Penerapan Hak Asasi Manusia di Lingkungan Pesantren pada Era Modern
Edukasi | 2022-06-24 12:38:23Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 dipaparkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Agama Islam dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang dapat diyakini, dan mejamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Dalam penerapan syari’atnya, agama tidak pernah memberatkan pemeluknya untuk beribadat kepada Allah SWT.
Begitu juga Pendidikan dalam islam yang terikat dengan aturan syari’at. Kewajiban menuntut ilmu bagi semua umat muslim baik laki-laki ataupun perempuan. Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hukum menuntut ilmu adalah fardlu ‘ain, yaitu :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya, “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, No. 224).
Status hukum menuntut ilmu yang fardlu ‘ain ini mengisyaratkan semua orang yang beriman kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan, wajib untuk menuntut ilmu tanpa terkecuali. Salah satu bentuk pendidikan terkhusus keilmuan agama Islam yang ada di Indonesia atau sering disebut Pondok Pesantren, merupakan pendidikan yang turut andil untuk memajukan kehidupan bangsa dan negara.
Tidak jarang kita temui salah satu tujuan orang tua memasukkan anaknya ke pondok pesantren adalah agar anak tersebut bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dilihat dalam perkembangannya bahwa periode remaja ditandai dengan usia bermasalah. Dalam proses pembelajaran pesantren mempunyai ciri khas tersendiri. Pondok pesantren mendidik para santrinya untuk menjadi generasi yang disiplin. Pesantren biasanya memiliki tradisi tersendiri dalam mendidik santri, salah satunya ialah yang biasa disebut dengan ta’zir.
Ta’zir merupakan hukuman bagi para santri yang melanggar peraturan. Setiap pelanggaran yang dilakukan memiliki konsekuensi yang harus diterima oleh pelanggar, seperti berdiri di depan ndalem yai sambil membaca Al Qur’an sesuai kesepakatan di awal masuk pondok.
Digundul ketika ketahuan pacaran atau pergi dari pondok pesantren tidak izin dalam waktu yang lama. Jika ketahuan mencuri maka mereka harus berdiri di tengah lapangan dengan membawa tulisan semisal “SAYA MENCURI” dan terkadang juga disiram air. Jika ada anak yang ketahuan membawa hp secara sembunyi-sembunyi, maka hp tersebut akan disita dan dihancurkan.
Ta’zir yang dilakukan oleh pengurus pondok terhadap santri yang melanggar sering kali dianggap oleh masyarakat sekitar tidak sesuai dengan peraturan-peraturan di dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang ada di Indonesia.
Di dalam HAM telah diatur berbagai peraturan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan tanpa adanya penindasan . Sehingga segala bentuk kekerasan baik dalam pendidikan formal maupun non formal itu bertentangan dengan HAM.
Mengapa demikian?
Hal ini dikarenakan dampak dari kekerasan akan menyebabkan gangguan psikis dan psikologis anak yang nantinya akan mempengaruhi karakter seorang anak ketika dewasa. Anak akan menjadi depresi, kurangnya semangat, menyalahkan diri sendiri, dan kecenderungan menjadi pelaku.
Alangkah baiknya kebijakan ta’zir sebaiknya dilakukan sesuai dengan aturan yang telah dibuat dan hukuman dilaksanakan harus berdasarkan pertimbangan, serta hak-hak seseorang yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dan salah satu cara untuk meminimalisir pelanggaran yang terjadi, dibutuhkan kerjasama antara santri agar dapat mentaati segala peraturan yang telah di tetapkan oleh pihak pesantren.
Tim Penulis :
Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
Anis Atmiyati (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.