Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karta Raharja Ucu

Iso Nyawang Ora Iso Nyanding (Cerpen)

Sastra | Saturday, 06 Nov 2021, 16:32 WIB

"Jangan mematahkan banyak hati demi berharap pada hati yang ternyata mematahkan hatimu berkali-kali."

Pesan di WhatsApp dari Baba Zainul terbaca oleh Sarah. Gadis muda yang banyak menolak pinangan pria.

Pagi ini dia baru saja kembali menolak seorang juragan buah di Pasar Induk Kramat Jati. Bujang, tampan, tajir, dan masih punya warisan bejibun. Ilmu agamanya pun tak bisa dianggap receh. Pria itu lulusan pesantren terkenal di Jatiwaringin. Enam tahun nyantri. Bebet, bobot sudah jelas, ditambah bibit dari keturunan keluarga haji. Tetapi Sarah tetap menolak.

Itu adalah pria yang kesepuluh yang ditolaknya. Baba tak bisa memaksa, hanya memberi pilihan. Ia tahu menikah adalah ibadah terpanjang, sehingga harus ditemani oleh pendamping yang diharapkan.

Baba Zainul tahu, putrinya menolak banyak pinangan karena menunggu seseorang. Seorang bujang dari tanah pasundan. Pemuda yang pernah menjadi guru ngaji Sarah saat pemuda itu masih ngontrak di rumah Baba semasa ia masih kuliah. Padahal pria itu tak pernah ucap kata, tak pernah menitip janji, apalagi perasaan, hingga pamit sore hari untuk pulang ke kampung halaman setelah diwisuda. Sarah begitu mengaguminya, hingga yakin pria itu akan datang melamarnya.

Sayangnya, Sarah seperti merindukan rembulan di kala siang. Penantiannya hampir tak mungkin tercapai.

Di tahun kelima penantian, Sarah akhirnya menyerah. Sebulan lagi dia diwisuda. Tapi Abah dan Ibunya ingin Sarah menikah sebelum menerima ijazah.

"Ingat pepatah Jawa, nduk: Iso nembang ra iso nyuling, Iso nyawang ra iso nyanding. Kamu hanya bisa mengagumi, tanpa bisa bersama. Jangan sampai itu terjadi sama kamu," pesan ibunya yang berdarah Surakarta, sembari mengelus rambut ikal Sarah.

"Bu," kata Sarah sembari memegang tangan ibunya yang ingin beranjak dari kamar. "Kalau ada pria lagi yang ingin meminang, Sarah setuju, asal Baba dan Ibu memberi restu. Saya sami'na wa atho'na."

Sarah kini memilih tidur. Sepuluh menit kemudian pintu rumahnya diketuk. Seorang pemuda bertamu. Usianya sekitar 28 tahunan. Wajahnya terlihat bersih nyaris tanpa noda jerawat. Pintu dibuka. Baba-nya tersenyum, tangannya disambut ciuman tangan pemuda berlesung pipi tersebut.

"Assalamualaikum. Baba apa kabar?" kata pemuda yang menenteng buah tangan sekerat martabak manis favorit putri Baba.

Ibu yang baru keluar dari pintu kamar Sarah memandang pemuda tersebut dengan senyum sumringah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image