Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Historia Jakarta 34

Sinopsis Novel And Then There Were None

Sastra | Friday, 08 Jul 2022, 15:50 WIB

Oleh: Nabila Najlaa Cattleya

Judul buku: And Then There Were None

Pengarang: Agatha Christie

Penerbit: Collins Crime Club

Tahun terbit: 1939

Tebal halaman: 272 hlm

Adakah di antara kalian yang menyukai novel dengan genre misteri? Berisi alur dengan rencana jahat yang tidak terduga dan membawa kita ke dalam sebuah imajinasi sang penulis untuk memecahkan teka-teki? Mungkin, ada juga yang bertanya, mengapa sih ada orang yang suka membaca novel dengan genre misteri? Well, tujuan novel misteri adalah untuk menciptakan rasa ketegangan kepada pembaca, sehingga sebagian besar pembaca menjadi terangsang dan tergoda untuk mencari tahu jawaban atas masalah yang dibuat penulis sebelum kita mengenal tokoh-tokoh dalam cerita. Inilah yang membuat novel misteri sangat menyenangkan dan mengasyikkan untuk dibaca.

Ada banyak sekali penulis yang menuangkan imajinasi misterinya ke dalam sebuah bentuk buku, seperti Stephen King, Dan Brown, Lee Child, Sir Athur Conan Doyle, dan tentu saja favorit saya Agatha Christie. Agatha Christie bisa dibilang adalah salah satu penulis novel yang paling terkenal di dunia. Meskipun Christie juga menulis novel bergenre roman seperti “Unfinished portrait” dan “A Daughter’s Daughter” dengan menggunakan nama samaran Mary Westmacott, tidak membuat luput kesuksesan Christie sebagai penulis cerita detektif hingga ia diganjar gelar “Queen of Crime” dan “Queen of Mystery”. Penulis kelahiran Inggris ini dikenal dengan enam puluh enam novel dan empat belas koleksi cerita pendeknya, terutama dua karakter detektif terkenal yaitu Hercule Poirot dan Miss Marple. Namun anehnya, salah satu novel yang paling terkenal Agatha Christie tidak memiliki karakter utama seperti Poirot dan Marple dalam bukunya. Buku yang dimaksud berjudul “And Then There Were None”.

Sebelum judul “And Then There Were None” terpilih, novel ini sebenarnya diliris dengan judul “Ten Litte Niggers” pada tahun 1939. Judul ini tidak terlalu bermasalah di Eropa tahun 1939 dimana the N-word ini belum terlalu dipermasalahkan. Sampai Pada pertengahan tahun 1950-an penggunaan the N-word oleh siapa pun selain orang kulit hitam dianggap sebagai penghinaan atau rasis. Salah satu judul penggantinya “Ten Little Indians” juga dianggap menyinggung bagi para Native American, sehingga pada akhirnya berganti judul “And Then There Were None” dipilih.

Novel “And Then There Were None” berbeda dengan banyak novel misteri milik Agatha Christie lainnya, karena tidak memiliki sosok detektif yang harus memecahkan teka-teki dalam novel. Novel ini berawal dengan sepuluh orang asing yang dikirimi undangan yang tidak bisa mereka tolak oleh seorang jutawan yang eksentrik. Tak satu pun dari mereka pernah bertemu atau kenal dengannya. Mereka diundang sebagai tamu akhir pekan di sebuah pulau pribadi kecil di lepas pantai Devon. Dengan tujuan dan motivasi yang berbeda-beda, kesepuluh orang itu datang ke pulau pribadi tersebut. Namun, tuan rumah mereka tidak dapat ditemukan dimana pun dan hanya merekalah yang terdapat di dalam pulau tersebut. Kesamaan yang dimiliki para tamu hanyalah masa lalu yang jahat yang tidak ingin mereka ungkapkan masing-masing.

Apa yang selanjutnya terjadi adalah hal yang mengerikan. Di tengah upaya mencari kenyamanan di pulau kecil ini, kesepuluh orang asing menerima pesan yang memberitahukan kepada mereka alasan sebenarnya mereka diundang ke pulau tersebut. Di dalam setiap kamar mansion, terdapat sajak anak-anak yang dibingkai dan digantung. Yang berbunyi:

Ten little boys went out to dine;

One choked his little self and then there were nine.

Nine little boys sat up very late;

One overslept himself and then there were eight.

Eight little boys traveling in Devon;

One said he'd stay there then there were seven.

Seven little boys chopping up sticks;

One chopped himself in half and then there were six.

Six little boys playing with a hive;

A bumblebee stung one and then there were five.

Five little boys going in for law;

One got in Chancery and then there were four.

Four little boys going out to sea;

A red herring swallowed one and then there were three.

Three little boys walking in the zoo;

A big bear hugged one and then there were two.

Two little boys sitting in the sun;

One got frizzled up and then there was one.

One little boy left all alone;

He went out and hanged himself and then there were none.

Ketika mereka menyadari bahwa pembunuhan sedang terjadi seperti yang dijelaskan dalam sajak, teror semakin meningkat dan mengerikan. Satu demi satu, kesepuluh tamu tersebut menjadi mangsa yang terbunuh secara misterius. Dengan keadaan yang terjadi, tamu-tamu yang tersisa harus bekerja sama dan memutar pemikiran mereka masing-masing untuk mencari pembunuhnya. Sebelum akhir pekan berakhir, tidak akan ada yang tersisa. Siapa yang tersisa untuk menceritakan kisah itu? Apakah ada orang kesebelas dalam pulau itu? Hanya orang mati yang tidak dicurigai, bukan?

Novel ini adalah salah satu karya terbaik Agatha Christie. Tak heran jika penulis “And Then There Were None” ini dikenal sebagai “Queen of Mystery”. Penulisan dalam novel ini dipikirkan dan diatur dengan baik sehingga jelas bahwa Christie teliti dalam pekerjaannya sebagai penulis. Kejadian umum dalam membaca novel klasik adalah mereka bisa terlalu deskriptif sehingga sulit dipahami. “And Then There Were None” tidaklah seperti itu, menurut saya novel ini memiliki panjang yang sempurna dan kata-kata yang mudah dipahami untuk sebuah novel klasik. Hanya dengan 272 halaman, buku ini langsung menarik perhatian pembaca. Ini adalah novel yang sempurna untuk orang yang mencari bacaan misteri dengan alur yang cepat namun dapat memutar otak sehingga membuat pikiran mengeras. Di sepanjang novel ini, pembaca akan memiliki banyak pertanyaan dan diberi sedikit petunjuk atau jawaban yang hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan baik dan seksama. Tetapi pada akhirnya, saya merasa puas ketika Christie menjawab semuanya dengan cara yang sederhana.

Satu-satunya hal yang saya keluhkan dalam novel ini adalah terlalu banyak karakter. Berbagai macam perspektif sangat penting untuk menulis novel misteri seperti ini untuk meningkatkan kecurigaan antar karakter. Dengan perbedaan perspektif dan pemikiran tersebut, menurut saya sangat mudah untuk tidak sengaja mencampurkan perspektif dan suara sehingga sulit untuk membedakan setiap karakter saat membaca. Saya menyarankan untuk mencatat setiap karakter dan tingkah laku mereka agar mempermudah membedakan mereka dan masuk ke dalam alur cerita.

Kesimpulannya, “And Then There Were None” adalah novel yang sukses. Sebagian besar mudah dibaca dan diikuti serta memiliki cukup misteri dan sensasi yang menegangkan untuk membuat pembaca terhibur dari awal hingga akhir novel. Keluhan saya bukan berarti kalian tidak akan menikmati novelnya. Justru sebaliknya, tak usah diragukan dan dipertanyakan lagi bahwa novel ini adalah salah satu karya terbaik Christie. Namun, menurut saya buku ini lebih cocok untuk orang yang mempunyai ketertarikan dan suasana hati untuk membaca novel misteri. Apabila kamu adalah penggemar novel misteri, pastikan novel klasik oleh Agatha Christie ini tidak terlewat dari daftar bacamu!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image