Nostalgia Peristiwa Pengadilan Puisi 1974
Sastra | 2022-06-22 17:20:08Untuk apa pengadilan puisi? Apakah puisi merasa tak diberi keadilan? Mari kita kembali membahas peristiwa Pengadilan Puisi tahun 1974.
Pengadilan puisi merupakan peristiwa dalam dunia sastra Indonesia yang melibatkan kritikus dan sastrawan. Pengadilan puisi tersebut dilaksanakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung pada tanggal 8 September 1974. Pengadilan ini bertujuan untuk mengadili puisi Indonesia mutakhir. Seluk beluk acara pengadilan puisi ini bermula dari pernyataan Darmanto Jatman pada tahun 1972 dalam Karangannya yang berjudul "Tentang Pengadilan Puisi". Terdapat pernyataan akan ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia saat itu. Ketidakpuasan tersebut berkaitan dengan (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia modern, (2) kritikus sastra Indonesia, (3) media yang memuat sastra Indonesia, serta (4) penyair mapan dan epigon.
Darmanto pula menyatakan ada tiga hal yang mengharuskan kita melakukan pengadilan puisi, yakni.
Pengadilan itu harus mengesahkan hak hidup puisi Indonesia. Dengan disahkannya hak hidup puisi Indonesia itu para penyair sudah tidak lagi di kejar-kejar pernyataan tuntutan: relevankah kehadiran puisi tersebut di Indonesia?
Pengadilan puisi dapat menentukan mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak boleh dipuisikan. Hal itu bermanfaat untuk mencegah terjadinya kerusuhan-kerusuhan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh adanya hal-hal yang tidak perlu dipuisikan. Jika terjadi penulisan puisi yang tidak perlu dipuisikan itu, tentu saja akan terjadi efek yang negatif terhadap masyarakat.
Pengadilan puisi ini berhak menjatuhkan hukuman kepada penyair-penyair yang suka mengacau; hukuman yang diberikan adalah hukuman mental.
Pernyataan tersebut melatarbelakangi kecemasan terhadap sajak-saja anti kemapanan yang bermunculan saat itu.
Pernyataan Darmanto itu tidak sia-sia. Dilaksanakanlah pengadilan puisi. Dalam pengadilan tersebut yang bertindak sebagai Hakim Ketua adalah Sanento Yuliman; Hakim Anggota adalah Darmanto Jatman.; Jaksa Penuntut Umum adalah Slamet Sukimanto; Pembela adalah Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono (absen), dan Hendrawan Nadesul (absen): Saksi yang meringankan adalah Saini K. M. (Bandung), Andri Darmadji (Jakarta), Wing Kardjo (Bandung), Abdul Hadi W. M. (Bandung), Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen), dan Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta); Saksi yang memberatkan adalah Sutardji Calzoum Bachri (Bandung) dan Sides Sudyanto D. S. (Jakarta).
Pengadilan puisi ini juga merupakan pemberontakan terhadap perpuisian di Indonesia. Pemberontakan ini ditujukan untuk kritikus sastra Indonesia, Penyair mapan Indonesia, dan majalah sastra di Indonesia. Kritikus sastra yang dimaksud ialah H. B. Jassin dan M. S. Hutagalung. Mereka berdua dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan puisi Indonesia mutakhir. Kemudian penyair mapan yang dimaksudkan ialah Subagio Sastrowardoyo, Rendra, dan Goenawan Moehammad. Mereka bertiga dianggap menghambat perkembangan puisi Indonesia yang wajar. Majalah sastra yang didakwa dalam pengadilan itu adalah majalah Horison. Majalah itu dianggap tidak lagi menampung aspirasi orang banyak dan telah berubah menjadi majalah keluarga atau majalah klik. Tuntutan jaksa (Slamet Sukirnanto) terhadap ketiga kelemahan kehadiran puisi tersebut adalah sebagai berikut.
Para kritikus sastra yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir Indonesia, khususnya H. B. Jassin dan M. S. Hutagalung, harus "dipensiunkan" dari peranannya sebagai kritikus.
Para editor majalah sastra, khususnya Sapardi Djoko Damono, sebagai editor majalah Horison, "dicutibesarkan".
Para penyair mapan: Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Moehammad, Sapardi Djoko Damono, W. S. Rendra, dan epigon-epigonnya harus dikena kan hukuman pembuangan. Para inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
Majalah Horison dan majalah Budaya Jaya harus dicabut surat izin terbitnya (SIT) dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Kedua. majalah itu dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum karena akan mengacaukan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
Majelis hakim dalam sidang pengadilan itu menolak tuntutan jaksa penuntut Majelis hakim yang diketuai oleh Sanento Yuliman mengambil keputusan sebagai berikut.
Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu: dalam sekolah kritikus sastra, yang akan segera didirikan.
Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Jika dikehendaki sendiri, mereka boleh. mengundurkan diri.
Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam panti asuhan atau rumah perawatan epigon.
Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut surat izin cetak dan surat izin terbitnya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata "Baru" sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin untuk membaca sastra dan membaca puisi.
Pada tanggal 21 September 1974 diselenggarakan acara "Jawaban atas Pengadilan Puisi" di Jakarta. Beberapa sastrawan ikut terlibat datang saat itu. Para sastrawan tersebut yaitu H. B. Jassin, M. S. Hutagalung, Goenawan Mohammad, dan Sapardi Djoko Damono. kedatangan mereka untuk mengemukakan pendapat mereka masing-masing terhadap acara pengadilan puisi yang dilaksanakan di Bandung.
H. B. Jassin dengan makalah yang berjudul "Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Modern" mengemukakan pendiriannya sebagai berikut.
Seorang kritikus tidaklah diangkat untuk bertugas sebagai kritikus dan tidak pula ada yang karena usianya yang sudah lanjut diberhentikan dari pekerjaannya sebagai kritikus. Apabila seorang kritikus dianggap tidak becus, lebih simpatiklah rasanya bila tampil kritikus lain untuk memperlihatkan kelihaiannya sehingga dengan sendirinya kritikus yang tidak becus itu tergeser kedudukannya. Tapi tidak sedetik pun saya terpikir akan berhenti sebagai karyawan di lapangan kesusastraan sekalipun nanti sudah berhenti sebagai pegawai.
Hampir sama dengan pendirian H. B. Jassin, M. S. Hutagalung dalam makalahnya yang berjudul "Puisi Kita Dewasa Ini: Jawaban Saya terhadap Slamet Sukimanto" menyatakan bahwa dengan pandangan Sukirnanto dalam pengadilan puisi itu M. S. Hutagalung merasa tidak perlu mengubah prinsip-prinsip yang diyakininya selama ini. Pendiriannya itu disertai pula dengan sikapnya terhadap pengadilan puisi itu. Tuduhan tentang kesalahan kritikus dalam melihat perkembangan sastra adalah tidak beralasan dan tidak benar. Sudut pandang Sukirnanto lah yang brengsek. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan Sukirnanto adalah pandangan yang tidak sehat.
Sapardi Djoko Damono mengemukakan pendiriannya dalam makalahnya yang berjudul "Catatan atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Kirmanto" yakni. Pencacimakian terhadap majalah Horison merupakan tindakan yang aneh karena majalah itu merupakan sumber terpenting bagi puji- pujiannya. Sapardi menganggap bahwa Slamet Sukirnanto merupakan korban kekocakan Darmanto Jatman. Sikap Sapardi itu terlihat juga dalam makalahnya. Sapardi menganggap bahwa keputusan pengadilan puisi tidak dapat diterima karena kerendahan mutu majalah Horison tidak ditentukan dan dituntut oleh Slamet Sukimanto.
REFERENSI
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa. 2003
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.