Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fathur rachman

Bahasa Gado-gado, Budaya Baru Milik Milenial?

Sejarah | Friday, 29 Oct 2021, 12:16 WIB
Sumber: unsplash.com

Bulan Oktober mengingatkan kita kepada sejarah terbentuknya Sumpah Pemuda. Ketiga ikrarnya terbentuk sebagai tonggak mendasar tujuan Indonesia berdiri yang di dalamnya terdapat kebulatan atas satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.

Maka tidak heran, kalau bulan Oktober dipilih sebagai Bulan Bahasa dan Sastra yang termasuk dalam ikrar ketiga Sumpah pemuda.

Namun, ada satu pertanyaan yang perlu diberikan kepada generasi muda saat ini. Apakah mereka telah menerapkan ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbumyi:

"Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Milenial dan bahasa gado-gado

Akhir-akhir ini, rasanya sudah banyak variasi bahasa yang masuk ke dalam lingkup sosial pergaulan milenial, baik secara lisan maupun tulisan.

Masyarakat Indonesia tentu membuka seluas-luasnya pengetahuan tentang bahasa asing ataupun daerah. Tapi apa daya ketika eksistensi bahasa asing dapat menyaingi bahasa Indonesia sebagai induk bahasa dalam pemakaiannya sehari-hari. Misalnya pemakaian bahasa gado-gado.

Gado-gado biasanya identik dengan makanan. Namun dalam konteks kebahasaan juga ada istilah yang biasa dikenal sebagai budaya bahasa gado-gado.

Budaya ini mengacu pada cara kaum milenial untuk mencampur-campurkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa lainnya, seperti bahasa daerah dan asing.

Misalnya dengan mencampurkan tiga bahasa secara langsung dalam satu kalimat; bahasa Indonesia, Inggris, Sunda atau bahasa Inggris, Indonesia, arab seperti:

"Eh lo teh urang mana? Kalo ane orang Bandung"

"Literally, gue suka sih sama gaya lo!"

Tak jarang bahasa gado-gado ini dikenalkan melalui berbagai tayangan industri media dan juga public figure yang memiliki pengikut yang banyak.

Bahkan jika public figure ini memiliki kemampuan untuk memengaruhi pengikutnya. Maka bisa jadi apapun yang dilakukan oleh public figure akan diaminkan alih-alih dapat terlihat keren di mata orang lain, termasuk budaya bahasa gado-gado.

Dari hal tersebut, dapat dibilang budaya bahasa gado-gado terjadi bukan semata-mata karena masifnya informasi yang diterima masyarakat, tapi juga karena faktor lingkungan yang mengharuskan kaum milenial untuk memiliki identitas dalam kelompok sosialnya.

Pada dasarnya pun salah satu yang menandakan suatu ikatan kelompok adalah pemakaian bahasa tertentu. Maka tidak jarang bahasa gado-gado ini dipakai dalam pergaulan sehari-hari oleh kaum milenial.

Jati diri bangsa milik siapa?

Berkat ikrar Sumpah Pemuda (1928) dan Kongres Bahasa Indonesia I (1938), bahasa Indonesia dapat diakui dan berfungsi sebagai jati diri bangsa.

Kemudian jati diri ini dilanjutkan melalui proyek-proyek Orde Baru, seperti melarang penggunaan bahasa inggris di markah hotel-hotel atau gedung-gedung.

Ditambah ketika reformasi, pemerintah mengeluarkan Perpres 63 tahun 2019 yang mengatur penggunaan bahasa bagi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat lainnya.

Maka dari itu, kemunculan bahasa gado-gado mengalami banyak kontroversi saat ini. Salah satunya dengan melabeli bahwa masuknya bahasa asing seperti bahasa inggris dapat membawa pengaruh buruk yang bertentangan dengan nilai Pancasila, Sumpah Pemuda, dan semangat pemnbangunan di masa Orde Baru.

Yang menjadi pertanyaan, apakah benar masuknya bahasa asing akan membawa pengaruh buruk bagi generasi bangsa? Lalu, apakah secara langsung kualitas dan jati diri bangsa menurun dengan mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa asing?

Menjawab hal ini, saya dapat berkata bahwa mempelajari peristiwa terbentuknya jati diri bangsa melalui bahasa itu penting, terutama untuk mempertahankannya.

Namun di satu sisi budaya bahasa juga terus berkembang dinamis dan kita tidak dapat menolaknya. Kita perlu terus beradaptasi bersamaan dengan sikap terbuka kepada hal baru.

Pengaruh bahasa gado-gado saat ini

Bahasa gado-gado yang notabene bersumber dari bahasa asing itu mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk, tapi tidak semua pengaruh dari luar itu buruk dalam penggunaanya.

Yang perlu kita tanamkan adalah peningkatan literasi budaya digital kepada milenial di era disrupsi informasi ini, sehingga membuat kita bisa lebih selektif dalam memakai bahasa.

Saat ini juga kita harus melihat penggunaan bahasa asing untuk membawa peluang baik untuk kita. Misalnya pemakaian bahasa asing untuk kepentingan urusan ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan.

Saya percaya dengan peningkatan literasi berbahasa, kita tidak akan mengurangi jati diri bangsa Indonesia dalam diri kita, sekalipun kita mencampur-campurkan bahasa asing dengan bahasaIndonesia.

Dengan syarat bahwa penggunaan bahasa gado-gado dapat dipahami oleh lawan bicara, tidak menurunkan identitas bangsa, serta mampu memadukan tata bahasa yaing baik dan benar.

Ibaratkan pisau dapur. Jika kita tidak bisa menggunakan sesuai fungsinya, bisa saja kita menggunakannya untuk hal buruk. Tapi jika kita memakainya sesuai dengan instruksi, tentu kita akan mendapatkan tujuan yang benar dan membantu untuk produktivitas kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image