Filosofis-Analogis Penyakit Autoimun dan Kehidupan Sosial
Agama | 2021-10-31 17:16:12MENURUT para ahli kesehatan, tubuh manusia sudah memiliki bawaan sistem kekebalan tubuh yang berfungsi menjaga tubuh dari serangan organisme asing seperti bakteri, virus, atau penyakit. Namun demikian, terkadang sistem kekebalan tubuh ini mengalami kerusakan akibat suatu penyakit tertentu atau adanya keganjilan dalam sistem kekebalan tubuh. Keganjilan ini dapat menciptakan penyakit bagi tubuh manusia. Penyakit yang diakibatkan karena keganjilan kekebalan tubuh ini terkenal dengan sebutan autoimun.
Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun dalam tubuh seseorang tidak mampu mengenal, merespon, dan mengingat akan tugasnya sebagai sistem yang harus melindungi kekebalan tubuh. Konon kabarnya, obat yang diberikan kepada penderita penyakit autoimun adalah obat yang dapat merangsang sistem imun agar dapat kembali mengenal, merespon, dan mengingat fungsinya, yakni melindungi kekebalan tubuh dari serangan berbagai penyakit.
Apabila kita mencoba menelusuri filososis-analogis dari penyakit autoimun, kehidupan sosial kita, baik dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laksana tubuh yang memiliki satu kesatuan. Jika salah satunya sakit, bagian tubuh lainnya pun akan merasakan sakit. Setiap anggota masyarakat, apapun kedudukannnya, memiliki peran masing-masing untuk mempertahankan kesehatan dan keutuhan kehidupan sosial di sekitarnya.
Dari sudut pandang anatomi, kehidupan bermasyarakat atau berbangsa kita laksana sebuah tubuh yang memiliki anggota tubuh yang saling menopang dan saling menguatkan. Adanya badan legislatif, eksekutif, yudikatif, tentara, polisi, guru, pemuka agama, dan sebagainya selain merupakan bagian dari anggota tubuh dalam kehidupan sosial, juga merupakan bagian dari sistem kekebalan yang dapat memperkokoh tubuh kehidupan sosial.
Masing-masing kedudukan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dengan beragam perannya menjadi bagian dari sistem kekebalan tubuh kehidupan sosial. Jika salah satunya sakit, mengurangi perannya dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan terjadi ketimpangan, bahkan konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih-lebih jika kedudukan seseorang tersebut malah menjadi penyerang yang merongrong keutuhan dan ketenangan hidup masyarakat.
Jacques Derrida, filsuf asal Perancis mengibaratkan kehidupan sosial, bermasyarakat, berbangsa, dan bernebara itu laksana tubuh manusia. Didalamnya terdapat sel-sel yang menciptakan kekebalan tubuh dari berbagai perbuatan yang dapat merusak tatananan kehidupan. Sel-sel kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita terdapat dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, tentara, polisi, guru, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan fungsinya, sel-sel yang terdapat dalam seluruh kehidupan sosial tersebut idealnya menjadi pelindung keberlangsungan hidup, menjaga martabat dan kewibawaan kehidupan sosial, baik dalam bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Demikian pula sel-sel yang ada dalam tatanan kehidupan sosial unsur terkecil seperti keluarga, entah itu suami, orang tua, ustadz, ulama, guru, dan sel-sel kehidupan lainnya merupakan pelindung keamanan dan kenyamanan hidup orang-orang yang ada di sekitarnya.
Namun dalam kenyataannya tidaklah seperti yang diharapkan semua orang. Sel-sel yang seharusnya menjadi pelindung keutuhan hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat malah menjadi perusak dan penghancur tatanan kehidupan. Ustadz, guru, orang tua, polisi, tentara, pejabat, dan lain sebagainya yang seharusnya menjadi penguat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dalam kenyataannya malah menjadi penyerang keutuhan negara dan merampas kenyamanan hidup.
Kita sering menemukan kasus, seorang guru atau ustaz yang seharusnya menjadi pamong dan pelindung bagi peserta didik malah sebaliknya. Para peserta didik yang seharusnya mendapatkan keamanan dan kenyaman selama mengikuti pelajaran di sekolah karena mereka berada di tengah-tengah orang tua keduanya, nyatanya tidak seperti yang diharapkan. Kekerasan dan peristiwa menyakitkan sering menimpa mereka. Pelakunya tiada lain adalah gurunya sendiri.
Di rumah pun demikian. Idealnya, seorang suami menjadi pelindung bagi istrinya. Namun nyatanya, tak sedikit para istri yang menjadi korban kekerasan suaminya. Kini sering terjadi seorang suami yang sengaja menjual paksa kemolekan tubuh istrinya.
Istri yang seharusnya merasa aman dan nyaman berada di samping suaminya, kondisinya malah sebaliknya. Demikian pula dengan anak-anak. Mereka sering menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan para orang tuanya. Tak sedikit orang tua yang tega menyakiti, bahkan menghabisi nyawa buah hatinya. Kasus seorang ibu yang membuang bayi yang dikandungnya nyaris terjadi setiap waktu.
Dalam kehidupan bernegara pun tak jauh berbeda. Aparatur negara yang sejatinya menjadi pelindung kehidupan, malah sebaliknya. Mereka menjadi perusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif sering dinodai oleh orang-orang yang seharusnya menjunjung tinggi martabat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Siapapun akan merasa heran, ketika ada polisi, hakim, dan jaksa melakukan tindak kekerasan, kejahatan dan akhirnya menjadi penghuni Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakan. Seorang polisi, jaksa, dan hakim yang seharusnya menjadi tameng penegak hukum dan keadilan, malah sebaliknya.
Berbagai kasus yang menimpa institusi kepolisian akhir-akhir ini menjadi bukti nyata, sel-sel kehidupan sosial kita sedang sakit, sedang menderita autoimun. Polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah menyakiti masyarakat. Semua orang pasti miris mendengar anggota polisi yang menyakiti sesama anggotanya dan melakukan berbagai tindakan kekerasan fisik dan nonfisik kepada masyarakat.
Semakin meningkatnya tindak pidana korupsi merupakan bukti lainnya bahwa tatanan kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara kita telah disakiti orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga martabat, kewibawaan, keamanan, dan kenyamanan hidup di negeri ini. Seorang pejabat yang seharusnya menjadi ponggawa penjaga keuangan negara malah sebaliknya. Ketika uang dititipkan kepada sang pejabat bukannya bertambah, malah hilang dipakai kepentingan pribadi alias dikorupsi.
Dalam kehidupan intelektual dan beragama pun tak jauh berbeda. Kini, agama sering dijadikan topeng untuk melakukan tindak kejahatan. Kasus Kangjeng Dimas yang menggemparkan negeri ini beberapa waktu lalu menjadi salah satu buktinya. Anehnya lagi, yang menjadi beking perbuatan Kangjeng Dimas bukan orang awam, namun orang-orang berpendidikan tinggi, kaum intelektual yang seharusnya memberikan pencerahan kepada masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tak masuk akal, melanggar norma, dan hukum.
Sudah beberapa lama pula, kehidupan sosial-politik kita dilanda wabah saling lapor, entah karena taat hukum atau karena emosi sesaat. Kalangan elit politisi, para pejabat, selebriti, pemimpin ormas, dan pengusaha terjebak ke dalam putaran wabah saling tuntut dan saling mempolisikan, meskipun ujung ceritanya berakhir klise.
Benar semua hal yang telah dipaparkan tersebut merupakan perbuatan oknum-oknum tertentu saja. Namun demikian, kita layak berasumsi, jangan-jangan berbagai institusi dan masyarakat di negara kita tengah menderita penyakit autoimun. Semua kalangan harus mencari penyebabnya dan segera mengobatinya.
Apapun penyebabnya, demi kenyamanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kiranya perlu diberikan pengobatan dan perlakuan khusus agar semua orang kembali mengenal, merespon, dan mengingat fungsi dan perannya di tengah-tengah kehidupan sosial. Dengan cara seperti ini, diharapkan keamanan dan kenyamanan hidup di negara kita dapat kita raih kembali.
Dalam konsep al Qurâan, tugas manusia adalah beribadah dan menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Salah satu bagian dari beribadah adalah memakmurkan bumi, dan menjauhi perbuatan yang dapat merusak tatanan kehidupan. Oleh karena itu, kehidupan yang kita jalani harus saling menopang, saling menjaga, saling menyayangi, dan saling menguatkan satu sama lainnya. Sejatinya hidup kita jalani dengan saling membantu, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (Q. S. Az-Zukhruf : 32).
Ade Sudaryat, Penulis Lepas bidang agama Islam, pendidikan, sosial, dan budaya. Tinggal di Kampung Pasar Tengah Cisurupan Garut Jawa Barat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.