Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Jujur, Pernahkah Kata Cerai Terbersit di Batinmu?

Agama | Tuesday, 02 Nov 2021, 09:44 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/kanal_sub/kekerasan-dalam-rumah-tangga-_150921102823-233.jpg

Cerai adalah momok bagi setiap pasangan suami istri. Bahkan, seburuk apapun kualitas hubungan keduanya dalam membangun rumah tangga. Coba saja kau tawarkan opsi cerai kepada temanmu, lelaki beristri atau perempuan bersuami, yang tengah bermasalah sekalipun. Yakinlah, alam sadar mereka serta merta akan menolaknya. “Gila kau, gini-gini aku juga masih punya impian berumah tangga sampai tua dengan dia”.

Atau jawaban lain yang lebih reaktif. “Sudah ah, jangan sebut kata cerai, bahaya tahu”. Ya begitulah, bagi banyak pasangan suami istri, yang sudah berumur ataupun yang baru seumur jagung, cerai adalah sesuatu yang tak boleh dibahas, bila perlu dihindari sejauh mungkin. Bahkan mengucap cerai saja bagi sebagian orang adalah parno, tabu, sensitif. Ya setidaknya kita tahu itu dari ungkapan verbal mereka. Tapi benarkah demikian adanya? Apakah hati dan alam bawah sadar mereka pun bersikap sama?

Saya kok sangsi. Imajinasi manusia terlalu liar untuk didisiplinkan begitu saja. Manusia adalah makhluk peratap, yang setiap masalah berat membebani pundaknya, ia akan lebih sentimental dan reaktif. Mungkin nyaris setiap orang membutuhkan kesendirian ketika tengah berada dalam fase menikmati cobaan yang dianggapnya tak tertanggungkan. Entah untuk merenung dan mengurai masalah lebih jernih, atau lari dari masalahnya.

Ketika suami dan istri tengah berselisih dan bertengkar hebat, tetap saja ada fase bagi masing-masing untuk menghayati masalahnya. Jika suami atau istri merasa masalahnya amat berat dan seperti tak tertanggungkan, saat itulah segala pilihan terburuk bergentayangan di imajinasinya. Bukan sesuatu yang mustahil jika satu di antara imajinasi liar itu bernama perceraian. Seburuk apapun perceraian dalam pandanganmu, ia tetap menempati daftar pilihan solusi berstatus mungkin dan memungkinkan.

Ya, it’s possible and it was normal. Karena menjadi pilihan yang mungkin, maka sebaiknya jangan merepresi dan mendisiplinkannya secara berlebihan. Karena jika konsep tentang cerai disingkirkan dari imajinasimu, bisa saja ia menjelma bom waktu, kapan saatnya Boom. Mohon dicatat, setiap tahun ada ribuan kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama di setiap kabupaten/kota.

Tulisan ini tidak dalam misi merasionalisasi motif untuk bercerai. Tidak sama sekali. Toh, bukankah lebih banyak pasangan yang sukses mempertahankan ikatan pernikahan? Maka kepada pasangan pengantin baru sekalipun, jangan pernah tabu untuk mengingatkan bahwa perceraian tetaplah potensial dan tidak mengenal usia pernikahan.

Tahun 2019, penulis dipaksa menyampaikan sebuah khutbah nikah untuk keponakan. Bukan karena saya ustadz, apalagi karena hebat, tetapi sampai H-1 jadwal aqad nikah, semua ustadz popular di kota kami telah full job. Maka keluarga besar istri langsung mendaulatku untuk mengambil tugas ini. Tolong dicatat, saat itu usia pernikahan saya dengan istri baru menginjak 11 tahun, terlalu muda untuk menyampaikan nasehat pernikahan. Dan terhadap keponakan dan calon suaminya, saya tak lupa menyelipkan isu perceraian. Sebagai penutup, kurang lebih begini potongan isi khutbah nikahnya;

Ananda Asad dan Ananda Anin, ihwal perjalanan panjang dalam biduk rumah tangga, belajarlah pada tiga fase waktu, yakni masa lalu, masa kini, dan masa nanti.

"Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dilakukannya untuk hari esok" (QS. Al-Hasyr: 18)

Cermatilah (present time), apa yang telah kita lakukan (past time) untuk hari esok (future time). Masa lalu itu tak tersentuh, mustahil direvisi, maka cukup jadikan ia pelajaran tentang apa yang telah kita lakukan. Jangan biarkan masa lalu mendominasi masa kinimu yang baru.

Kalian akan membangun sejarah baru, maka jangan biarkan segala rekaman dari masa lalumu kau libatkan dalam panggungmu yang baru. Jangan biarkan lagu-lagu kenangan masa lalumu kau perdengarkan kepada pasanganmu yang baru. Bangunlah masa kinimu sebaik mungkin untuk masa depanmu. Sekelam apapun masa lalumu dan pasanganmu, maafkanlah, berdamailah. Kalau kau tak sanggup menengok masa lalu, tataplah kuat-kuat masa depanmu, itulah yang utama.

"Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu dari masa sekarang" (QS. Ad-Dhuha: 4)

Ananda berdua yang disayangi Allah, suatu waktu dalam perjalanan panjang rumah tanggamu, pastilah muncul dinamika, muncul kesalahpahaman dan perselisihan, bahkan saking beratnya masalah kalian berdua, sampai-sampai tersirat di batin, “Apa mungkin ini waktunya aku harus meninggalkannya, aku sudah tak kuat lagi .dan seterusnya ” It’s normal. Setiap pasangan pernah mengalaminya. Maka jangan lari dari masalah. Ingatlah dua hal.

Pertama, Allah tidak akan membebanimu dengan masalah di luar batas kemampuanmu. Ayat ini tidak hanya bermakna bahwa kita pasti mampu menghadapi masalah yang diujikan Allah kepada kita. Lebih dari itu, ketika kalian memilih lari dari masalah, maka selama itu pula masalah itu akan terus menghantuimu, Allah akan terus menghadapkanmu dengan masalah yang belum kau tuntaskan.

Kedua, saat bahtera goncang dan retak, maka ingatlah hari esok, masa depan, ingatlah anak-anakmu. Betapa banyak pasangan suami istri yang sedianya hendak mengakhiri pernikahan, tetapi memilih bertahan karena pertimbangan anak-anaknya. Maka berinvestasilah untuk hari esok, dengan anak-anak yang shalih dan shalihah, yang dimulai dengan menjadi suami yang shalih, menjadi istri yang shalihah, itulah perhiasan dunia yang kan menyejukpandangkan matabatinmu. Kualitas itulah yang akan mencondongkanmu pada ketenangan, litaskunuu ilaiha..sakinah.

Pada akhirnya, dalam situasi yang rapuh, kita selalu butuh sesuatu yang lebih besar untuk bersandar, untuk kita pegang, hingga riak-riak jalan tak harus menjatuhkan kita. Dalam kaitan rumah tangga, sesuatu yang lebih besar itu bisa berwujud keyakinan atas tujuan (visi) atau labuhan dari bahtera rumah tangga, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini seperti anak kecil yang menangis karena terjatuh, sang ibu akan menggendong dan menunjukkan cicak di dinding atau langit yang tinggi. Lihat itu Nak, awannya tinggi sekali, bagus ya.... Wallahu a’kam. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image