Kita Sering Hidup Kesunyian di Tengah Keramaian
Agama | 2021-11-08 00:49:13sumpah yang mana lagi kau dustakan
janji yang mana lagi kau berikan
benarlah kata orang
di keramaian terasa kesunyian
SEBENARNYA kutipan lirik lagu Aku Hanya Seniman karya Faisal Asahan yang dilantunkan Arief pada awal tulisan tak ada hubungannya denga tema tulisan ini. Namun penulis tertarik dengan sebagian liriknya, benarlah kata orang, di keramaian terasa kesunyian.
Pada saat ini, kehidupan kita laksana yang tertulis dalam lirik lagu tersebut. Betapa tidak, saling mengasingkan diri di tengah keramaian merupakan perilaku kesehariaan sebagian orang pada saat ini. Mereka duduk bersama tapi sudah kehilangan salam dan tegur sapa. Bagaikan lokomotif dengan gerbongnya yang selalu berjalan seiring tapi tak pernah bertemu.
Pada sebuah keluarga, anggota keluarga duduk bersama di ruang keluarga. Sang anak merunduk, tapi bukan sedang memperhatikan petuah ayah-bundanya, tapi sedang asyik bermain gadget. Ayah-bundanya pun sama tertunduk, khusyuk bermain gadget. Televisi yang menyala di ruang keluarga merasa kesepian karena dihidupkan, tapi tak dihiraukan.
Anak yang lainnya berjingkrak-jingkrak kegirangan karena ia dapat memenangkan permainan game-nya. Tapi teriakan girang gembiranya tak ada yang menyambutnya. Ia hanya berjingkrak-jingkrak dan tertawa, bertepuk tangan sendiri. Ayah-bunda dan saudaranya hanya melirik sejenak, tanpa berucap sepatah katapun, kemudian merunduk dan khusyuk lagi dengan gadget-nya masing-masing.
Sebagian jamaah di suatu masjid pun sama banyak yang merunduk, baik ketika mengikuti salat Jumâat maupun pengajian. Namun merunduknya bukan karena sedang merenungkan isi ceramah khatib atau mubaligh, namun mereka tengah asyik dengan membaca dan membalas postingan di akun media sosial mereka.
Dalam kehidupan sosial masyarakat pun tak jauh berbeda, orang-orang saling mengasingkan diri. Antar tetangga jarang bertegur sapa dan bersilaturahmi. Bukan bermusuhan, tapi sibuk dengan aktivitas masing-masing. Persahabatan di dunia maya menjadi incaran dan idaman kebanyakan orang daripada persahabatan di dunia nyata.
Dalam bidang ekonomi pun bernasib sama. Sejak pasar tradisional tergantikan minimarket, supermarket, dan mall nyaris tak ada tegur sapa antara konsumen dan penjual. Orientasi mendapatkan keuntungan menjadi tujuan utama. Nilai-nilai kehangatan interaksi sosial menjadi berkurang, bahkan nyaris tidak ada. Kalaupun ada senyuman dan tegur sapa hanyalah aksesoris pengikat pelanggan agar tak berpindah hati ke tempat lain.
Dahulu meskipun pasarnya becek dan kumuh, tapi di dalamnya terdapat kehangatan. Pembeli dan penjual dapat bertegur sapa, saling adu tawar harga, bahkan melakukan ijab kabul setelah melakukan transaksi jual beli. Kini setelah pembayaran dilakukan melalui kasir yang berkomputer, ijab kabul dan ucapan terima kasih cukup tertulis pada struk belanja. Tegur sapa semakin tak nampak jika transaksi jual belinya dilakukan secara online.
Dalam dunia pendidikan pun sama. Sekarang belajar cukup dilakukan secara online. Peserta didik hanya mengenal suara atau wajah pendidik di layar laptop atau handphone, jarang dan bahkan belum pernah bertemu langsung. Seorang peserta didik tak merasakan langsung salam dan tatapan hangat dari seorang Pendidik. Demikian pula, sang Pendidik tak mengetahui tata krama dan perilaku peserta didik ketika sedang menyimak pelajaran yang diberikan. Padahal tata krama, sapaan, teguran, koreksi, hukuman, dan penghargaan dari seorang pendidik secara langsung akan menjadi motivasi berharga bagi seorang peserta didik, bahkan akan berharga sepanjang hidup mereka.
Kemajuan teknologi pada satu sisi membawa kemudahan, namun pada sisi lainnya telah mencabut manusia dari akar kehidupannya sebagai makhluk sosial. Homo homini socius, manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain tergantikan dan diwakili teknologi komunikasi.
Kalau diibaratkan, interaksi sosial manusia itu ibarat akar dalam sebuah pohon. Jika akar pohonnya terganggu, apalagi sampai kering dan mati, sudah pasti bagian-bagian lainnya dari pohon tersebut akan ikut mati. Bisa saja pohon tersebut nampak indah karena diawetkan dan diberi cat warna-warni, indah dilihat tapi sudah kehilangan ruh dan fungsinya sebagai pohon.
Demikian pula dengan manusia. Bisa saja seseorang nampak maju dengan teknologi canggih bahkan penghasilan yang sangat sugih, namun jika ia tidak kenal dengan tetangga, tak memiliki kesempatan bersilaturahmi dengan saudara dan sanak famili, ia telah kehilangan nilai-nilai filosofis manusia sebagai makhluk sosial. Lambat laun, ia akan bernasib seperti pohon yang sudah tercabut dari akarnya. Ia nampak indah dengan hiasan berbagai kemudahan dan keberhasilan, tapi sebenarnya hatinya merana, hampa, dan kesepian di tengah-tengah limpahan harta.
Demikian pula dengan orang-orang yang mendewakan persahabatan dan follower di dunia maya seraya melupakan persahaban di dunia nyata, ia hanya akan tampak menjadi orang terkenal di jumantara, tapi hampa dari persahabatan di dunia nyata. Memang baik apabila kita memiliki persahabatan yang banyak di dunia maya, namun kita pun harus bijak, jangan sampai melupakan follower dan persahabatan dengan saudara dan tetangga di dunia nyata.
Benarlah kata Arnold Dashefky (1976) dalam bukunya Ethnic Identity in Social, kemajuan teknologi dan ekonomi terkadang banyak menyingkirkan nilai-nilai sosial-kultural, mengantarkan manusia memasuki dunia keterasingan. Hal ini, tengah kita rasakan pada saat ini. Padahal berinteraksi dengan sesama, sekalipun suatu saat pernah tergelincir kepada perselisihan, perdebatan, bahkan pertengkaran, tetap memiliki manfaat bagi perkembangan kesehatan jiwa.
Beberapa tahun yang lalu, sekelompok peneliti dari University of Michigan Amerika Serikat melakukan penelitian terhadap berbagai kegiatan silaturahmi yang meliputi berbicara, berdiskusi, dan semua aktivitas interaksi sosial. Hasilnya, kegiatan-kegiatan interaksi sosial yang positif membuat otak makin terasah dan berkembang baik.
Sementara itu, John B. Arden dalam bukunya Rewire Your Brain, Think Your Way to A Better Life (2010), sebuah buku yang memaparkan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kesehatan otak (hal. 59-60, 141-147) menulis satu bahasan khusus yang berjudul Sosial Medicine (Obat Sosial). Inti yang dipaparkan dalam sosial medicine adalah perbuatan baik dalam kehidupan bermasyarakat, mengikat tali persaudaraan, mengurangi sikap saling menjelekkan, menjauhi permusuhan, selain dapat meningkatkan kesehatan otak, juga menjadikan hati semakin tenang dan tentram dalam menjalani kehidupan, yang tentu saja akan berujung kepada kesehatan raga. Sebaliknya, mengisolasi diri dari lingkungan sosial akan menimbulkan efek buruk bagi kesehatan jiwa dan raga.
Ajaran Islam sudah lebih dulu mengajarkan agar kita dapat hidup bersama, melakukan dan membina interaksi sosial, salah satunya melalui kegiatan berjamaah. Shalat wajib berjamaah yang kita lakukan di masjid, selain berpahala 27 kali lipat, juga merupakan ajang silaturahmi dan saling sapa antar jamaah. Demikian pula dengan silaturahmi, jaminannya adalah panjang umur dan memperoleh berkah rezeki.
Secara psikologis, berjamaah dan bersilaturahmi sangat bermanfaat bagi ketentraman dan kesehatan jiwa. Sudah dapat dibayangkan kondisi yang akan terjadi, jika kita hidup bermasyarakat yang didalamnya tak ada tegur sapa, tak ada salam dan senyum persaudaraan. Siapapun tak akan betah tinggal/ hidup di lingkungan seperti itu, merasa terasing dan kesepian di tengah-tengah keramaian.
Seorang sahabat datang kepada Rasulullah saw, âWahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?â Kemudian Rasulullah saw bersabda, âKemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.â Mereka menjawab, âYa.â Ia bersabda, âHendaklah kalian makan secara berjamaah, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah.â (H. R. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III, Bab fi al Ijtimaâ âAla al Thaâam, hadits nomor 3764).
Dalam berjamaah terdapat berkah. Salah satu berkah yang yang didapat adalah interaksi sosial, saling sapa, saling mengungkapkan rasa, bahagia, dan tertawa menghiasi pertemuan. Berkah lainnya rasa bahagia yang didapat akan semakin meningkatkan emosi positif. Salah satu emosi positif adalah tumbuhnya rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Maha benar Allah Allah yang berfirman, âSetiap berita (yang dibawa Rasul) ada (waktu) terjadinya, dan kelak kamu akan mengetahui.â (Q. S. Al-Anâam : 67).
Janji pahala dan hikmah dari perbuatan baik, kemudaratan dari perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, jangankan di akhirat kelak, di dunia pun kita dapat melihat dan membuktikannya. Sebagiannya ada yang bisa dibuktikan secara logis dan ilmiah.
Ade Sudaryat, Penulis Lepas bidang agama Islam, pendidikan, sosial-budaya. Tinggal di Kampung Pasar Tengah Cisurupan Garut, Jawa Barat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.