Islam Internet dan Ulama Perempuan
Agama | 2021-11-09 09:40:32Mengapa yang terpikir di kepala keumuman orang ketika menyebut kata âUlamaâ adalah laki-laki? Apakah seorang perempuan bisa menjadi ulama sebagaimana selama ini laki-laki menjadi ulama? Termasuk di dunia internet, apakah perempuan mampu juga bersaing dalam hal dipandang dan jadi seorang ulama layaknya kebesaran nama ulama atau ustaz-ustaz laki-laki? Itulah sekelumit pertanyaan yang saya rasa penting untuk diskusikan dalam tulisan ini.
Dalam lingkup kampung, di kota Garut, Jawa Barat, saya kerap kali diminta menggantikan guru-guru saya di pesantren yang berhalangan untuk mengisi pengajian. Mulai dari pengajian ibu-ibu, umum, tasyakuran, akikahan, dan seabreg upacara pengajian lain, khas iklim kampung. Jika diperhatikan, dalam setiap pengajianâapa pun jenisnyaâselalu ditemukan jamaah perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki, kecuali saat ibadah shalat Jumâat.
Di waktu bersamaan, acap kali juga saya menyempatkan diri untuk bertanya pada pengurus atau panitia pengajian rutin, soal jadwal. Temuannya adalah, para penceramah selalu didominasi oleh laki-laki, meski dalam pengajian khusus ibu-ibu, jangan ditanya jika dalam pengajian umum. Tentu kasus yang saya temukan ini sangat lokalistik. Nah, demi menambah keluasan pandangan dan universalitas kasus, saya menuju dunia internet.
Kata âUlamaâ jika diketikan baik di Google atau Youtube, hanya menghasilkan wajah laki-laki. Namun tentu hal itu belum cukup membuktikan apa-apa lagi. Karenanya, membaca artikel, buku hasil penelitian atau website-website yang fokus pada isu perempuan dan keislaman, seperti mubadalah.id, swararahima.com, fatayatnu.or.id, aisyiah.or.id, fahmina.or.id, menjadi pilihan terakhir.
Feminis, Muslimah Reformis dan Ulama Perempuan: Wacana Melawan Tradisi Patriarki
Betapa untuk membangkitkan kesadaran keperempuannan dalam Islam di Indonesia adalah hal yang teramat sukar. Tercatat, baik dalam buku Ensiklopedia Muslimah Reformis (2020) karya Musdah Mulia, atau Berbeda tetapi Setara (2010) karya Saparinah Sadli, meski peran perempuan sangat besar dalam sejarah Indonesia, namun menyuarakan kiprahnya bukan hal mudah. Perjalanan panjang perhatian pada isu perempuan sejak era Siti Walidah (1872-1946), RA. Kartini (1879-1904), Nyai Khoiriyah Hasyim (1908-1983) di Jawa, Dewi Sartika (1884-1947) di Sunda, Rohana Kudus (1884-1972) di Minangkabau, sampai masuknya ide feminisme, sampai reformasi dan sampai era serba-internet hari ini, masih belum cukup besar volumenya, dalam mengimbangi tradisi patriarki.
Istilah yang dipakai untuk menyuarakan isu perempuan, tak pernah sepi dari kritik, alih-alih mengkaji secara serius substansi yang dibawa. Misalnya, tirto.id dalam surveinya menyebut bahwa responden banyak yang menolak istilah feminis namun menerima isu keadilan dan kesetaraan perempuan. Demikian juga Gadis Arivia dalam Seratus Tahun Feminisme di Indonesia (2017) menyebut bahwa ide feminisme di Indonesia meski mengalami kemajuan signifikan namun masih mendapat penolakan keras dari kelompok fundamentalis agama, konservatif, dan populisme sayap kanan.
Penolakan pada istilah feminis yang banyak disebut berasal dari Barat dan terselip modus mengahncurkan Islam dari dalam, segera disadari para aktivis, pemikir (ulama) perempuan di Indonesia. Selanjutnya, istilah-istilah lain yang dirasa lebih aman, kemudian digunakan, seperti âUlama Perempuanâ yang dijadikan nama bagi konferensi aktivis dan pemikir perempuan pada tahun 2017 di Cirebon. KUPI (Konferensi Ulama Perempuan Indonesia) berhasil menjadi kekuatan baru bagi ulama perempuan di Indonesia hingga saat ini. Tokoh-tokoh yang hadir di KUPI kini tersebar dalam berbagai jabatan strategis serta aktif berkarya di media sosial dan membuahkan berbagai project terkait perempuan.
Istilah lain, digunakan juga demi percepatan laju-kembang isu perempuan di Indonesia, yakni âMuslimah Reformisâ. Istilah reformis sengaja diambil sebagai terjemah dari kata muá¹£lihah yang seakar dengan á¹£Älihah yang bermakna perempuan aktif-tangguh-cerdas-bijak dalam meningkatkan kualitas diri, keluarga dan masyarakat demi terciptanya baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur (Musdah Mulia, 2020: xii).
Namun begitu, di kedalaman alam bawah sadar masyarakat luas, termasuk di masyarakat internet (netizen), terlebih dalam kaitan agama (Islam), perempuan sulit mendapat tempat seluas laki-laki. Termasuk, walaupun tokoh perempuan sendiri yang menjadi pembicara, penceramah atau pembuat konten, namun isu perempuan tidak otomatis tersuarakan juga. Itulah celah-celah sempit yang begitu musykil dilalui, apalagi oleh masyarakat luas. Kuncinya menurut saya, tetap ada pada kesadaran internal diri sendiri, siapa pun kita dan berjenis kelamin apa pun kita.
Kunci lainnya, terletak pada aspek eksternal. Maksudnya, banyak pihak yang telah-sedang mengupayakan terwujud-berjalannya program-program pelatihan sampai beasiswa khusus perempuan. Misalnya, LPDP tahun ini bekerja sama dengan Masjid Istiqlal dan Kementerian Pemberdayaan Anak dan Perempuan, membuka jalur Beasiswa Kader Ulama Perempuan. Semua itu tentu sangat menggembirakan.
Faktor eksternal lain yang lebih mendasar ada pada dukungan keluarga. Ketika saya mengajar di pesantren-pesantren besar di Garut (Persis Tarogong dan Darul Arqam Muhammadiyah), menemukan banyak sekali santriwati-santriwati yang sangat cerdas dan berpotensi besar jadi ulama perempuan berpengaruh, namun tidak mendapat dukungan keluarga secara maksimal sebagaimana laki-laki. Mereka yang sedari SDN juara umum, masuk pesantren pintar menulis dan berceramah, seakan hilang ditelan zaman, bahkan setelah menamatkan magister. Alih-alih mewarnai konten tulisan atau video di jagad internet, dicari jejak digitalnya saja kadang tidak ditemukan.
Semua itu tentu saja bukan ukuran, apalagi berbicara secara perseorangan. Namun tetap saja, terselip kecurigaan di sana, apakah cara kita memandang dan menampilkan Islam di internet selama ini, ikut memberi dampak pada tidak munculnya figur-figur besar ulama perempuan baik di pengajian-pengajian kampung atau di dunia internet? Jika betul bagaimana cara membalikkannya dan jika tidak lantas mengapa di kepala kita kata âUlamaâ masih hanya identik dengan laki-laki?
Semoga di masa-masa mendatang, saat anak dan cucu kita yang perempuan lahir ke dunia ini, di sana perhatian pada isu perempuan sudah menjadi mainstrem yang disadari masyoritas. Mereka tidak sulit mencari guru agama perempuan, tidak pula sulit mencari idola ulama besar perempuan di zamannya, sehingga tidak sulit mempunyai cita-cita menjadi ulama perempuan besar lainnya. Semoga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.