Membangun Literasi Umat dengan Dana Haji
Lomba | 2021-11-14 09:30:34Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Keuangan Haji, haji merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu, sekali seumur hidup. Karena dorongan kewajiban itu, jumlah umat Islam Indonesia yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji terus mengalami peningkatan, sementara kuota haji yang tersedia terbatas. Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah jemaah haji tunggu dalam jumlah besar sekaligus menimbulkan penumpukan dana jemaah haji dalam jumlah besar.
Akumulasi jumlah dana Jemaah Haji tersebut memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya yang dapat digunakan untuk mendukung penyenggaraan ibadah haji yang berkualitas. Peningkatan nilai manfaat dana jemaah haji itu hanya bisa dicapai melalui pengelolaan keuangan yang efektif, efesien, transparan, dan akuntabel. Pengelolaan keuangan haji bertujuan meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
Frasa terakhir âmanfaat bagi kemaslahatan umat Islamâ cukup menarik untuk dibahas karena terkait dengan jumlah dana haji yang sangat besar. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dalam situs resminya mengungkapkan total dana haji per akhir Mei 2021 sebesar Rp 150 triliun rupiah. Penggunaan nilai manfaat dana haji diperuntukkan untuk beberapa hal. yakni, rekening virtual, subsidi BIPIH, biaya kemaslahatan, dan biaya operasional. Selama pandemi, nilai manfaat total tahun sebesar Rp 7,43 triliun. Selain kegiatan haji, ada pula dana abadi umat (DAU) yang disalurkan untuk kegiatan kemaslahatan. Jumlah dana tersebut total Rp 3,4 triliun rupiah setiap tahun dan nilai manfaatnya sekitar Rp 200 miliar rupiah. Jenis kegiatan kemaslahatan berupa pendidikan dan dakwah, kesehatan, sarana prasarana ibadah, ekonomi umat, dan sosial keagamaan.
Berbicara tentang kemashalatan, dana haji perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan indeks literasi umat Islam. Indeks literasi umat Islam di Indonesia dalam baca tulis Al-Quâran masih sangat rendah. Menurut data Kementerian Agama, saat ini masih ada 65 persen umat Islam di Indonesia yang masih buta aksara Al-Qurâan. Angka itu sangat tinggi untuk negara yang mayoritas Muslim. Ini merupakan tanggung jawab bersama untuk memberantas buta aksara Al-Qurâan. (Republika, 28 Juli 2020).
Quraish Shihab (1996) menjelaskan bahwa iqraâ atau perintah membaca, adalah kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Arti kata membaca dalam bahasa Arab adalah menghimpun. Dalam kamus bahasa Arab arti kata membaca antara lain, menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan lain-lain. Membaca akan mengantarkan manusia untuk menggapai derajat yang manusia mulia. Sehingga membaca merupakan syarat pertama dan utama untuk membangun peradaban yang memuliakan kemanusiaan. Sebaliknya, keengganan untuk membaca akan merobohkan bangunan peradaban yang memuliakan kemanusiaan.
Dana haji diharapkan dapat menjadi sumber untuk melahirkan Perpustakaan Masjid yang sampai hari ini pun masih jarang dijumpai di masjid-masjid negeri ini. Padahal setiap masjid pasti memiliki uang kas masjid yang dapat dipergunakan untuk membangun perpustakaan masjid. Membaca adalah perintah pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Tidak ada larangan menggunakan kas masjid untuk membangun perpustakaan masjid. Kas masjid tidak hanya dipergunakan untuk membiayai operasional masjid melainkan boleh juga digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia muslim melalui membaca.
Menurut Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 543 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pengelolaan Perpustakaan Masjid, Kas Masjid dapat menganggarkan minimal 5 persen setiap tahun untuk keperluan operasional Perpustakaan Masjid. Setiap Perpustakaan Masjid Jami (kelurahan/desa) diharapkan memiliki koleksi 1.000 judul, Masjid Besar (kecamatan) minimal 2.000 judul, Masjid Agung (kabupaten/kota) minimal 3.000 judul dan Masjid Raya (Provinsi) minimal 4.000 judul.
Menurut Rizal Mubit (2018), pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah, pengetahuan menjadi panglima negara sehingga mampu memberikan manfaat untuk semua warga negara termasuk mereka yang beragama non-Islam. Melalui kebijakan pemerintah, para ilmuwan diberi sokongan dana yang besar untuk kepentingan penelitian, penerjemahan, dan kegiatan ilmiah lain. Hasil dari kegiatan tersebut kemudian dibukukan agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada masa itu perpustakaan masjid berkembang dengan pesat. Di dalamnya terdapat banyak buku yang dikumpulkan oleh pengurus masjid. Perpustakaan Masjid pada masa itu memiliki khazanah buku-buku keagamaan yang sangat kaya. Salah seorang donatur buku tersebut adalah sejarawan terkenal yakni al-Khatib al-Baghdadi (1002-1071). Beliau mewakafkan buku-bukunya untuk kepentingan umat. Para pembesar negeri berkolaborasi dengan pengusaha mendirikan perpustakaan umum agar bisa digunakan sebagai lembaga-lembaga kajian yang terbuka untuk umum.
Dana haji untuk literasi umat Islam adalah sebuah keniscayaan untuk melahirkan peradaban yang cinta pengetahuan karena pengetahuan adalah kekuatan untuk membangunkan umat Islam dari tidur pulas. Nabi Muhammad Saw melakukan transformasi sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam melalui proses membaca pengetahuan untuk membedakan yang haq dari yang bathil. Saat ini, hampir di setiap Kabupaten/Kota bahkan kecamatan berdiri gedung IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia). Gedung-gedung ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan layanan perpustakaan khusus agama Islam. Anggota IPHI dari golongan yang mampu sudah saatnya diajak untuk melek literasi dengan memberikan donasi untuk kemajuan perpustakaan ini.
Sinergi dana haji dan donasi ilmu pengetahuan dari para jamaan haji ini adalah katalisator untuk menjadikan pengetahuan sebagai panglima untuk memberdayakan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Semoga !
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.