Bagaimana Pendidikan Karakter Membentuk Civil Society?
Eduaksi | 2022-06-24 13:37:24Negara-negara Barat mengembangkan pendidikan karakter berbasis sekolah yang berperan penting dalam membentuk dan memperkuat karakter peserta didik. Dalam pendidikan Barat, pendidikan karakter dikembangkan dan bersumber dari nilai-nilai budaya. Nilai dalam kaitannya dengan budaya, merupakan ide tentang apa yang baik, buruk, dan memadai.
Menurut para ahli sosiologi Barat, nilai (value) dan moralitas tidak bersifat universal, namun beragam atau berbeda-beda di tiap kultur sosial. Premis tentang nilai pun muncul dan berubah sesuai dengan perubahan meta-ideologi dari lingkungan tempat nilai tersebut muncul. Sebagai contoh, apabila sebuah masyarakat lebih dominan kepada agama akan condong kepada nilai-nilai supranatural, sedangkan apabila nilai lebih berorientasi pada ekonomi pasar, maka moral akan cendrung kepada uang, pendapatan dan kekayaan.
Nilai yang berseberangan, antara agama dan ekonomi pasar, senada dengan apa yang disampaikan James Arthur dalam Education with Character. Menurutnya, berbicara tentang pendidikan karakter berarti masuk dalam wilayah rawan pertentangan, yakni antara definisi dan ideologi. Ideologi dan definisi pendidikan karakter antara Barat dan Timur tentu sangat berbeda.
Peradaban Barat modern menganggap nilai sebagai produk rasionalitas individu-individu, dan ketika nilai berada dalam konteks sosial dan budaya, maka nilai diartikan sebagai konsensus bersama sekelompok manusia. Bagi sarjana-sarjana Barat, seperti Weber, nilai itu ada secara objektif dalam subjektivitas manusia dan murni menjadi milik dari pribadi-pribadi.
Dalam pandangan masyarakat agamis, pendidikan akhlak atau karakter merupakan proses panjang yang menjadi tujuan dari sebuah paradigma pendidikan. Beberapa sarjana Barat sepakat bahwa pendidikan karakter bukan hanya nilai milik masing-masing pribadi yang sifat individualistik. Melainkan, sebuah nilai moral abslout yang bisa saja berasal dari banyak agama. Sarjana Barat yang mengusung ide ini adalah Thomas Lickona dan Kilpatrick.
Thomas Lickona menulis buku yang berjudul the Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Kilpatrick menjelaskan bahwa pendidikan karakter tidak dapat terlepas dari moral absolut yaitu nilai-nilai positif yang berasal dari berbagai agama yang menjadi sumber dalam bersikap dan berperilaku. Oleh karenanya, Kilpatrick mendasarkan pentingnya agama sebagai bagian dalam memberikan spirit dalam kehidupan. Sebagai pemberi amunisi dalam berperilaku dan bersikap.
Keduanya meyakini bahwa pendidikan karakter tidak bisa sekuler, melainkan dipengaruhi dan mengadopsi dari banyak nilai agama. Seorang filsuf kontemporer Michael Novak mengungkapkan karakter adalah campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.
Kumpulan nilai-nilai itu kemudian membentuk sebuah norma yang kemudian diajarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal. Dengan begitu, akan lahir sebuah masyarakat yang terikat dengan pembentukan karakter. Masyarakat tentunya berproses dalam karakter mereka. Karakter yang baik berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya yang ditandai dengan nilai-nilai, seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggungjawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, dan berbagai potensi mulia lainnya.
Jika nilai-nilai mulia di atas sudah internalisasi dalam diri invididu, maka menjadi suatu hal mudah membentuk masyarakat yang berkarakter mulia. Nilai agama masuk dalam pendidikan karakter karena seseorang berusaha melakukan hal-hal terbaik bagi Tuhan yang diimaninya, dirinya, sesama lingkungan, bangsa dan negara serta dunia pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya disertai kesadaran emosi dan motivasinya. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.