Menulis dan Komunikasi dengan Diri
Sastra | 2021-10-25 11:47:57âTernyata begitu banyak sudut yang bisa muncul kembali dalam kata. Ternyata sangat mengasyikkan menyusun dunia kata sedemikian rupa, hanya agar segi-segi yang âtak masuk akalâ bisa terbaca lagi.â â Sapardi Djoko Damono
Apa yang âtak masuk akalâ bagi Sapardi adalah pengalaman masa kecilnya, atau seperti itulah bayangannya tentang masa kanak-kanak itu. Ini bermula ketika ia mengirimkan sebuah karangan cerita yang terinspirasi dari kisah masa kecilnya untuk sebuah media, namun tulisannya ditolak dan dikembalikan, dengan alasan bahwa ceritanya âtak masuk akalâ.
Hal ini tertuang dalam esainya yang berjudul âPermainan Maknaâ, Sapardi merasa pengalaman biasa saja itu ternyata sebuah âketidak masuk akalanâ bagi orang lain, dan ia sadar betapa sulitnya mengemukakan pengalaman tersebut dengan baik lewat media cerita pendek, sampai akhirnya ia mengenal sajak dan puisi. Melalui sajak dan puisi akhirnya ia bisa mengemukakan apa yang âtak masuk akalâ tersebut dengan bebas. Dan ia merasa berbahagia karena menulis puisi.
Lain Sapardi, lain pula kisah seorang Oscar Wilde. Penulis novel terkenal âThe Picture of Dorian Greyâ tersebut justru menemukan sebuah media menulis yang sederhana dan mampu membuatnya terus mengasah kemampuannya, yakni melalui diary. Mungkin sebuah diary bagi orang sekarang nampak begitu sentimentil dan terkesan kekanak-kananak, namun nyatanya beberapa penulis besar mengasah dan memperluas kepenulisannya dengan rutin menulis diary. Oscar Wilde mengatakan dalam tulisannya âThe Importance of Being Earnestâ: "aku takkan berpergian tanpa diaryku".
Hal sederhana ini tak bisa dianggap remeh dalam melatih kemampuan menulis. Bahkan seorang Virginia Woolf berpendapat bahwa diary berguna untuk âmengendurkan ligamen. Tidak peduli meleset dan tersandung.â Dalam kata lain ini bagus untuk mengeksplorasi bentuk kepenulisan kita dan keluasan cara kita menuliskan kata-kata tanpa harus takut dikekang aturan baku seperti pada kepenulisan di media masa.
Tentu saja pada akhirnya setiap orang punya banyak media menulis yang nyaman untuk dirinya masing-masing. Entah sajak, pusi, cerpen, atau bahkan haiku, kita semua akan selalu bergulat dengan diri sendiri untuk menemukan apa sebetulnya yang kita cari lewat menulis. Seperti Sapardi, kita mencari kebahagiaan dalam menulis.
Bagi saya menulis adalah sebuah media untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Menulis adalah sebuah pertemuan, antara diri kita yang sedang menulis dengan diri kita âyang lainâ yang telah banyak menerima sumber kehidupan. Menulis menciptakan sebuah ruang kosong yang dijadikan jembatan komunikasi untuk menggali diri dan pemikiran. Di sinilah pertemuan yang saya sebutkan terjadi, ada sebuah proses pencarian data dan juga makna dari hal-hal yang terlewat, sedang terjadi, dan mungkin akan terjadi. Ada komunikasi yang saling berjumpa dan menemukan.
Tentu saja hal ini ada kalanya mudah, tan tak jarang menimbulkan kesulitan. Menulis menuntut kita untuk menyelam dalam ke dalam âtempat kata-kata yang tak terkataâ (abode of unspoken words) istilah yang saya buat, ini adalah tempat dimana pada kehidupan banyak kata-kata dan pemikiran kita yang sulit dikemukakan atau dilontarkan untuk disimak. Maka mereka harus terkubur dalam kuburan kata-kata, dan menulis adalah media untuk mengoreknya keluar dan menjadikannya bentuk baru yang âhidupâ, yang siap disampaikan.
Sebagaimana seorang Bertrand Russel dalam tulisannya âBagaimana saya menulis?â, mengatakan bahwa dalam proses menulisnya ia membutuhkan âsuatu periode inkubasi sub-kesadaran yang tidak diburu-buru dan tidak diganggu oleh pikiran apapunâ. Mungkin inilah proses penggalian kata-kata dalam versi beliau, dan tentu setiap penulis punya versinya masing-masing dalam setiap proses kreatifnya.
Pada akhirnya menulis membantu kita dan orang lain untuk menemuka siapa sejatinya diri ini. Sebagaimana James Baldwin pernah mengatakan bahwa sebuah tulisan seorang penulis novel mampu âto make you realize the doom and glory of knowing who you are and what you areâ. Mungkin inilah kenapa hingga hari ini seorang penulis baru selalu lahir, dan tulisan terus ada. Sebab ia berbicara tentang diri kita sendiri, ia berbicara tentang manusia.
Pada akhirnya setiap proses menulis akan membawa kita pada sebuah pilihan untuk menjadi penulis yang asal menulis atau menjadi âbetul-betul penulisâ, istilahnya Pak Budi Darma. Dan tentu saja proses menjadi penulis sungguhan itu panjang dan tak mudah sebagaimana beliau mengungkapkan âtidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa. Mereka kaya pengalaman batin, kepekaan, imajinasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bercerita, dan lain-lain kemampuan.â
Namun tak perlu merasa jauh dan khawatir dalam memulainya. Seperti yang saya katakan bahwa menulis adalah proses komunikasi, dan semua dari kita perlu berkomunikasi. Menulis bisa dimulai dengan yang sederhana, seperti diary hingga tulisan-tulisan tentang perasaan sehari-hari, bisa dalam bentuk sajak maupun puisi. Hanya perlu ruang untuk proses komunikasi tersebut, bisa jadi menulis pada akhirnya adalah bentuk lain dari meditasi. Tentu saja kita ingin bahagia dalam menulis seperti Pak Sapardi. Dan seperti yang beliau katakan juga dalam sajaknya, mungkin bisa kita mulai âdengan sederhanaâ. Maka, mulailah menulis.
Maukah kita memulai kesederhanaan membangun komunikasi tersebut?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.