Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Historia Jakarta 34

Fast Fashion: Antara Modernitas dan Industrialisasi Gelap

Gaya Hidup | Friday, 01 Jul 2022, 10:25 WIB

oleh: Larasati Agrifina Aulia

Dalam sebuah roda kehidupan, manusia akan selalu mengalami perkembangan serta akan terus berinovasi dalam usaha menggapai kemajuan. Dewasa ini, kita hidup dalam alam peradaban yang terbilang maju dengan arus modernisasi dan globalisasi yang mengiringi setiap langkah kita dari hari ke hari. Kemajuan teknologi mulai melesat dan mulai mengambil alih berbagai bidang lini kehidupan, salah satunya industrialisasi. Industrialisasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan memacu pembangunan.

Segala aspek dari hidup kita tidak akan luput dari pesatnya kemajuan ini. Akan tetapi, jika menilik fakta yang ada saat ini, tidak selamanya industrialisasi adalah jalan keluar yang terbaik. Lantas sampai batas mana industrialisasi dan kemajuan berdampak baik bagi kehidupan manusia?

Jika membicarakan kemajuan dan modernisasi, tidak akan banyak orang yang akan terpikir mengenai industri tekstil. Padahal, tanpa disadari fenomena dalam dunia mode kerap kita rasakan, mari kita ambil contoh misalnya yaitu Fast Fashion. Apabila masyarakat ditanya apakah mereka mengetahui merk seperti Stradivarius, H&M, dan Uniqlo, tentu mayoritas masyarakat akan mengetahuinya. Bagaimana tidak, merk-merk tersebut sudah dikenal di pelbagai belahan dunia.

Sialnya, tidak banyak orang yang memahami betul latar belakang dari merk baju ternama yang mereka kenakan. Memang betul, Fast Fashion merupakan industri tekstil penghasil model pakaian yang silih berganti dan mengikuti tren dengan diiringi harga terjangkau, tetapi bila kita lihat secara seksama, pemrokdusian dilakukan secara massal dengan menggunakan bahan berkualitas rendah, sehingga tidak tahan lama. Secara ekonomi, sudah tentu industri ini mengambil keuntungan yang begitu besar. Tetapi, apakah kita tidak sadari, bahwasanya, dibalik harga terjangkau dari industrialisasi, tersirat permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terus mengintai.

Salah satu alasan mengapa isu Fast Fashion tidak diketahui khalayak ramai adalah karena dampak yang ditimbulkan tidak dirasakan langsung oleh pengguna/pembeli. Misalnya, mungkin kita tidak mengetahui bahwa kemeja trendy yang digandrungi oleh para muda-mudi dibuat oleh para pekerja di bawah umur yang bahkan tidak diberikan upah sesuai –bila tidak ingin dikatakan jauh dari kata sejahtera-, atau kenyataan bahwa kesehatan dan keselamatan para pekerja buruh tidak terjamin dalam lingkungan kerja yang tidak terurus dan jauh dari kehidupan yang asri.

Apabila kita menengok ke kecelakaan runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013 silam yang menewaskan lebih dari 1000 nyawa, kita dapat melihat bukti jelas dan konkret dari ketidaklayakan sebuah pabrik penghasil produk Fast Fashion. Ibaratnya, industri Fast Fashion merupakan ladang emas bagi para kapitalis serta lubang neraka bagi para buruh yang mengalami ekploitasi demi upah yang tidak sebanding.

Dampak masalah Fast Fashion juga dapat dilihat dari sudut pandang kelestarian lingkungan. Mungkin akan terbersit pertanyaan dalam benak kita, “Memangnya apa korelasi antara industri mode Fast Fashion dengan lingkungan?” Secara garis besar Fast Fashion memiliki misi untuk menyediakan baju yang terinspirasi dari peragaan mode busana High Fashion dan menghadirkannya dengan harga terjangkau agar bisa mencangkup pasar yang lebih luas. Bisa kita simpulkan bahwa untuk mewujudkan hal tersebut dalam waktu yang relatif cepat, industri Fast Fashion akan menggunakan bahan yang lebih murah dan lebih berpotensi menjadi polutan. Sebut saja, penggunaan pewarna tekstil berbahaya yang menjadikan industri mode sebagai penyumbang pencemaran polusi air terbesar kedua di dunia, atau pemanfaatan bahan Poliester yang berasal dari bahan baku fosil, sehingga dapat menghasilkan serat mikro yang meningkatkan jumlah sampah plastik.

Selain itu, permintaan konstan dari konsumen yang begitu pesat mendorong munculnya masalah lingkungan yang lain, seperti pembukaan lahan untuk membangun pabrik-pabrik untuk menunjang pemroduksian massal yang perlu dilakukan. Fenomena ini secara tidak langsung menciptakan efek domino, yang dinyana, sesuatu yang akan terjadi, akan berdampak kepada sesuatu yang lain, dan dampak yang lain, akan berdampak pula terhadap segalanya, seperti menurunnya keanekaragaman hayati, menurunnya kualitas tanah, hingga munculnya masalah kekeringan.

Sangatlah tidak adil kenyataannya, bahwa lingkungan dan seisinya harus menanggung akibat dari keserakahan manusia yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa harus memiliki nilai-nilai ekologis. Nilai-nilai yang membuat kita masih bertahan sampai saat ini. dan, entah apa yang terjadi kelak bilai nilai-nilai itu diabaikan.

Selanjutnya, yang menjadi dampak dari berkembangnya industri Fast Fashion adalah munculnya sifat konsumtif dalam masyarakat sehingga tidak bisa membedakan mana barang yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang hanya menjadi pemuas hasrat untuk dibeli. Mirisnya, tren Fast Fashion membentuk mindset masyarakat untuk “mudah membuang pakaian” lantaran dianggap sudah tidak bagus dan sudah ketinggalan zaman. Bahkan, pola pikir “ketinggalan zaman” pun didorong dengan adanya perputaran tren mode yang cepat dari industri Fast Fashion itu sendiri. Hal ini menyebabkan adanya penumpukan baju yang sia-sia dan menjadi polutan.

Jika kita melihat ke masa lalu, dapat diketahui bahwaFast Fashion muncul lantaran pada awalnya fashion merupakan produk mahal yang dibuat secara manual, sehingga mulailah dimanfaatkan teknologi untuk memproduksi barang fashion secara massal. Lalu, adakah faktor lain yang mendorong pesatnya perkembangan industri ini? Berdasarkan pandangan saya sebagai orang awam, salah satu pemicu cepatnya perkembangan Fast Fashionyakni adanya suatu standar dalam masyarakat yang mengukur tingkat prestise seseorang dari cara berpakaiannya.

Hal ini, dan faktor-faktor lainnya menyebabkan perputaran mode dan tren terkini menjadi hal yang krusial untuk diikuti, terutama bagi kalangan remaja untuk mempertahankan eksistensinya. Padahal, pola pikir yang merasa bahwa diri kita didefinisikan dengan tren yang diikuti adalah cara berpikir yang salah dan ngawur, karena ada banyak kualitas di dalam diri manusia yang lebih penting dari penampilan fisik. Terlebih lagi, demi menunjang styletersebut, banyak sekali pihak yang akan dikorbankan dan dirugikan.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa masalah Fast Fashion sangat sulit untuk diatasi dan diselesaikan dari akar masalahnya. Bukan berarti tidak ada yang bisa kita lakukan, memang kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini seutuhnya, tetapi tidak akan pernah ada penyelesaian jika tidak ada keinginan dan berusaha yang kuat, setidaknya dengan diri sendiri. Usaha paling mudah yang bisa kita lakukan adalah dengan mengurangi pembelian baju Fast Fashion serta mendonasikan pakaian yang sudah tidak terpakai. Cara lain yang bisa dilakukan yaitu dengan mengganti pembelian produk Fast Fashion dengan produk desainer lokal rumahan sehingga selain membantu menyelesaikan masalah Fast Fashion, kita bisa membantu berkembangnya UMKM, serta menumbuhkan rasa nasionalisme dengan membeli produk dalam negeri.

Masalah Fast Fashion adalah masalah kita bersama, karena bumi yang dicemari adalah bumi kita bersama, dan sudah sepatutnya kita membantu memperjuangkan keadilan hak asasi bagi para pekerja dan mengurangi eksplotasi yang mereka alami. Jika tidak ada yang memupuk pentingnya masalah ini, maka selamanya pula masalah ini menjadi momok yang menemui jalan buntu.

Apalagi jika kita mengingat bahwa industri Fast Fashion beroperasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Usaha yang kita lakukan, tak peduli seberapa kecil, dapat membantu mempertumpul ketidakadilan yang dirasakan oleh banyak pihak. Panjang Umur Perlawanan!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image