Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ribka Christiana

Antara Bahasa Gaul dan Bahasa Indonesia

Sastra | 2021-10-27 10:25:44
Foto: indoindians.com

Coba tanya pada anak muda, siapa ingin dianggap anak gaul dan modern? Rasanya semua kawan muda akan mengacung. Pasalnya, mereka yang dengan jiwa membara kerap berlomba-lomba untuk mendapat tempat dalam lingkungan sosial, yakni menjadi pemuda yang gaul dan ideal di kalangannya. Makna “gaul” merujuk pada mereka yang pandai beradaptasi secara sosial, terkini, tidak ketinggalan jaman, dan modern (Smith-Hefner, 2007). Kata gaul kemudian menimbulkan konformitas di kalangan muda yakni upaya yang dilakukan untuk memperoleh pengakuan di tengah-tengah lingkup sosialnya.

Selain gaya hidup yang katanya kekinian, tidak asik kalau belum memakai bahasa gaul, karna supaya bisa bergabung dengan kelompok gaul, ya harus berbicara dengan bahasa gaul. Muncul fenomena bahasa gaul atau bahasa populer Indonesia disinyalir sebagai aspek modernitas pemuda Indonesia sehingga tercipta suatu pemisah antara generasi lama dengan generasi masa kini, atau yang kerap disebut milenial. Entah mengapa baginya, berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah kaku dan kolot. Sepertinya kawan muda adalah makhluk yang tidak menyukai formalitas.

Bukan barang baru memang, bahasa gaul telah eksis sejak masa Orde Baru. Era yang penuh dengan kekangan bahkan dalam berucap sekalipun. Muda-mudi bersembunyi menciptakan bahasa prokemnya, menyerap dan mengambil kata dari bahasa asing maupun bahasa daerah. Mereka tak mungkin mempergunakan bahasa pergaulan itu di hadapan para tua-tua, itu seperti sandi bagi kalangan mereka saja.

Jelas betul bahasa Indonesia kini ditantang oleh era globalisasi yang membawa temannya bernama digitalisasi. Bahasa Indonesia dibuat susah mempertahankan eksistensinya sebagaimana yang terikrar dalam Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap 28 Oktober. Ikrar itu bilang bahwa pemuda pemudi Indonesia berbahasa yang satu, bahasa Indonesia, karena belum ada istilah bahasa gaul kala itu. Mungkin era ini jadi peubah ikrar, menempatkan bahasa gaul jadi bahasa persatuan, ya buat mereka yang gaul saja.

Anak muda beralasan bahasa gaul ini mampu membuat percakapan jauh lebih mengalir dan ekspresif, dipakailah bahasa gaul itu seperti contohnya, gaje (singakatan dari gak jelas), kuy (bahasa walikan dari kata yuk), woles (bahasa walikan dari kata asing slow), dan masih banyak lagi. Bahkan rupanya Kamus Bahasa Gaul yang pernah ditulis Debbie Sehartian tahun 1999 laku keras di kalangan anak muda, sebagai kiat menjadi anak gaul.

Slogan Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar.

Setiap bulan Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Nasional. Segala anjuran untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar terus dibombardir. Tapi segala anjuran itu hanya bersifat sloganistis tanpa adanya tindakan nyata dari penuturnya (Sawali Tuhusetya, 2007). Karena muda-mudinya saja hanya mau dianggap gaul dan keren di lingkup sosialnya daripada menghargai hadirnya bahasa Indonesia.

Karena kita orang Indonesia, kita yang lahir di Indonesia, dan berasal dari ayah dan ibu yang berwarganegara Indonesia perlu disadari kalau bahasa kita ya, bahasa Indonesia. Meski anak muda memang kerap kali tak sejalan dengan para tua-tua, ya pokoknya tetap Indonesia. Ini penghayatan atas Sumpah Pemuda kala itu. Apakah aneh bila bergaul dengan bahasa Indonesia?

Urusan percakapan yang mengalir sepertinya bergantung pada cara penyampaian informasi yang baik, yang membangun suasana jauh lebih cair. Hadirnya bahasa gaul itu lebih kepada pemisah dan penentu mana yang disebut gaul dan mana yang dianggap kurang gaul atau kampungan. Bahasa gaul menimbulkan kelompok-kelompok baru, mendiskriminasi mereka yang dianggap nggak gaul. Ini terbalik dari ikrar Sumpah Pemuda yang berusaha mempersatukan anak bangsa dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Anak Muda Wajah Bangsa

Bayangkan bila anak muda Indonesia tidak lagi mengindahkann bahasa Indonesia. Padahal populasi negara Indonesia didominasi oleh anak muda sebagai generasi penerus termasuk pelestari bahasa Indonesia. Telah semestinya menjadi tugas besar bagi anak muda, untuk setidaknya memberikan kontribusi bagi bangsa dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik.

Wajah bangsa Indonesia ditentukan oleh anak muda itu, tidak termasuk mereka yang hanya mau dicap anak gaul. Iming-iming pengakuan di kelas sosial membuat pemuda Indonesia abai pada penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Padahal 12 tahun mengemban pendidikan dasar dan mendapat pelajaran Bahasa Indonesia, rupanya masih belum cukup untuk belajar berbahasa yang baik.

Aneh bila anak muda justru lebih memilih memakai bahasa gaul ketimbang bahasa Indonesia. Bukankah menggunakan bahasa Indonesia menyiratkan intelektualitas kita yang telah berhasil menempuh pendidikan dasar selama 12 tahun? Bukankah berbahasa Indonesia yang baik dan benar malah manandakan anak muda Indonesia mencintai bangsanya sendiri? Atau anak muda memang senang membedakan diri agar dianggap paling kekinian? Pemimpin bangsa dahulu kala bahkan orator ulung saja wajib berbahasa yang baik di hadapan petinggi-petinggi dunia, bukan bahasa gaul. Parah sekali kalau anak muda malah gagal paham akan fungsi bahasa. Selain sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahasa juga erat dengan nilai budaya bangsa.

Media Turut Andil

Sebagai sarana yang tak luput dari peradaban bangsa, media punya peranan yang lekat dengan kaum muda Indonesia. Maka, media cukup efektif untuk menyuarakan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan malah mengkuti selera yang mengganggu kelestarian bahasa Indonesia. Terkadang media hanya mengikuti apa yang disukai kalangan muda sebagai target pasar mereka bahkan tanpa mempertimbangkan unsur edukasi pentingnya berbahasa.

Tak jarang kita melihat beberapa media menyediakan program acara yang didalamnya tak segan berisi sumpah serapah, bahasa yang digunaka juga bukanlah yang baik dan benar, tak sama sekali mengedukasi anak bangsa untuk berucap bahasa yang benar. Ini agaknya menambah dukungan kepada rasa abai terhadap kaidah bahasa Indonesia.

Perlu berterus terang, Bulan Bahasa dan Sastra Nasional seringnya hanya berisi harapan agar bangsa kita kian menyadari akan makna bahasa persatuan dan menghayati ikrar Sumpah Pemuda yang selalu digaungkan itu. Soal tindak nyatanya tak dianggap urgensi yang perlu didahulukan. Kaum cendekiawan yang terpelajar semestinya bisa jadi pemangku kewajiban dalam melestarikan bahasa Indonesia. Pun juga para pengajar perlu memusatkan perhatian pada permasalahan bahasa kita yang dijajah oleh bahasa gaul yang kian menjamur di kalangan pelajar. Kiranya, bahasa Indonesia berubah posisi menjadi bahasa yang luhur dan digunakan dengan baik demi bersatunya bangsa dan kecintaan pada tanah air kita Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image