Memaknai Bulan Bahasa dengan Gerakan Literasi
Eduaksi | 2021-10-30 17:13:07Kebiasaan membaca sebenarnya telah ditanamkan kepada kita sejak duduk di bangku sekolah. Namun, kebiasaan tersebut tumbuh hanya menjadi sebuah formalitas belaka. Dimana sebagian dari kita menganggap bahwa membaca merupakan salah satu tanggung jawab yang harus dipenuhi dan tidak berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, selepas dari lingkungan sekolah pun kita cenderung minim melakukan gerakan literasi.
Nyatanya, berdasarkan sensus Badan Pusat Statistika (BPS), sebanyak 85,9% masyarakat Indonesia memilih menonton televisi dibandingkan mendengarkan radio yang hanya berjumlah 40, 3%, dan membaca koran sebesar 23,5%. Hal ini turut didukung dengan catatan UNESCO yang menyatakan, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 atau hanya terdapat satu orang yang memiliki minat membaca dari setiap 1.000 orang. Angka serupa ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya di ASEAN, dimana rata-rata orang di Indonesia hanya membaca 2-3 buku dalam setahun.
Padahal, membaca merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan sekaligus pembentuk kualitas bangsa. Adapun manfaat membaca bagi pendidikan diantaranya, mencegah kebodohan, membentuk karakter bangsa, dan mencerdaskan anak-anak bangsa (Zubaedi, 2011: 178). Untuk itu, program literasi memiliki urgensi yang tinggi untuk diterapkan di negara kita.
Mengingat bulan Oktober merupakan bulan bahasa, momen ini dapat dijadikan sebagai kesempatan yang tepat untuk menumbuhkan kembali budaya literasi di tengah masyarakat. Pemerintah sebagai pemimpin bangsa seharusnya dapat menggandeng para lembaga pendidikan lainnya untuk bersama-sama menyusun strategi gerakan literasi.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya gerakan literasi. Salah satunya melalui cara yang menarik dan unik di lingkungan terdekat, seperti lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sekolah. Mengingat sekolah merupakan tempat pertama anak bertumbuh dan berkembang, para tenaga pengajar dapat menumbuhkan kesadaran membaca tanpa rasa membebani.
Sebagai role model, kebiasaan anak tentu akan tumbuh sejak dini ketika melihat orang di sekitarnya memiliki kebiasaan untuk membaca. Dengan begitu, membaca bisa berkembang tidak hanya menjadi sebuah hobi namun juga kebiasaan anak hingga dewasa kelak.
Adapun kontribusi yang diberikan oleh pemerintah turut mendorong gerakan literasi bagi anak-anak. Misalnya dengan memberikan sarana pendidikan dan akses fasilitas yang merata. Melihat fakta bahwa masih terdapat sekolah-sekolah yang belum terpenuhi kebutuhan sepenuhnya. Bahkan, tak sedikit anak di Indonesia yang terpaksa putus sekolah atau mendapat fasilitas yang masih jauh dari kata layak. Hal ini tentu berdampak pada kualitas literasi di Indonesia.
Terakhir, kurangnya produksi buku di Indonesia turut menjadi salah satu kendala yang dialami dalam proses literasi. Terlebih, bagi para penerbut di daerah dan berbagai peraturan yang mengharuskan para penulis untuk membayar royalty dalam jumlah besar. Tak sampai disitu, insetif yang mereka dapatkan ketika karyanya telah terbit juga terbilang masih belum merata atau sesuai.
Untuk itu, diperlukan kerja sama antara pihak pemerintah dan berbagai lembaga lainnya dalam membangun kebiasaan membaca di Indonesia. Negara yang memiliki tingkat literasi tinggi tentu memiliki mutu pendidikan yang tinggi pula. Dengan begitu, masyarakat yang cerdas akan mengubah kesejateraan diantara mereka sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.