Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Selamat Hari Pahlawan, Terus?

Sejarah | Wednesday, 10 Nov 2021, 14:35 WIB
Pahlawanku inspirasiku menjadi salah satu caption populer di hari Pahlawan 10 November 2021

Perjuangan segenap tokoh dalam membela, memerdekakan sampai menjaga Tanah Air Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata atau cukup menjadi catatan sejarah. Surat keputusan presiden bagi penetapan pahlawan nasional terus hadir, itu sangat menggembirakan. Tapi apakah cukup dengan itu? Semua akan sepakat menjawab tidak! Sebab, jika sepintas saja menyimak dan memperhatikan bagaimana semangat juang, pengorbanan serta keikhlasan mereka “memberikan” Indonesia pada kita, rasanya malu menginjakan kaki di tanah hasil tumpah darah ini.

Perasaan nostalgis (rindu) akan eksistensi para pahlawan dan pejuang yang mengantarkan Indonesia pada “kemerdekaan” adalah wajar dimiliki oleh setiap individu. Hal tersebut didukung oleh amanat besar dari Bung Karno: “JAS MERAH”. Ahmad Mansur Suryanegara, penyusun buku Api Sejarah mengatakan “jika sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa”. Termasuk mbagi kita generasi yang sangat bangga menyebut diri milenial, setelah ucapan Selamat Hari Pahlawan, terus apa selanjutnya?

Pahlawan: Dari nama Jalan, Gedung sampai jadi Patung

Mengapa ribut-ribut yang keluar dari jempol atau jari kita di medsos, yang keluar dari palu-palu yang diketok para pejabat di istana atau DPR soal pahlawan, tak lebih dari sekadar nama jalan, gedung bangunan ini itu atau siapa yang jadi patung di bundaran ini itu dan terakhir siapa yang terpampang namanya di uang kertas. Kapan kiranya kita, ya kita semua akan ribut baik pada diri atau di media sosial atau di tingkat high politic, soal bagaimana meneladani para pahlawan dalam segala halnya.

Miris rasanya jika kembali bernostalgia dalam perjuangan-perjuangan akbar para pahlawan Nusantara. Kemutlakan eksistensi pengorbanan mereka seharusnya menjadi curahan air hujan yang menyirami benih-benih kemajuan dan perubahan—kearah yang lebih baik tentunya—masyarakat setelahnya. Benar jika dikatakan terlalu ideal untuk mengikuti jejak mereka, tetapi tidak mengindahkannya sama sekali adalah sebuah penghianatan besar. Bagaimana hal tersebut bukan sebuah penghianatan, jika nama besar mereka hanya sebatas dijadikan nama jalan atau sekolah, juga siapa yang tidak menyebutnya penghianatan, jika alur cerita mengharukan mereka hanya tertata rapi dalam rak-rak buku dengan sampulnya yang berwarna-warni.

Benar kata Simbah Nun, jika generasi Indonesia hari ini sudah bukan lagi burung garuda yang gagah perkasa di angkasa sana. Melainkan, hanya segerombol burung emprit yang malas belajar—jangankan pada nilai sejarah yang luhur dan detail—namun semangat ribut-ribut menuduh ini dan itu pada orang lain yang bukan jauh dari urusan prioritas sebagai manusia dan individu, ribut menghakimi sesama sampai benar-benar lupa siapa musuh dan di mana ketidakadilan yang sebenarnya berada-terjadi.

Kita hari ini mungkin benar adalah segerombol burung emprit yang tanpa merasa bersalah, bertengger di kepala patung para pahlawan, di tulisan nama-nama besar pahlawan dan lalu membuang kotoran lalu pergi dengan enteng. Sebagai burung emprit, kita merasa sudah terbang melanglang buana, merasa terbang paling tinggi dari jenis burung apa pun, bahkan merasa lebih tinggi dari para pendiri bangsa “sang burung garuda”. Apa buktinya merasa lebih tinggi dari burung garuda? Lihat saja, berapa banyak ide gagasan pendiri bangsa yang benar-benar dipegang kuat atau kita malah memilih segala hal yang berasal dari Barat yang dianggap lebih modern?

Dalam sistem pendidikan misalnya, berapa banyak sekolah yang mengerti apalagi mempelajari seara serius dan menerapkan konsep Ki Hadjar Dewantara, dibanding dengan menggunakan pendekatan Benjamin Bloom tentang taksonomi paedagogik dari Amerika sana? Tentu ini bukan soal anti-Amerika atau anti-Barat, tapi soal ada kecenderungan kita merasa tidak butuh (atau merasa lebih pintar?) dalam merumuskan sistem pendidikan sehingga ada bahan-bahan lokal yang berkualitas yang begitu saja dilewat dan digantikan oleh barang import yang jelas-jelas sangat mahal bayarannya.

Pahlawan dalam Perspektif Tauladan

Apa yang mungkin menjadi sikap kita dalam melihat hari pahlawan atau pahlawan secara umum? Menurut saya, gunakan kaca mata tauladan. Tempatkan mereka—para pahlawan—sebagai figur dan tauladan. Dengan posisinya seperti itu diharapkan masyarakat dapat benar-benar menjadikan mereka suri tauladan yang baik. Kemudian yang harus menjadi titik perhatian adalah bahwa acapkali terjadi silang pendapat antar sejarawan mengenai seorang tokoh atau pahlawan. Bisa saja menurut sebagian sejarawan tokoh A adalah sangat gigih dalam memperjuangkan hal yang baik, tetapi menurut sebagian—sejarawan—yang lain, kegigihan tokoh tersebut adalah untuk memperjuangkan hal yang kurang baik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka yang harus ditiru bukan masalah apa yang diperjuangkan, tetapi bagaimana dia memperjuangkan sesuatu. Itulah yang kemudian disebut dengan intisari perjuangan.

Realisasikan satu saja intisari perjuangan mereka dalam kehidupan nyata. Biarkan salah satu intisari perjuangan mereka menular dan mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Yang mesti menjadi perhatian dan modal perenungan adalah tidak sedikit orang yang sangat berhasrat untuk memangku jabatan tertentu dalam pemerintahan. Alasannya—misalnya—meneruskan perjuangan nenek moyang untuk membangun bangsa. Meski kemudian alasan itu menjadi emoh didengar saking klisenya dan bohongnya.

Seharusnya, yang terlebihdahulu diteruskan dari para pahlawan adalah moral luhur, budi mulia, semangat juang yang tinggi, peduli terhadap sesama, pantang menyerah, ketulusan dan sikap mengedepankan kepentingan rakyat. Karena disebabkan hal-hal itulah mereka dipercaya menduduki suatu jabatan tertentu, bukan sebaliknya. Yakni karena menduduki jabatan tertentu, maka mereka dituntut untuk mempunyai sifat-sifat mulia di atas.

Menjadikan tauladan serta merealisasikan intisari perjuangannya, adalah benar-benar merupakan suatu penghormatan terhadap mereka, disamping mengabadikan mereka melalui literatur sejarah dan nama sebuah tempat atau bangunan. Bahkan kedua sikap tadi—menjadikan tauladan dan merealisasikan intisari perjuangan mereka—bisa dikatakan lebih dari sekedar penghormatan. Tapi penjelmaan kembali pahlawan yang dicintai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image