Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ulya Hasan

HUKUM AKDU HIWALAH DAN PENGAPLIKASIANYA DALAM ISLAM

Agama | Sunday, 03 Jul 2022, 18:49 WIB

Abstrak:

Hutang merupakan suatu tanggung jawab yang harus di bayarkan oleh seseorang yang telah meminjam kepada seseorang lainya dalam bentuk uang, barang ataupun janji sekalipun itu masuk dalam kategori hutang yang harus di lunasi, dan hiwalah merupakan bagian dari praktek muamalah yang mana dapat memberikan kemudahan kepada seseorang yang mungkin memiliki kendala dalam membayar hutang, dan dasar hukum dari penerapan hiwalah telah di jelaskan dalam Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan juga Qiyas. Hiwalah merupakan pemindahan hutang kepada pihak kedua ataupun ketiga dalam pembayaran hutang tersebut, namun disisi lain hiwalah juga memiliki beberapa jenis ataupun beberapa golongan, selain itu juga dalam hiwalah juga terdapat beberapa syarat-syarat dan juga rukun-rukun yang mqana harus di penuhi oleh kedua belah pihak yang akan melakukan suatu praktik hiwalah tersebut, hiwalah ini juga telah banyak di praktekkan di beberapa perbankan syari’ah, dan didalam mekanisme hiwalah dalam perbankan syariah memiliki dasar yaitu prinsip tolong menolong dan juga dalam solidaritas dalam membantu meringankan beban seseorang yang memiliki kendala dalam pembayan hutang.

Kata kunci, Hiwalah, dasar hukum

PENDAHULUAN

Seperti yang kita ketahui bersama islam merupakan agam yang indah sekali dan sangat lenkap karena dalam islam telah mengajarkan umatnya mengenai berbagai macam hal dari hal yang terbesar hingga suatu hal yang terkecil sekalipun, seperti halnya mengenai hiwalah yang mana hiwalah merupakan salah satu bentuk dari muamalah hiwalah merupakan suatu pelimpahan hutang dari pihak satu kepihak yang lainya dengan berbagai macam alasan contohnya karena pihak pertama mungkin tidak mampu untuk membayar hutangnya ataupun dengan alasan yang lain sebagainya.

Hiwalah sendiri tidak hanya dapat kita lakukan didalam kehidupan yang biasa saja, namun hiwalah juga telah di praktekkan didalam suatu kelembagaan keuangan syariah, dan pada dasarnya menurut pendapat para ulama praktek hiwalah di perbolehkan asalkan hutang yang di pindahkan merupakan dalam bentuk uang, dan dalam hadist Rosulullah SAW telah di jelaskan mengenai hukum dari hiwalah :” yang memiliki arti penahan (tidak membayar hutang )bagi seseorang yang mampu adalah suatu kedhaliman. Dan apabila piutang seseorang dari pada kalian diserahkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah menerima serahan itu.(muttafaqun alaihi). Dan di dalam hadist diatas di perintahkan bahwasanya Rosulullah saw, apabila ada seorang yang memiliki hutang dan ia mengatur agar hutangnya dibayarkan oleh orang lain yang lebih mampu, maka dari itu pihak yang memberikan piutang hendaknya menerima pemindahan piutang tersebut, mka sesuai dengan dahir hadist tersebut, bahwasanya kebanyakan dari fuqaha Hanabilah, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan Dhairiyah menyatakan bahwasanya wajib hukumnya pihak yang telah berpiutang menerima pemindahan piutang tersebut, namun dari jumhur fuqoha, mengartikan bahwasanya perintah Nabi tersebut sebagai sebuah istihbab. Namun harus kita ingat juga bahwasanya sebelum mempraktekkan hiwalah maka diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratn dan juga rukun-rukun yang telah ditentukan agar praktek hiwalah yang dilakukan menjadi sah adanya.

PEMBAHASAN

1. Definisi Hiwalah

Dalam pembahasan kita kali ini adanya pengalihan hutang yang dalam keilmuan muamalah disebut sebagai Al-hiwalah, definisi hiwalah menurut bahasa adalah, kata “al-hiwalah”-huruf ha’ dibaca dengan kasrah ataupun terkadang di baca fathah-berasal dari kata “at-tahawul” yang memiliki arti ‘al-intiqal’ (pemindahan ataupun sebgai pengalihan)[1]. Orang arab biasanya mengatakan dengan lafadz, “Hala ‘amil’ahdi” yang berarti ‘berlepas diri dari tanggung jawab’. Abdurrahman Al-Jaziri memiliki pendapat bahwasanya yang dimaksud dengan “al-hiwalah”, secara bahasa adalah, “suatu pemindahan dari suatu tempat ketempat yang lainya.”[2]

Sedangkan pengertian dari hiwalah yang telah ditetapkan dalam UU No. 21 Tahun 2008 secara substansial yang sama dengan yang telah di fatwakan oleh dewan syariah nasional (DSN) majelis ulama’ Indonesia (MUI) dengan adanya sedikit perbedaan dalam hal redaksional bahasa. UU telah menghilangkan kata “satu” sebelum kata-kata “pihak” dari definisi mengenai hiwalah yang telah difatwakan dewan syariah nasional (DSN) majlis ulama’ Indonesia (MUI), sehingga pengertian mengenai hiwalah versi UU adalah, “akad suatu pengalihan hutang daru pihak yang telah berhutang kepada pihak yang lainya yang wajib menanggung ataupun membayar”[3]

Dan pengertian hiwalah secara istilah, para ulama memiliki beberapa pendapat dan juga memiliki beberapa definisi yang berbeda:

a. Menurut pendapat Hanafiyah, yang di maksud dengan “al-hiwalah” adalah, “ memindahkan suatu beban utang dari tanggung jawab muhil (orang berhutang) kepada suatu tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang memiliki tanggung jawab membayar hutang juga).”

b. Dan menurut Maliki, Syafi’i dan juga Hanbali, “al-hiwalah” adalh, “suatu pemindahan ataupun pengalihan hak untuk menuntut suatu pembayaran hutang dari salah satu pihak kepada pihak yang lainya.”

c. Dan menurut Zainul Arifin hiwalah merupakan akad pemindahan hutang piutang dari suatu pihak kepada pihak yang lainya, dengan cara demikian didalamnya terdapat tiga pihak yang bersangkutan kepada pihak yang lainya, yaitu pihak yang berhutang (muhil), pihak yang telah memberikanya hutang (muhal) dan juga pihak yang akan menerima pemindahan hutang (muhal ‘alaihi). Didalam konsep hukum hukum perdata hiwalah meripakan serupa dengan pengambil alihan suatu hutang.

Hiwalah menurupakan suatu pengalihan hutang dari seorang yang berhutang kepada orang lain yang wajib untuk menanggung hutang tersebut. Didalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan ataupun hak dari dari satu orang kepada orang yang lainya. Dalam pendapat istilah ulama mengenai hiwalah merupakan suatu pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang memiliki hutang) menjadi suatu tanggung jawab muhal ‘alaih (orang yang memiliki kewajiban untuk membayar hutang).[4]

2. Dasar Hukum Hiwalah

Dalam hiwalah sendiri memiliki dasar hukum yang dimana dapat di jadikan acuan ataupun landasan para ulama untuk mendiskusikan bagaimana hukum dari hiwalah menurut islam, dan bagaimana praktinya sendiri dalam islam:

a. Al-Qur’an

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah Tangguh sampai Dia berkelapangan, dan menyedekahkan (Sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S Al-Baqarah :280)

Dan dari ayat diatas memiliki maksud bahwasanya apabila seseorang yang kmau hutangi memiliki kesulitan dalam ekonomi, sampai tidak dapat melunasi hutangnya, maka hendaknya kamu tunda tagihanya sampai dengan kondisi dari keuangnya membaik Kembali dan mampu untuk melunasi hutangnya. Namun apabila kalian bersedekah kepada orang tersebut dengan cara tidak menagih hutangnya ataupun membebaskan Sebagian dari hutangnya, hal itu meruapakan yang lebih baik bagi kalian jikalau kalian telah mengetahui fadilah ataupun keutamaan dari Tindakan tersebut disisis Allah Swt.

Ini merupakan dalil dari al-qur’an yang dapat di jadikan sebagai landaan hukum dari hiwalah, namun ada juga dalil dari sunnah atau hadist rosulullah mengenai hiwalah ini.

b. Landasan Syari’ah mengenai hukum hiwalah

Pelaksanaa dari al-hiwalah di bolehkan dalam islam, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

مطل الغنيّ ظلمٌ وإذا اتّبع على ملى ءٍ فا ليتبع (متفق عليه)

Yang memiliki arti: memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu merupakan perbuatan zalim, jika salah seorang dari kamu dialihkan kepada yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut). (Muttafaqun ‘alaihi)

Penjelasan dari hadist tersebut yaitu, Rasulullah mengatakan kepada oaring memberikan hutang bahwasanya, jika orang yang berhutang memindahkan kepada oaring yang mampu, hendaklah ia menerima pemindahan tersebut, dan juga hendaklah orang tersebut menagih kepada oaring yang telah dipindahi hutang. Dengan demikian maka haknya terlah terpenuhi.

Dan dalam sabda Rasulullah SAW:

مطل الغنيّ ظلمٌ فإذا أخيل أحدكم على ملى ءً فليحتل (رواه أحمد و البيهقى)

Yang berarti: seseorang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lian, hendak lah diterima pemindahan tersebut, asalkan yang lain itu memiliki kemampuan untuk membayarnya. (HR.Ahmad dan Baihaqi).[5]

c. Ijma

Dan disini para ulama sepakat memperbolehkan hawalah. Hawalah diperbolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang ataupun benda, dikarenakan hawalah merupakan perpindahan utang, oleh sebab itu harus apada utang ataupun kewajiban finansial.[6]

3. Rukun dan juga Syarat Hiwalah

a. Ruku Hiwalah

Imam Hanafi memiliki pendapat bahwasanya rukun hiwalah ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak yang pertama, dan juga qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak yang kedua dan juga dari pihak ketiga. Namun menurut syafi’i, maliki dan juga hanbali dalam hiwalah terdapat 6 rukun yaitu:

1) Muhil, (merupakan orang yang berhutang dan juga sekaligus berpiutang)

2) Muhal ataupun Muhtal, (orang yang telah berpiutang kepada muhil)

3) Nuhal ‘Alaih, ( orang yang telah berhutang kepada muhil dan memiliki kewajiban untuk membayar hutang kepada muhtal)

4) Adanya hutang dari pihak pertama dan juga pihak kedua (muhal bih), yaitu hutang muhil kepada muhtal.

5) Adanya hutang dari pihak ketiga kepada pihak pertama. Utang Muhal ‘alaih kepada muhil.

6) Shighat, (pernyataan hiwalah).[7]

b. Syarat-syarat Hiwalah

Syarat Muhil (pengaliahan utang)

Memiliki dua syarat yaitu:

· Mempunyai kemampuan didalam melaksanakan suatu perjanjian akad. Hal ini dapat di dapatkan apabila ia mempunyai akal yang sehat dan mampu. Hiwalah tidak akan sah apabila di buat oleh seseorang yang mana kewarasanya telah terganggu dan juga anak-anak sebab tak mampu ataupun belum bisa di lihat sebgai seseorang yang telah memiliki kemampuan mengenai hukum.

· Adanya suatu rasa rela untuk seorang muhil. Hal ini diakarenakan hiwalaha memiliki suatu arti pelepasan hak milik maka tidak menjadi sah apabila ia ada rasa keterpksaan. Ibn Kamal berkata dalam al-Idah bahwasanya suatu syarat dari kerelaan didalam pengalihan hutang dibutuhkan waktu untuk berlakunya suatu tuntutan.

Mayoritas dari ulama’ syafi’iyah, Hanafiyah dan juga Malikiyah memiliki pendapat bahwasanya suatu kerelaan dari muhal merupakan hal yang wajib didalam akad hiwalah, dikarenakan hutang yang telah dipindahkan adalah haknya, maka tidaklah dapat di pindahkan dari satu orang kepada orang yang lainya tanpa adanya suatu keralaan diantara kedua belah pihaknya.

Dan alasan mayoritas dari ulama mengenai tidak adanya suatu kewajiban muhal (orang yang menerima suatu pindahan) untuk menerima hiwalah adalah dikarenakan muhal’alaih dalam suatu kondisi yang berbeda-beda ada seseorang yang mudah membayar dan ada juga menunda-nunda suatu pembayaran tersebut. Dengan demikian, jika muhal ‘laih mudah dan juga cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwasanya muhal wajib menerima hiwalah tersebut. Namun jikalau muhal ‘laih termasuk dengan orang-orang yang sulit dan juga suka menunda-nunda pembayaran hutangnya, maka semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerims hiwalah tersebut.

Sayarat Muhal (Pemiutang Asal)

Ada tiga syarat yaitu:

· Haruslah memiliki suatu kemampuan didalam melakukan akad. Hal ini setara dengan adanya syarat yang wajib dipenuhi oleh pihak muhil

· Adanya suatu kerelaan dari pihak muhal dikarenakan tidak sah jikalau hal tersebut dipaksan.

· Suatu penerimaan penawaran harusnya berlaku untuk suatu majlis aqad. Ini merupakan persyaratan berkontrak didalam suatu perjajian.

Syarat Muhal Alaih (Peneriama Pindah Hutang) Muhil dan Muhal haruslah berakal serta baligh:

Adanya kerelaan disini berarti tidak memiliki suatu unsur-unsur paksaan dalam menerima suatu pengalihan utang, suatu perjanjianya tak sah, namun hal ini menurut ulama maliki tidak masyarakatkan suatu kerelaan didalam penerima hiwalah. Didalam penerimaan mestinya dibuat di dalam sebuah majlis akad. Abu Hanifah dan Muhammad, menyatakan syarat ketiga dibawah ini yaitu syarat perjajian. Maka syarat yang berhubungan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan juga Muhal yaitu yang berakal dan baligh. Kedua, adanya suatu kerelaan dari hatinya sebab tidak boleh adanya suatu pemaksaan. Ketiga, ia haruslah menerima perjanjian hawalah didalam sebuah majlis ataupun di luar majlis.

Ketentuan Muhal Bih (Hutang)

Para ulama memiliki pendapat bahwasanya ada dua ketentuan didalam suatu pelaksanaa pengalihan utang, yaitu:

Didalam hutang hendaknya berlangsung kepada piutang dan juga pengalihan utang. Namun seandainya jika bukan utang dalam peran akadnya menjadi perwakilan, kemudian dalam pengaplikasianya hiwalah dalam wujud barang tidak sah, disebabkan dia tidak termasuk dalam tanggungan.

Hutang tersebut hendaknya berupa utang umum. Hutang yang tidak general tidaklah legal dipindahkan, seperti bayaran ganjaran yang mestinya dibayar oleh seorang yang telah dibenarkan menanggungnya melalui suatu pembayaran, sebab hal tersebut utangnya tidaklah lazim, disetiap utang yang tidak sah tidak bisa di buat tujuan untuk jaminan dan dipindahkan.[8]

4. Jenis-Jenis Hiwalah

Menurut madzhab Hanafi telah membagi jenis-jenis hiwalah dalam beberapa bagian, di tinjau dari objek akad, maka hiwalah dapat dibagi menjadi dua, dan jika di tinjau yang di pindahkan itu merupakan hak menurut utang, maka suatu pemindahan tersebut di sebut hiwalah haq (pemindahan haq). Namun jika yang di pindahkan tersebut memiliki kewajiban untuk untuk memebayarnya, maka pemindahan tersebut disebut hiwalah ad-dain(pemindahan hutang), namun di tinjau dari sisi lain terbagi menjadi beberapa bagian:

a) Hiwalah Muqoyyadah

merupakan suatu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang dari pihak pertama kepada seorang dari pihak kedua. Dan hiwalah muqoyyadah ini terjadi apabila ada bil Muhil mengalihkan hak penagihan muhil terhadap pihak muhil alaih disebabkab ada utang yang terdapat pada muhal, hal tersebut di sebut sebagai hiwalah muqoyyadah, dan hiwalah ini juga di perbolehkan (jaiz) berdasarkan kesepakan dari para ulama.

b) Hiwalah Mutlaqoh

jenis hiwalah ini terjadi apabila seseorang berhutang kepada pihak pertama terhadap seseorang pada pihak yang kedua di dalam mengalihkan hak penagihan terhadap pihak dari yang ketiga tanpa adanya dasar seseorang dari pihak ketiga ini memiliki utang seseorang dari pihak pertama.[9]

c) Hiwalah al-haq (pemindahan hak)

Hiwalah al-haq (pemindahan haq) meruapakan apabila sesuatu yang dipindahkan merupakan hak suatu penuntut hutang.

d) Hiwalah ad-dain (pemindahan hutang)

Hiwalah ad-dain (pemindahan utang) merupakan yang di pindahkan adalah suatu kewajiban untung membayar utang.[10]

PENUTUPAN

Kesimpulan

Dalam praktiknya hiwalah merupakan pemindahan hutang dari salah satu orang yang berhutang kepada pihak yang lainya yang memiliki kewajiban untuk menanggungnya. Dan didalam istilah ulama’ hiwalah merukan pengalihan beban hutang dari yang berhutang (muhil) kepada seseorang yang memiliki kewajiban untuk membayar hutang tersebut (muhal’alih).

Dan hiwalah merupakan salah satu akad dalam muamalah yang mana hukumnya diperbolehkan, namun tetap dengan syarat-syarat dan juga rukun-rukun yang harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan hiwalah, namun dalam hiwalah ini dapat mempermudah seseorang yang mungkin belum dapat melunasi huatng yang ia miliki, namun disisi lain lebih masyarakt tidak menunda-nunda membayar hutang yang ia milki agar dapat mencegah terjadinya risiko dalam praktik hiwalah.

DAFTAR PUSAKA

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5. Dar Al-Fikr, Damaskus, 1986.

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Arba’ah, Beirut, Dar Al-Fikr.

Atang abd hakim, Fiqh Perbankan Syariah (Bandung PT Refika Aditama, 2011).

Abdul Majid Toyyibi, Implementasi Hawalah Pada Pembiayaan Bermasalah Studi Kasus

Koperasi Jasa Keuangan Syariah Usaha Gabungan Terpadu BMT Sidogiri KCP Omben Tahun Buku 2018, Jurnal Kajian Ekonomi dan Perbankan, 2019.

Hany Mardotillah, dll, Implementasi Akad Hiwalah Akad Hiwalah Dalam Lembaga

Keuangan Syari’ah, Syari’ah Jurnal of Indonesian Comperative of Syari’ah Law, Vol. 4, No. 2, 2021.

Jafar Sadiq, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hiwalah Dalam Transaksi Jual Beli Ayam

(Studi di Desa Serdang Kec. Tanjung Bintang Lampung Selatan), Skripsi Fakultas Syari’ah, Prodi Muamalah, Universitas Islam Negri Raden Intan Lmapung, 2019.

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2012

Nizarudin, Hiwalah Dan Aplikasianya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, STAIN Jurai

Siwo Metro

Novanda Eka Nurazizah, Implememntasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Ekonomi Islam di

Perbankan Syariah, Institude Agama Islam Negri Ponorogo.

[1] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5. Dar Al-Fikr, Damaskus, 1986, h. 146

[2] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Arba’ah, Beirut, Dar Al-Fikr. h. 210

[3] Atang abd hakim, Fiqh Perbankan Syariah (Bandung PT Refika Aditama, 2011), h. 283.

[4] Nizarudin, Hiwalah Dan Aplikasianya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, STAIN Jurai Siwo Metro

[5] Abdul Majid Toyyibi, Implementasi Hawalah Pada Pembiayaan Bermasalah Studi Kasus Koperasi Jasa Keuangan Syariah Usaha Gabungan Terpadu BMT Sidogiri KCP Omben Tahun Buku 2018, Jurnal Kajian Ekonomi dan Perbankan, 2019, h. 40

[6] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dan Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2012

[7] Novanda Eka Nurazizah, Implememntasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Ekonomi Islam di Perbankan Syariah, Institude Agama Islam Negri Ponorogo, h.7

[8] Hany Mardotillah, dll, Implementasi Akad Hiwalah Akad Hiwalah Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, Syari’ah Jurnal of Indonesian Comperative of Syari’ah Law, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 155

[9] Jafar Sadiq, Tinjauan Hukum Islam Tentang Hiwalah Dalam Transaksi Jual Beli Ayam (Studi di Desa Serdang Kec. Tanjung Bintang Lampung Selatan), Skripsi Fakultas Syari’ah, Prodi Muamalah, Universitas Islam Negri Raden Intan Lmapung, 2019, hal. 44.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image