Dan Batu pun Menangis
Info Terkini | 2021-11-12 10:09:03Tingginya curah hujan beberapa waktu belakangan ini, mengakibatkan banjir di beberapa wilayah di tanah air, di antaranya Garut, Gresik, Sintang, Kabupaten Bekasi, Karawang, Bandung. Ada tempat tertentu yang memang merupakan langganan banjir, ada juga yang baru.
Seperti Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang selama 65 tahun tidak pernah kebanjiran, kini terkena banjir rob akibat luapan air laut. Telah lima kali terjadi sepanjang tahun 2021 dan kali ini menjadi yang terparah. Medan dan Dumai pun tak luput dilanda banjir rob. Pemanasan global mengakibatkan iklim yang tidak menentu serta timbulnya cuaca ekstrim.
Kerusakan pada daerah aliran sungai serta berkurangnya daerah resapan air akibat konversi lahan, dianggap menjadi salah satu sebab bencana ini. Pembangunan demi meraih keuntungan materi, tanpa mengindahkan alam, tentu berakibat fatal bagi manusia. Bencana datang silih berganti dengan berbagai rupa.
Setali tiga uang, deforestasi atau penggundulan kawasan hutan di lereng Gunung Arjuno, Jawa Timur, membuat resapan air di hulu berkurang. Hilangnya lahan hijau telah merusak siklus air, akibatnya banjir bandang dan longsor tak terelakkan di sejumlah desa di bawahnya. Batu pun menangis, dan ada korban jiwa di sini. Alih fungsi lahan telah merusak ekosistem.
Padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar. Jika mengutip dari World Resources Institute (WRI), luas hutan tropis di Indonesia berada di peringkat tiga dunia, setelah Brasil dan Kongo. (Cnnindonesia, 7/11/2021). Maka seharusnya tidak terjadi masalah dengan air di negeri ini, tidak pula dengan emisi karbon.
Hutan hujan yang dianugerahkan Sang Pencipta merupakan paru-paru dunia, adalah penyerap emisi karbon terbesar sebanyak 2,6 miliar ton karbondioksida. Menurut Persatuan Konservasi Alam Internasional (IUCN), hutan merupakan penyelamat untuk mengatasi masalah iklim, pun mengatur siklus air. Namun sayangnya hal ini masih menjadi pekerjaan rumah.
Emisi zero dan tekhnologi hijau yang digadang-gadang pada Conference of the Parties (COP) 26 yang sedang digelar di Glasgow, Skotlandia, sepertinya hanya gagasan semu belaka. Pertemuan yang dihadiri 200 pemimpin dunia, tidak menemukan solusi jitu bagi persoalan alam dan perubahan iklim ini, malah membuka ruang investasi yang akan terus mengekploitasi alam.
Masing-masing negara dengan basis kapitalismenya, mengedepankan kepentingan elit politik. Alih-alih berkomitmen pada pengurangan emisi, malah seluruh pembangunan menggunakan energi fosil, mulai dari industri mobil, petrokimia, pertanian, plastik, semen, baja, elektronik, dan banyak lainnya. Pada gilirannya nanti, bom waktu ekologi akan terdampak di seluruh negeri. Pun menimpa bumi khatulistiwa.
Greta Thunberg, salah seorang aktivis muda mengritisi, âPara pemimpin tidak melakukan apa-apa, mereka secara aktif menciptakan celah dan membentuk kerangka kerja untuk menguntungkan diri mereka sendiri dan terus mengambil keuntungan dari sistem yang merusak ini,â katanya. [Sumber: The Guardian].
Lebih jauh lagi, strategi nol karbon tidak cukup untuk menyelamatkan bumi. Perlu tata kelola sistemik yang baru, dengan mengembalikan hutan sebagai harta kepemilikan umum. Sehingga individu atau korporasi tidak lagi berhak meraup keuntungan darinya. Maka sistem kapitalisme yang menjadi akar kerusakan, yang perlu diganti.
Umat membutuhkan sistem kepemimpinan baru yang berorientasi pada kesejahteraan publik, bukan keuntungan segelintir orang saja. Jika diterapkan dengan landasan ketakwaan pada Allah, maka hujan tidak lagi menakutkan. Dan Batu, pun wilayah lain di tanah air, tidak perlu lagi menangis. Dalam Islam, memelihara kelestarian alam adalah bentuk ketaatan pada Sang Empunya alam.
Rasulullah shollallaahu alaihi wassalam bersabda,
âTidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman, kemudian pohon atau tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.â (HR. Bukhari).
Allah menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta dalam mekanisme yang teratur rapi. Karenanya Dialah pemilik sejati seperangkat aturan, untuk mengatur urusan manusia, kehidupan, termasuk melindungi alam. Manusia terikat syariat, wajib memenuhi perintah-Nya dan hidup dengan sistem aturan yang telah ditetapkan Allah secara komprehensif.
Bahkan Islam menjadikan manusia sebagai pengemban amanah, sebagaimana Allah SWT berfirman:
âIngatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". [Al-Baqarah: 30]
Dengan ketakwaan yang tinggi, pembangunan infrastruktur pun tidak akan mengakibatkan kerusakan alam, baik itu deforestasi atau pembangunan ala kapitalistik yang menyebabkan bencana baik di darat, udara atau laut. Inilah tata kelola negara yang akan melahirkan kesejahteraan bagi umat. Allahumma ahyana bil islam.
Oleh Lulu Nugroho, Muslimah Revowriter Cirebon.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.