Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Isna Hanif Azizah

KKN MIT XIV Kelompok 41: Tapak Tilas Leluhur Bakaran Wetan, Juwana

Sejarah | Saturday, 09 Jul 2022, 17:37 WIB

Kelompok 41 KKN MIT DR XIV UIN Walisongo Semarang berziarah ke petilasan sesepuh Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Kegiatan tersebut dilakukan sebelum melaksanakan KKN selama 45 hari di Desa Bakaran Wetan sesuai dengan arahan kepala desa Bakaran Wetan, setiap orang yang akan menempati desa Bakaran Wetan sebaiknya ziarah dulu ke makam Nyai Ageng dan Ki Dalang.

Acara berlangsung lancar, dimulai ziarah ke petilasan Nyai Sabirah (sekarang lebih dikenal dengan Nyai Ageng Bakaran), dilanjutkan ke petilasan Ki Dalang dengan serangkaian tahlil, doa bersama, serta cerita sejarah Babat tanah Bakaran yang dipandu oleh Juru kunci Maqom Nyai Ageng dan Ki Dalang. Mbah Basir menyampaikan maksud kedatangan anggota KKN kepada sesepuh serta menjelaskan asal mula Desa Bakaran Wetan.

Dipercaya mempunyai kelebihan, Nyai Ageng sebagai keturunan Kerajaan Majapahit dipercaya masyarakat dapat mengabulkan permintaan. Mitos yang berkembang juga mempunyai beberapa pantangan yang dipercayai masyarakat hingga saat ini, di antaranya:

1. Warga asli tidak boleh berjualan nasi

2. Karena adab, posisi tidur kaki tidak boleh menghadap ke arah punden,

3. Rumah warga asli Bakaran wetan tidak diperbolehkan menggunakan batu bata merah.

"Petilasan sumur sumuripun Nyai Ageng kaleh bantalan watu ki Dalang kagem ndalang niku ngagem boto abrit. Amargi niku warga mriki menawi ndamel griyo mboten angsal ngagem boto abrit, niku termasuk ngurmati leluhur supados mboten madani punopo ingkang diagem leluhur.”

Petilasan Nyai Ageng dan bantalan batu Ki Dalang yang digunakan untuk memainkan wayang terbuat dari batu bata merah. Oleh karena itu warga lokal ketika membuat rumah tidak diperkenankan menggunakan batu bata merah sebagai bentuk penghormatan agar tidak menyetarai leluhur,” jelas Mbah Basir.

Masyarakat meyakini membangun rumah menggunakan bata merah mengakibatkan rumah itu runtuh tanpa sebab. Bukan sekedar mitos belaka, namun hal tersebut menjadi adat dari leluhur yang memang harus dilestarikan.

"Adat istiadat meniko kedah dilestariaken, kito wajib ngurmati amergi kito wargo mriki. Dening salah nopo leres, nggih Wallahu A'lam"

Adat istiadat tersebut harus dilestarikan, kita wajib menghormati karena kita warga asli (Bakaran Wetan). Salah atau benar, hanya Allah SWT. yang tahu,” tambah Mbah Basir.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image