Manusia dan Cermin Tuhan
Gaya Hidup | 2021-10-25 12:45:43"Sesungguhnya manusia kufur kepada Tuhannya karena terhijab oleh berbagi nikmat, karena terhanyut dalam gelimang nikmat itu dan tak pernah memakainya untuk keperluan mencapai-Nya." â (Tafsir Ibnu Arabi)
Syahdan, ada sebuah kisah tentang seorang raja yang kehidupannya bergelimpangan kenikmatan dunia. Ketika suatu saat ia tengah menonton para penari pribadinya meliuk-liukkan badan, tiba-tiba saja matanya tertarik melihat seekor unta yang lepas di luar tenda istirahatnya. Ia izin keluar untuk melihat, dan berakhir mengejar unta lepas tersebut. Akhirnya si raja tak pernah kembali dan ia hilang berhari-hari. Ketika akhirnya ditemukan ia dalam keadaan lusuh dan hampir gila. Ia sibuk memandangi refleksi dirinya dalam permukaan sebuah mata air. Ia termangu lama tak bergerak, tak tidur, bahkan tak makan dan terus memperhatikan bayangan dirinya di permukaan air tersebut. Hingga akhir cerita, bayangannya sirna dari pandangan di permukaan air tersebut. Baru ia tersadar lantas tersenyum, pergi dan menjadi manusia baru.
Cerita di atas sebetulnya adalah ringkasan adegan sebuah film bertema sufistik dari Tunisia yang berjudul Bab'Aziz. Kita bisa melihat metafora sang raja yang cinta dunia berubah menjadi manusia baru yang sederhana setelah memandang lama refleksi dirinya. Cerminan kedalaman jiwanya. Seorang ulama bernama Ibnu Arabi terlahir di Mursia, Andalusia pada 28 Juli 1165. Beliau dikenal sebagai seorang guru besar dalam bidang Tasawuf yang memiliki gelar ternama "Syaikhul Akbar". Salah satu konsep menarik yang beliau kemukakan adalah sebuah konsep tentang manusia paripurna, Insan Kamil.â
Manusia dan Tuhan menurut Ibnu Arabi dapat dijelaskan hubungannya menggunakan metafora cermin. Manusia sebagai pantulan wujud kesempurnaan "sifat" dan "asma" Tuhan. Maka secara ringkas manusia yang sempurna adalah yang mampu memantulkan perwujudan terbaik dari Sang Ilahi. Bukan menyerupai namun memanifestasikan keindahan-Nya.â
Kita tak akan bisa menyerupai-Nya. Kita hanya menjadi penampakan dari Dia namun bukan Dia, dari wujud namun bukan wujud-Nya. Berada di tengah, yang menurut Ibnu Arabi di tahap yang tak bertahap. Wujud manusia sendiri berbeda dengab Wujud ilahi. Ibnu Arabi berpendapat wujud tidak hanya berarti âmenjelmaâ atau âmengadaâ, melainkan juga berarti âmenemukanâ dan âditemukanâ.â Maka hidup adalah perihal "menemukan" dan "ditemukan", Tuhan akan selalu ada dalam keduanya. Maka diciptakan semesta ini semata-mata adalah perwujudan kemutlakan pancaran-Nya. Begitupun manusia yang menjadi cermin pula bagi citra ilahi.
â â Kita memiliki potensi, inilah yang disebut Manusia Sempurna yang oleh Ibnu Arabi "Insan Kamil". Manusia yang menyadari hakikat dirinya dan mengenal dirinya untuk mengenal Tuhan. Maka siapapun yang lalai, Ibnu Arabi menyebutnya sebagai "manusia hewan". Sebab buta dan tuli terhadap tanda-tanda. Seorang ulama lain berasal dari Turki bernama Said Nursi dalam kitabnya "Mi'raj", berpendapat bahwa cerminan terbaik Tuhan tak lain dan tak bukan adalah Sang Baginda Rasul Muhammad SAW. Menurut Nursi beliaulah sang cermin sempurna yang mencintai sekaligus dicinta oleh-Nya. Beliau adalah cermin paling bening yang memantulkan keindahan dan rahasia Sang Ilahi.â â
Maka, mungkin kita memang bukan seorang ulama apalagi Nabi atau orang suci. Namun kita manusia, memilik potensi rahasia dan terpendam di dalamnya. Memiliki kedalaman jiwa yang mendapat nafas Ilahi. Kita perlu seperti kisah sang raja di awal, "melihat dan memperhatikan bayangan jiwa kita". Hingga akhirnya tergeruslah segala ego, amarah, dengki, dan segala keinginan yang cenderung selalu duniawi. Kita memang bukan seorang ulama apalagi Nabi atau orang suci. Namun kita manusia, memilik potensi rahasia dan terpendam di dalamnya. Memiliki kedalaman jiwa yang mendapat nafas Ilahi. Kita perlu seperti kisah sang raja di awal, "melihat dan memperhatikan bayangan jiwa kita". Hingga akhirnya tergeruslah segala ego, amarah, dengki, dan segala keinginan yang cenderung selalu duniawi.â
Kita memang bukan resi atau petapa, namun jalan sunyi itu mampu kita temukan dan layak kita lalui. Hanya butuh usaha untuk terus menerus sampai di jalan tersebut. Dimulai dengan usaha memancarkan citra keindahan dan kasih sayang Tuhan bagi sesama mahluk. Bagi manusia yang lain, yang merekapun sama seperti kita. Siapapun itu. Cinta tanpa syarat. Fariduddin Attar dalam kitabnya "Mantiq At-thayr" menyuruh kita untuk bercermin, yang dimaksudnya adalah: "Selama kau tak paham akan ketiadaanmu, dan selama kau tak menyadari kebanggaan semu, kesombongan dan cintamu yang berlebih-lebihan pada dirimu sendiri, selama itu pula kau takkan mencapai puncak ke-baqa-an."â â
Kita anak Adam, tanah yang menampung curahan air ilahi dan rela ditanam agar kehidupan tumbuh. Tanah yang menjadi simbol pertemuan dan persatuan. Kita bukan api yang memisahkan dan menghancurkan. Kita bukan api yang menyerang dan menghanguskan. Kita tanah yang bisa dibentuk dan bisa diubah. Maukah kita dibentuk dan berubah?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.