Bhayangkara Mitra Ulama dan Santri dalam Menegakkan Amar Maruf - Nahyi Munkar
Agama | 2022-06-29 21:11:48Tahun 1319, didorong nafsu dan ambisinya untuk menjadi orang paling utama di Majapahit, Ra Kuti memimpin anak buahnya mengangkat senjata, memberontak kepada Raja. Hal ini menyebabkan Raja harus terusir ke Bedander, sebuah tempat yang sangat jauh dari Ibukota Majapahit, menusuk masuk ke wilayah Pegunungan Kapur Utara.
Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti menimbulkan penderitaan luar biasa. Perang yang terjadi menyebabkan banyak korban nyawa, mati sia-sia. Banyak istri yang mendadak menjadi janda, banyak anak kehilangan orang tua, dan kisah tentang perempuan diperkosa riuh terjadi di mana-mana.
Beruntung keadaan kacau-balau itu berhasil diredam. Pasukan Bhayangkara memberi sumbangsih sangat besar dalam memberikan serangan balik yang sangat mematikan. Petualangan sangat berdarah itu berakhir dengan kematian Ra Kuti dan segenap pengikutnya, Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Pangsa ditumpes habis kecuali Ra Tanca yang memilih menyerahkan diri.
Peristiwa makar ini melambungkan nama Gajah Mada yang berpangkat Bekel (kepala) Bhayangkara, tetapi karena keberanian dan kecerdasan otaknya mampu menyelamatkan raja dari marabahaya dan mengembalikannya ke tampuk pimpinan negara.
Itulah satu sudut kisah kegagahan pasukan Bhayangkara Kerajaan Majapahit dalam mengamankan kedudukan Raja Majapahit pada waktu itu. Pasukan elit ini berhasil menggagalkan kudeta dan pembunuhan raja (Langit Kresna Hariadi, 2006 : 7 - 9, “Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, ).
Sejak peristiwa tersebut, Bhayangkara menjadi pasukan elit terkenal. Semua rakyat membanggakannya. Tugasnya pun berubah menjadi pasukan khusus pengawal keselamatan raja.
Kini beratus-ratus tahun setelah peristiwa tersebut, di negara kita, pasukan Bhayangkara pun menjadi salah satu tameng keamanan negara. Dialah Kepolisian Republik Indonesia. Nama Bhayangkara diadopsi institusi ini bukan saja untuk mengadaptasi keelitannya, namun juga untuk mengadopsi dan mengadaptasi sikap juang dan rela berkorban pasukan ini dalam upaya ikut menjaga keamanan dan menjaga kedaulatan bangsa dan negara ini.
Dalam menjalankan tugasnya sejak dilantik sebagai anggota kepolisian, para anggota kepolisian berjanji dan bersumpah selain akan taat dan patuh terhadap Pancasila dan UUD 1945, juga berjanji akan selalu memegang teguh Tri Brata dan Catur Prasetya Kepolisian Republik Indonesia (Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 22 dan 23).
Inti isi dari Tri Brata adalah polisi Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa dengan dasar ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945; dan senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Sementara isi dari Catur Prasetya adalah kehormatan seorang polisi adalah berkorban demi masyarakat dan negara untuk meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak azasi manusia; menjamin kepastian berdasarkan hukum; dan memelihara perasaan tenteram dan damai.
Lalu adakah hubungannya polisi dengan ulama dan santri? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis teringat akan petuah ulama sepuh, almarhum K. H. Sahal Mahfudz.
Pertama, seorang santri harus mampu menutup aurat (satrul aurah) dalam arti bukan saja menutup aurat secara zahir seperti menutup kemaluan, namun yang paling utama adalah kemampuan menutup diri dengan rasa malu. Orang yang memiliki rasa malu tak akan berani melanggar hukum.
Kedua seorang santri harus mampu menjadi wakil ulama (na'ibul ulama), pengayom umat. Peran dan fungsi utama dari ulama adalah sebagai pengayom dan pelayan umat dalam segala dimensi kehidupan yang dilakukan secara ikhlas dan tanpa pamrih, dan ketiga, dengan segala daya upayanya seorang santri harus mampu menjauhi dan meninggalkan kemaksiatan (tarkul ma’ashi).
Jika satrul aurah, na’ibul ulama, dan tarkul ma’ashi sudah terdapat dalam jiwa seorang santri, maka ia akan mampu menjadi pemimpin umat (raisul ummah), tingkat paling minimal menjadi pemimpin di lingkungannya sendiri.
Jika dihayati lebih dalam dan benar-benar dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh seluruh anggota Kepolisian Republik Indonesia, petuah almarhum K. H. Sahal Mahfudz tersebut, saripatinya sudah terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam Tri Brata disebutkan, polisi Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa dengan dasar ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Unsur-unsur tersebut merupakan konsep dari menutup aurat (satrul aurah). Orang yang menutup aurat adalah orang yang memiliki rasa malu dalam arti luas. Ia merasa selalu diawasi Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun tidak ada manusia yang melihatnya, ia akan malu jika melanggar hukum sebab selalu merasa diawasi oleh Yang Maha Melihat. Ia akan tetap malu jika melanggar hukum dan tidak menegakkan kebenaran dan keadilan.
Isi Tri Brata lainnya, senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Point ini merupakan konsep dari na'ibul ulama, pengayom umat/masyarakat.
Layaknya kehadiran seorang ulama yang harus memberi kesejukan kepada umat, kehadiran polisi harus membawa rasa aman dan nyaman kepada masyarakat dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Jika prinsip satrul aurah dan naibul ulama, pengayom umat/masyarakat sudah tertanam dalam jiwa setiap anggota kepolisian, maka jargon kepolisian “Melindungi & Melayani Masyarakat” akan benar-benar dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Sementara dalam Catur Prasetya disebutkan, kehormatan seorang polisi adalah berkorban demi masyarakat dan negara untuk meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak azasi manusia; menjamin kepastian berdasarkan hukum; dan memelihara perasaan tenteram dan damai, semuanya merupakan konsep tarkul ma’ashi dan raisul ummah. Polisi juga menjadi garda terdepan dalam membantu santri dan ulama dalam mencegah kemunkaran (nahyi munkar).
Seperti disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, terdapat tiga tahapan dalam upaya mencegah kemukaran, yakni dengan lisan; dengan tangan (kekuasaan); dan dengan diam (membenci dalam hati).
Mencegah kemunkaran dengan lisan adalah dengan memberi petuah atau nasihat agar orang-orang tidak berbuat kemunkaran atau mengingatkan orang-orang yang berkubang dalam kemunkaran agar kembali ke jalan yang benar. Pada posisi inilah kekuasaan santri dan ulama berada. Sementara secara hukum positif, ulama dan santri tak memiliki kekuasaan untuk menghentikan dan menghukum orang-orang yang berbuat onar dan munkar.
Mencegah kemunkaran dengan tangan (kekuasaan), kemampuan menghentikan dan menghukum orang yang telah berbuat onar dan munkar merupakan posisi yang harus dilaksanakan para pemegang kekuasaan, yang dalam hal ini diwakili kepolisian. Sedangkan posisi yang ketiga adalah posisi orang-orang awam. Mereka tak memiliki ilmu yang handal, tidak pula memiliki keimanan yang kuat dan kekuasaan, tapi mereka sangat membenci terhadap tindakan onar dan munkar.
Kita berharap, kehadiran polisi mampu memperkokoh kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara yang tertib, aman, dan nyaman. Lebih dari itu, kehadiran polisi diharapkan dapat memperkokoh kemitraan antara ulama, santri, dan polisi dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Jalinan erat kemitraan ini akan dapat mengikis stigma diantara keduanya, baik stigma polisi kepada ulama maupun stigma ulama kepada polisi. Bukan rahasia lagi stigma antara ulama, santri, dan polisi pernah mencuat yakni prasangka kriminalisasi terhadap ulama dan santri.
Selamat hari Bhayangkara, semoga Kepolisian Republik Indonesia menjadi garda terdepan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, memasyarakatkan amar ma’ruf, dan dengan kekuasaannya sebagai penegak hukum mampu bertindak tegas terhadap siapapun yang berbuat onar dan munkar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.