, air sungai mengalir jernih dengan berbagai hiasan ikan, menjadi aquarium alami yang indah. Kini, air sungai mengalir berwarna warni akibat buangan limbah pabrik-pabrik. Hiasannya bukan lagi ikan warna-warni yang berenang riang, tapi sampah-sampah plastik yang dibuang sembarang. Demikian pula dengan nasib tanah pertanian di sekitar kita, sudah tercemari zat-zat pestisida, sampah pelastik, dan zat-zat berbahaya lainnya.
Melangkah agak jauh, sebenarnya kemajuan teknologi yang tengah kita nikmati pada saat ini telah melahirkan pula polusi-polusi yang tidak kita sadari. Kita dapat merasakan polusi udara, polusi air, polusi tanah, dan polusi lainnya yang kasat mata. Namun, kita jarang menyadari, kita tengah diserang berbagai polusi yang tak kasat mata.
Merujuk ke pendapat Yasraf Amir Piliang (2011 : 250) dalam bukunya Bayang-Bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi, sekurang-kurangnya terdapat enam polusi yang tengah menyerang kita baik secara pribadi maupun massal. Pertama, polusi mata. Kelahiran berbagai media tontonan baik media cetak, televisi, film, terlebih-lebih setelah kelahiran smartphone dan mudahnya akses internet mengakibatkan mata sulit terpejam.
Jika tubuh kita berlebihan mengkonsumsi makanan akan mengakibatkan obesitas (kegemukan), mata kita pun demikian. Jika mata terlalu kekenyangan melihat berbagai tayangan, mata kita akan mengalami obesitas pandangan. Mata kita terkena racun berbagai tontonan yang melebihi batas kemampuan penglihatan, bahkan nyaris tanpa istirahat. Hampir 24 jam terangnya layar televisi, monitor laptop dan smartphone memaksa mata kita untuk bekerja ekstra.
Secara spiritual, tontonan, image yang disuguhkan berbagai media pada saat ini selain mengakibatkan mata kita kelelahan, lambat laun akan menyebabkan polusi spiritual. Mendangkalkan kepekaan kita akan dosa.
Sulit bagi kita pada saat ini untuk menundukkan pandangan mata dari perbuatan dosa. Melihat aurat orang lain misalnya. Kita kesulitan menghindari dari melihatnya, sebab aurat yang terbuka dan tersebar bebas, pada saat ini ada pada genggaman tangan kita. Ada di ujung ibu jari kita.
Harus jujur kita akui, pada saat ini kita kesulitan mencari rumah yang benar-benar bebas dari tayangan gambar yang mengumbar aurat. Televisi, internet, dan smartphone sebagai ruang terbuka sering menyuguhkan gambar-gambar hidup yang mengumbar aurat.
Melihat tayangan aurat orang lain sudah dianggap wajar dan sudah tidak terasa sebagai dosa lagi. Benar kata Aristoles, seorang Filosof Yunani, sesuatu yang dilakukan semua orang secara berulang-ulang, dan semua orang membiarkannya, lambat laun perbuatan tersebut akan dianggap wajar dan benar, sekalipun hakikat dari perbuatan tersebut salah dan melanggar moral.
Dalam sebuah hadits dikatakan, malaikat rahmat akan selalu hadir menyertai orang-orang yang menjaga pandangannya. Kini, jangan-jangan malaikat rahmat sudah lari menjauh dari rumah dan kehidupan kita, sebab hampir setiap hari pandangan kita dijejali dengan memandang gambar yang melanggar ketentuan norma-norma agama.
Kedua, polusi kebendaan. Polusi ini ditunjukkan dengan hasrat kita untuk memiliki benda melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Kita merasa bangga memiliki benda yang lagi trend tanpa lagi memperhatikan kebutuhan dan kegunaannya, dengan kata lain lebih banyak memenuhi keinginan daripada kebutuhan.
Kita membeli smartphone dengan berbagai aplikasi yang lengkap, padahal yang kita butuhkan hanya fasilitas menelpon dan mengirim SMS atau Whatsapp saja. Demikian pula dalam hal berpakaian, kita senang membeli pakaian dengan pola yang lagi trend, memenuhi keinginan. Pantas atau tidaknya ketika dipakai, itu urusan lain.
Kepemilikan benda yang berlebihan akhirnya melahirkan berbagai kesibukan baru, yakni mengurus benda-benda yang kita miliki. Setiap hari kita mengurusi penampilan benda-benda yang kita miliki (sepeda motor, mobil, smartphone, dan koleksi lainnya). Akhirnya, kita terlena dengan mengurus benda-benda tersebut, dan kita pun rela kehilangan nilai-nilai spiritual dari kehidupan. Contoh yang paling dekat, kita rela mengakhirkan melaksanakan ibadah shalat, meninggalkan membaca al-Qur’an karena kesibukan mengurus benda-benda yang kita miliki.
Ketiga, polusi informasi. Seperti halnya dua polusi sebelumnya, pada saat ini hampir setiap detik kita diserang berbagai informasi. Dahulu, ketika informasi hanya bersumber dari radio, televisi, dan media cetak yang terbatas baik durasi siaran maupun penerbitannya, kehidupan jiwa dan lingkungan kita tidak terlalu gaduh. Selain itu, informasi yang kita terima pun masih akurat, bisa dipercaya kebenarannya.
Serangan informasi yang bertubi-tubi tersebut menyebabkan diri kita mengalami kedangkalan dan kepekaan dalam menilai dan menganalisa kebenaran. Kita tidak mau lagi memilih, memilah, mengambil manfaat, dan menggali pelajaran dari informasi yang kita dapat. Sebaliknya, kita sering terjebak dan mempercayai informasi bohong (hoax) daripada berita yang sesuai fakta. Kita sering lebih mengutamakan sharing dan melupakan saring terhadap informasi yang kita dapat.
Keempat, polusi gaya hidup. Polusi yang satu ini ada hubungannya dengan polusi kebendaan. Kepemilikan rangkaian benda digunakan untuk memperlihatkan status dan gaya hidup. Hasrat untuk menjadi populer, menjadi terkenal, dan menjadi selebritas yang menghiasi layar kaca tumbuh hampir dalam setiap jiwa manusia modern pada saat ini.
Tidaklah berlebihan jika Thomas C. O’Guinn seperti dikutip Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar buku Life Styles karya David Chaney (2009 : 7) mengatakan, masyarakat abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti. Tergila-gila dengan gaya hidup, penampilan, dan popularitas.
Kelima, polusi tubuh. Dalam ajaran agama apapun, terlebih-lebih ajaran Islam, tubuh merupakan sesuatu yang harus dihormati dan disayangi. Salah satu bentuk penghormatannya adalah dengan menutup rapat dan tidak memamerkannya di depan khalayak. Sangat tabu bagi seseorang untuk memamerkan kemolekan tubuh di depan khalayak, malahan dianggap ada sesuatu yang salah dengan jiwanya, jika seseorang mengumbar kemolekan tubuhnya di depan khalayak. Namun kini, kata tabu memamerkan kemolekan dan kecantikan tubuh telah dihapus dari kehidupan di sekitar kita.
Pada saat ini, kita benar-benar hidup di dunia bebas dan tanpa batas. Di dalam media, baik cetak maupun elektronik, sudah tidak ada lagi rambu-rambu yang boleh, tidak boleh ditampilkan, dipamerkan, dan dipertontonkan.
Keenam, polusi ruang dan waktu. Peribahasa biar lambat asal selamat hampir sudah tak berlaku pada kehidupan saat ini. Dalam dunia apapun, pada saat ini semua orang dituntut bergerak cepat. Sayangnya, pergerakan cepat ini, terkadang menimbulkan sikap panik dan tergesa-gesa.
Pengiriman data pekerjaan secara online pada satu sisi memberikan kepraktisan, namun pada sisi lainnya lebih banyak menimbulkan kepanikan dan ketergesa-gesaan. Ketika pengiriman data dilakukan secara manual, kita masih bisa memeriksa ulang pekerjaan kita dengan rileks, dapat membaca dan mengoreksi ulang. Hal ini agak sulit jika pengiriman data dilakukan secara online. Kepanikan melanda jika diketahui terdapat kesalahan dalam data yang sudah terkirim.
Polusi ruang dan waktu pun tak sedikit membuat sebagian orang menjadi stres, terlebih-lebih bagi mereka yang mendewakan gaya hidup. Setiap pergantian mode pakaian, trend merk kendaraan, smartphone, laptop, dan materi keduniawian lainnya menjadikan hatinya gelisah, panik, ingin segera memilikinya. Kalau tidak segera memilikinya ia merasa ketinggalan gaya hidup, tidak populer, dan merasa ketinggalan zaman.
Itulah berbagai polusi yang sedang melanda kehidupan kita. Bisa jadi salah satu dari polusi yang dipaparkan tadi sedang melanda diri kita hari ini. Tak ada polusi yang baik, polusi itu kotor, dan menyesakkan kehidupan. Sayangnya, kita lebih takut dengan polusi udara, polusi air, dan polusi lainnya, ketimbang polusi yang mengotori jiwa, hati, tingkat spiritualitas, dan kesalehan kita.
Dunia akan masih terus berputar sampai datangnya ketentuan Allah swt untuk menghentikan perputaran dan kehidupan seluruh makhluk-Nya. Agar kita tidak pusing akibat mengikuti komidi putar kehidupan ini, ajaran Islam menawarkan prinsip qana’ah, menikmati dan mensyukuri yang didapat dalam genggaman, tidak loba terhadap kehidupan dunia, dan tidak loba mengejar gaya hidup yang melenakan.
Ade Sudaryat, penulis lepas bidang agama Islam, pendidikan, dan sosial-budaya. Tinggal di Kampung Pasar Tengah Cisurupan Garut Jawa Barat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.