Strategi Peningkatan Sumber Daya Manusia Standar Etika Organisasi Pemerintah
Eduaksi | 2022-07-07 08:50:45Nazwa Nurfauziah Administrasi PublikUniversitas Muhammadiyah Jakarta
Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negar harus diarahkan untuk memenuhi standar kompetensi internasional (world class). Dalam hal ini harus dibangun standar kompetensi setiap jabatan dan pekerjaan yang dapat mengikuti standar kinerja dan kualifikasi internasional (ISO 9000). Wujud aparatur masa depan penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, rasional, inovatif, serta memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Tuntutan kompetensi aparatur semakin menjadi kebutuhan. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi (Stilman H., 1992), dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berkut:
1. Melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif
2. Mempunyai komitmen yang kuat terhadap tugas dan program
3. Komitmen terhadap pelayanan publik
4. Bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional
5. Memiliki daya tanggap (responsiveness) dan akuntabilitas (accountability)
6. Memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat keputusan
7. Memaksimalkan efisiensi dan kreativitas
Sebagai bahan pembanding, Japan Association for Civil Service Training and Development dalam modul "How To Win Public Confidence As Government Officials", Sheet No. 80 mengemukakan ada empat pendekatan yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan standar moralitas dan etika pegawai negeri. Pilihan pendekatan mana yang paling tepat harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan dan situasi yang dihadapi. Strategi-strategi atau pendekatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Larangan (Don't Approach).
Dalam pendekatan ini, ditetapkan aturan hukum dan perundang-undangan yang melarang Pegawai Negeri untuk melakukan berbagai tindakan tertentu danmenerapkan sanksi hukum yang tegas atas pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan tersebut. Salah satu dari pendekatan ini adalah peraturan tentang disiplin. Agar pendekatan ini dapat berjalan dengan baik, maka ketentuan tersebut harus memuat dengan jelas dan tegas segala bentuk perilaku yang dilarang.
Beberapa pihak tertentu mungkin akan membaca ketentuan tersebut secara apa adanya, tanpa memahami semangat atau makna yang terkandung dari pelarangan tersebut. Hal ini tentu akan menimbulkan konflik-konflik yang tidak perlu. Untuk menghindarkan hal tersebut, maka diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan ketentuan tersebut, sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi dan sekaligus memberikan semangat bagi para pegawai negeri untuk mematuhi berbagai ketentuan yang diberlakukan.
2. Pendekatan "Untung-Rugi" (Cost Benefit Approach)
Pendekatan "untung-rugi" dirancang untuk membuat para pegawai negeri memahami bahwa menerima suap atau korupsi tidaklah menguntungkan. Melalui pendekatan ini diberikan penjelasan bahwa keuntungan sesaat dari menerima suap atau korupsi tidak akan sebanding dengan kerugian finansial, sosial, dan psikologis yang akan terjadi manakala perbuatan diketahui dan dikenakan hukuman. Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan ceramah dan contoh-contoh kasus suap dan korupsi yang berhasil diungkapkan dan pelakunya mendapatkan ganjaran hukum yang setimpal.
Pendekatan ini dilandasi oleh prinsip atau pandangan bahwa setiap orang dengan berbagai alasan akan cenderung mempertimbangkan berbagai kemungkinan untung- rugi dalam setiap tindakannya. Agar pendekatan ini dapat dilaksanakan secara efektif, para pejabat dan pegawai negeri pada umumnya harus dibuat sadar bagaimana rugi dan menderitanya seseorang yang terbukti menerima suap atau korupsi dikenai sanksi hukum, termasuk konsekuensi moral dan sosial lainnya. Selain itu juga perlu dikemukakan bagaimana pola-pola perilaku koruptif yang umum, sehingga para pegawai dapat menghindarkan diri dari jebakan korupsi dan kasus suap.
3. PendekatanSistem (SystemApproach)
Pendekatan ini dilakukan dengan membangun suatu sistem operasi atau lingkungan kerja yang tidak memungkinkan munculnya praktik korupsi. Misalnya, melakukan rotasi pejabat pemimpin proyek (Pimpro) secara reguler, termasuk para pejabat atau petugas yang mengurus kontrak-kontrak kerja pemerintah dengan pihak ketiga, memastikan bahwa pemberian dokumen perijinan dilakukan oleh Lebih dari satu orang, dan lakukan pemeriksaan secara reguler untuk memastikan bahwa sistem tersebut dilaksanakan secara memadai.
Tingkat korupsi dapat dipastikan akan semakin berkurang jika dilakukan perubahan yang menyeluruh dalam sistem, mekanisme dan prosedur kerja yang berlaku. Sangatlah penting untuk membangun sebuah sistem yang menurunkan atau membatasi kemungkinan seseorang terjebak ke dalam praktik korupsi, tanpa harus menggantungkan harapan terhadap nilai-nilai etika standar individu setiap pegawai.
4. Pendekatan "Kerjakan" ("Do"Approach)
Berbeda dengan ketiga pendekatan sebelumnya, pendekatan ini lebih bersifat tidak langsung. Prinsip dalam pendekatan ini adalah mendorong para pegawai untuk memberi pelayanan secara cerdas, dengan memberikan kepada masyarakat pelayanan terbaik yang dapat diberikan oleh setiap pegawai negeri. Dengan cara inilah para pegawai dapat meningkatkan kebanggaan dan kepercayaan diri (moril) dan sekaligus meningkatkan iklim kerja yang kondusif, jauh dari kemungkinan praktik korupsi dalam berbagai bentuk dan dimensinya.
Dalam pendekatan ini, setiap individu pegawai harus mampu menilai dirinya sendiri dengan cara bagaimana yang bersangkutan akan melayani masyarakat secara lebih baik. Dengan demikian, pendekatan ini secara positif akan memberikan insentif kepada para pegawai untuk bekerja lebih kreatif, penuh prakarsa dan kepercayaan diri yang kuat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.