Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrir Roudhi Hadi

Mobilitas Masyarakat dan Ambiguitas Kebijakan Tes PCR

Curhat | 2021-11-02 00:06:36
https://unsplash.com/photos/aDL-o6YVrZM

Angka penurunan Covid-19 di Indonesia menunjukkan hasil yang baik. Sebagaimana dilansir dari Covid-19.go.id pada 1 November 2021 terdapat 784 kasus sembuh, dan 403 kasus baru. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia bisa dinyatakan semakin baik. Hal ini merupakan hasil yang perlu disyukuri dan harus tetap dijaga bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat tetap dihimbau untuk waspada dan selalu taat pada protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, melihat ditemukannya virus Covid-19 dengan varian baru berjenis AY.4.2 atau yang disebut Delta Plus yang sudah menyebar ke beberapa negara seperti Inggris, Singapura, dan beberapa negara lainnya, sehingga sangat memungkinkan terjadinya penyebaran di Indonesia. Dengan menurunnya kasus Covid-19 di Indonesia, pemerintah mulai melonggarkan kembali mobilitas masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari dengan beberapa syarat, yaitu masyarakat wajib sudah melakukan vaksinasi setidaknya dosis pertama, dan melakukan tes PCR apabila hendak bepergian menggunakan transportasi umum, atau transportasi pribadi dengan jarak lebih dari 250 kilometer atau 4 jam perjalanan.

Pada hari Senin, 1 November 2021 kontan.co.id memberitakan bahwa angka mobilitas masyarakat meningkat menjadi 4,4 persen mengutip pernyataan dari Kepala Badan Pusat Statistik dalam konferensi pers virtual, Margo Yuwono yang mengatakan bahwa “Terjadi penurunan mobilitas penduduk di rumah, sehingga aktivitas di dalam rumah semakin sedikit dan sebaliknya terjadi peningkatan aktivitas di berbagai tempat”. Pada hari yang sama kontan.co.id memberitakan berdasarkan survei Danareksa Research Institute mengatakan bahwa “meningkatnya jumlah mobilitas masyarakat tidak diimbangi dengan meningkatnya kebutuhan”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat secara umum belum pulih akibat dampak PSBB dan juga PPKM akibat virus Covid-19. Tidak menutup kemungkinan bahwa mulai dilonggarkannya mobilitas masyarakat menjadi sebuah momentum yang akan dimaksimalkan oleh masyarakat yang terkena dampak untuk memperbaiki ekonomi keluarganya dengan berjualan kecil-kecilan, membuka jasa, atau mendaftar sebagai driver online. Dilain sisi masyarakat ingin perekonomiannya kembali pulih akan tetapi disisi lain terdapat ancaman varian baru AY.4.2 (Delta Plus).

Berkaitan dengan varian baru A.Y 42 sebagaimana yang diberitakan Kompas melalui channel youtubenya pada 29 Oktober lalu melaporkan bahwa saat ini pemerintah sedang mengawasi dan mewaspadai terkait kemungkinan masuknya mutasi baru yaitu A.Y 42 yang ditemukan pertama kali berkembang di Inggris, Lembaga Pengamanan Kesehatan di Inggris menetapkan varian AY.4.2 sebagai varian yang berada di bawah investigasi, varian ini merupakan subvarian baru dari varian Delta oleh karena itu disebut juga dengan varian Delta Plus, menurut data resmi varian ini berkontribusi dalam lonjakan kasus Covid-19 di Inggris sejak bulan Juli hingga Oktober dan telah diidentifikasi di sekitar 6 persen kasus di Inggris, kasus varian AY.4.2 pertama kali dilaporkan sejak April 2020, virus ini diperkirakan telah mencapai lebih dari 23 ribu kasus di seluruh dunia pada 25 Oktober 2021 dan telah menyebar di 42 Negara, varian ini diperkirakan memiliki penularan yang lebih cepat 10-15 persen dibanding varian Delta, kendati demikian para ahli mengatakan bahwa varian AY.4.2 belum tentu lebih berbahaya dan vaksinasi dianggap sebagai cara terbaik untuk melindungi diri dari varian yang beredar saat ini.

Meskipun para ahli mengatakan bahwa varian AY.4.2 belum tentu berbahaya, akan tetapi bukan berarti kemudian dianggap sepele terlebih bagi masyarakat yang sedang berjuang untuk memulihkan perekonomian keluarganya setelah kasus Covid-19 di Indonesia mulai membaik. Yang perlu diingat bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Awal mula masuknya Virus Covid-19 di Indonesia sebagaimana dilansir dari Halodoc.com (10/06/2021) memberitakan bahwa masuknya virus Covid-19 bermula dari pesta dansa yang dihadiri oleh pengunjung multinasional di klub Paloma & Amigos, Jakarta. Sehingga hal tersebut patut dijadikan pelajaran dan evaluasi terhadap potensi munculnya subvarian baru dari Covid-19 seperti AY.4.2 yang sedang dalam kajian dan pengawasan di negara-negara.

Ambiguitas Kebijakan Wajib Tes PCR

Kebijakan pemerintah terkait tes PCR memicu beragam protes, mulai dari penentuan harga yang berubah-ubah dari yang awalnya jutaan hingga saat ini hanya ratusan ribu serta baru-baru ini kebijakan tentang wajibnya tes PCR untuk penumpang transportasi umum yang semula di wajibkan kemudian diubah. Kendati demikian masih banyak protes yang dilakukan masyarakat terkait tes PCR yang Secara fungsi tes PCR adalah sebagai alat diagnosa apakah seseorang terjangkit virus Covid-19 atau tidak. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa tes PCR adalah hak masyarakat sekaligus kewajiban pemerintah disaat pandemi sedang berlangsung dan perekonomian masyarakat memburuk untuk menyediakan dan menjamin bagi setiap masyarakat Indonesia.

Dilansir dari Gaya.tempo.co (1/11/2021) Baru-baru ini pemerintah mewajibkan masyarakat yang hendak bepergian menggunakan transportasi umum seperti pesawat untuk melakukan tes PCR meskipun sudah melakukan vaksinasi. Hal ini mengundang protes dari masyarakat mengingat harga tes PCR yang bisa dikatakan mahal. Pada masa awal pandemi Covid-19 berlangsung, harga tes PCR menyentuh Rp 2,5 Juta kemudian pada Agustus 2020 sesuai dengan Surat Edaran Nomor HK.02.02/1/3717/2020 tentang batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) terjadi penurunan menjadi Rp 900 ribu. Kemudian terjadi penurunan harga RT-PCR kembali berdasarkan HK.02.02/1/3843/2021 tentang batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR. Harga tes PCR menjadi 275 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan 300 ribu untuk wilayah luar Jawa dan Bali. Standard penetapan harga tes PCR yang berubah-ubah dan terlampau off-side jika dibandingkan dari harga awal dan yang berlaku saat ini, memicu beragam asumsi di kalangan masyarakat terhadap pemerintah.

Pada 27 Oktober 2021 lalu, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah menerapkan aturan baru dalam Surat Edaran Kemenhub Nomor 90 tahun 2021. Adapun surat edaran tersebut menetapkan wajibnya menunjukkan kartu vaksinasi dan hasil negatif tes RT-PCR atau antigen untuk pelaku perjalanan darat yang menempuh jarak 250 kilometer atau 4 jam perjalanan. Dalam aturan tersebut, pengendara transportasi darat secara perorangan dan kendaraan bermotor umum wajib menunjukkan kartu vaksin dan surat hasil negatif tes RT-PCR. Sebagaimana dilansir dari Kompas.com (1/11/2021) Dicky Budiman seorang Epidemolog dari Griffith University memberikan catatan bahwa tes RT-PCR lebih diutamakan pada transportasi umum, sedangkan untuk transportasi pribadi yang beraktivitas masih di dalam domisili atau tempat tinggal tidak perlu, akan tetapi menjadi perlu apabila sudah melewati batas provinsi daerahnya masing-masing, tes RT-PCR sebaiknya diutamakan pada transportasi umum yang memuat banyak penumpang, selain itu tes PCR juga harus mempertimbangkan beban biaya pada masyarakat, melihat dibanyak negara kalau PCR tidak sesuai dengan strategi kesehatan masyarakat, karena ada opsi lain terlebih jika sudah melakukan vaksinasi, selama tidak memiliki kasus kontak dan bergejala.

Kebijakan wajibnya tes PCR untuk penerbangan Jawa dan bali dikabarkan telah dicabut. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN Saleh Daulay berpandangan bahwa pencabutan syarat ini sebagai bukti jika pemerintah tidak berbisnis tes Covid-19. Dikutip dari Merdeka.com (1/11/2021). Namun hal ini justru menjadi ambigu dan memunculkan beragam pertanyaan. Mengapa hanya pada transportasi pesawat ? padahal jika mengacu pada pandangan Dicky Budiman selaku Epidomolog, justru tes PCR lebih dibutuhkan pada transportasi yang memuat banyak penumpang. Lantas bagaimana dengan pengguna moda transportasi lainnya ? kenapa tidak dicabut sebagaimana dicabutnya syarat tes PCR untuk penerbangan Jawa dan Bali ?. Pemerintah sudah menetapkan penurunan harga tes PCR akan tetapi meningkatkan penjualan tes PCR dengan memberikan batasan-batasan yang saat ini terkesan ambigu.

Mungkinkah Tes RT-PCR dan Tes Antigen Gratis ?

Jawabannya adalah sangat mungkin sekali apabila APBN mampu menutup biaya PCR. Sebagaimana dikutip dari Jawapos.com (30/10/2021) Said Didu mengatakan bahwa “tes PCR merupakan kepentingan publik dan harus dikembalikan kepada negara. Artinya tidak boleh kepentingan publik ditanggung masyarakat secara pribadi. Karena masyarakat sudah membayar pajak. Sekalipun dana APBN tidak mencukupi untuk menutup biaya PCR minimal uang yang dikeluarkan masyarakat masuk ke dalam pendapatan negara bukan swasta.

Saya pribadi memiliki pendapat bahwa tes RT-PCR atau tes antigen perlu digratiskan untuk setiap masyarakat yang telah melakukan vaksinasi lengkap yakni apabila telah menjalani vaksinasi dosis kedua. Mengapa demikian ? hal ini sebagai reward atas setiap masyarakat yang telah kooperatif dalam berkomitmen untuk melawan Covid-19 dan membantu pemerintah guna mempercepat pemulihan ekonomi dengan target melakukan vaksinasi 70 persen dari penduduk Indonesia supaya terjadi Herd-Immunity. Dampak positif lainnya masyarakat akan termotivasi untuk segera melakukan vaksinasi dan hal ini akan mempercepat tercapainya vaksinasi pada 70 persen penduduk Indonesia, sekaligus membantu sektor pariwisata di Indonesia yang meredup akibat pandemi Covid-19. Di mana masyarakat menjadi mudah untuk berlibur dan menghilangkan stres akibat pandemi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang menjadi syarat bepergian lintas provinsi atau lintas pulau berupa terlaksananya vaksinasi secara lengkap dan surat tes RT-PCR yang gratis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image