Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mochammad Fajar Nur

Menulis dan Komunikasi dengan Diri

Sastra | Monday, 25 Oct 2021, 11:47 WIB
Mountain Laurel Recovery Center

“Ternyata begitu banyak sudut yang bisa muncul kembali dalam kata. Ternyata sangat mengasyikkan menyusun dunia kata sedemikian rupa, hanya agar segi-segi yang ‘tak masuk akal’ bisa terbaca lagi.” – Sapardi Djoko Damono

Apa yang ‘tak masuk akal’ bagi Sapardi adalah pengalaman masa kecilnya, atau seperti itulah bayangannya tentang masa kanak-kanak itu. Ini bermula ketika ia mengirimkan sebuah karangan cerita yang terinspirasi dari kisah masa kecilnya untuk sebuah media, namun tulisannya ditolak dan dikembalikan, dengan alasan bahwa ceritanya ‘tak masuk akal’.

Hal ini tertuang dalam esainya yang berjudul “Permainan Makna”, Sapardi merasa pengalaman biasa saja itu ternyata sebuah ‘ketidak masuk akalan’ bagi orang lain, dan ia sadar betapa sulitnya mengemukakan pengalaman tersebut dengan baik lewat media cerita pendek, sampai akhirnya ia mengenal sajak dan puisi. Melalui sajak dan puisi akhirnya ia bisa mengemukakan apa yang ‘tak masuk akal’ tersebut dengan bebas. Dan ia merasa berbahagia karena menulis puisi.

Lain Sapardi, lain pula kisah seorang Oscar Wilde. Penulis novel terkenal “The Picture of Dorian Grey” tersebut justru menemukan sebuah media menulis yang sederhana dan mampu membuatnya terus mengasah kemampuannya, yakni melalui diary. Mungkin sebuah diary bagi orang sekarang nampak begitu sentimentil dan terkesan kekanak-kananak, namun nyatanya beberapa penulis besar mengasah dan memperluas kepenulisannya dengan rutin menulis diary. Oscar Wilde mengatakan dalam tulisannya “The Importance of Being Earnest”: "aku takkan berpergian tanpa diaryku".

Hal sederhana ini tak bisa dianggap remeh dalam melatih kemampuan menulis. Bahkan seorang Virginia Woolf berpendapat bahwa diary berguna untuk “mengendurkan ligamen. Tidak peduli meleset dan tersandung.” Dalam kata lain ini bagus untuk mengeksplorasi bentuk kepenulisan kita dan keluasan cara kita menuliskan kata-kata tanpa harus takut dikekang aturan baku seperti pada kepenulisan di media masa.

Tentu saja pada akhirnya setiap orang punya banyak media menulis yang nyaman untuk dirinya masing-masing. Entah sajak, pusi, cerpen, atau bahkan haiku, kita semua akan selalu bergulat dengan diri sendiri untuk menemukan apa sebetulnya yang kita cari lewat menulis. Seperti Sapardi, kita mencari kebahagiaan dalam menulis.

Bagi saya menulis adalah sebuah media untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Menulis adalah sebuah pertemuan, antara diri kita yang sedang menulis dengan diri kita “yang lain” yang telah banyak menerima sumber kehidupan. Menulis menciptakan sebuah ruang kosong yang dijadikan jembatan komunikasi untuk menggali diri dan pemikiran. Di sinilah pertemuan yang saya sebutkan terjadi, ada sebuah proses pencarian data dan juga makna dari hal-hal yang terlewat, sedang terjadi, dan mungkin akan terjadi. Ada komunikasi yang saling berjumpa dan menemukan.

Tentu saja hal ini ada kalanya mudah, tan tak jarang menimbulkan kesulitan. Menulis menuntut kita untuk menyelam dalam ke dalam ‘tempat kata-kata yang tak terkata’ (abode of unspoken words) istilah yang saya buat, ini adalah tempat dimana pada kehidupan banyak kata-kata dan pemikiran kita yang sulit dikemukakan atau dilontarkan untuk disimak. Maka mereka harus terkubur dalam kuburan kata-kata, dan menulis adalah media untuk mengoreknya keluar dan menjadikannya bentuk baru yang ‘hidup’, yang siap disampaikan.

Sebagaimana seorang Bertrand Russel dalam tulisannya “Bagaimana saya menulis?”, mengatakan bahwa dalam proses menulisnya ia membutuhkan “suatu periode inkubasi sub-kesadaran yang tidak diburu-buru dan tidak diganggu oleh pikiran apapun”. Mungkin inilah proses penggalian kata-kata dalam versi beliau, dan tentu setiap penulis punya versinya masing-masing dalam setiap proses kreatifnya.

Pada akhirnya menulis membantu kita dan orang lain untuk menemuka siapa sejatinya diri ini. Sebagaimana James Baldwin pernah mengatakan bahwa sebuah tulisan seorang penulis novel mampu “to make you realize the doom and glory of knowing who you are and what you are”. Mungkin inilah kenapa hingga hari ini seorang penulis baru selalu lahir, dan tulisan terus ada. Sebab ia berbicara tentang diri kita sendiri, ia berbicara tentang manusia.

Pada akhirnya setiap proses menulis akan membawa kita pada sebuah pilihan untuk menjadi penulis yang asal menulis atau menjadi ‘betul-betul penulis’, istilahnya Pak Budi Darma. Dan tentu saja proses menjadi penulis sungguhan itu panjang dan tak mudah sebagaimana beliau mengungkapkan “tidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa. Mereka kaya pengalaman batin, kepekaan, imajinasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bercerita, dan lain-lain kemampuan.”

Namun tak perlu merasa jauh dan khawatir dalam memulainya. Seperti yang saya katakan bahwa menulis adalah proses komunikasi, dan semua dari kita perlu berkomunikasi. Menulis bisa dimulai dengan yang sederhana, seperti diary hingga tulisan-tulisan tentang perasaan sehari-hari, bisa dalam bentuk sajak maupun puisi. Hanya perlu ruang untuk proses komunikasi tersebut, bisa jadi menulis pada akhirnya adalah bentuk lain dari meditasi. Tentu saja kita ingin bahagia dalam menulis seperti Pak Sapardi. Dan seperti yang beliau katakan juga dalam sajaknya, mungkin bisa kita mulai “dengan sederhana”. Maka, mulailah menulis.

Maukah kita memulai kesederhanaan membangun komunikasi tersebut?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image