Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Negara Mayoritas Muslim, Nikah Beda Agama Boleh?

Gaya Hidup | Tuesday, 21 Jun 2022, 16:12 WIB

Baru-baru ini, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama yang diajukan pasangan Islam dan Kristen.

Sebelumnya kedua pasangan beda agama tersebut sudah mengajukan permohonan pernikahan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat, namun ditolak.

Humas PN Surabaya Suparno menyatakan bahwa pertimbangan hakim mengabulkan permohonan pernikahan beda agama tersebut adalah demi menghindari praktik kumpul kebo. Permohonan mereka dikabulkan pada 26 April 2022 dan tercantum pada penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Surabaya.

Pertimbangan hakim terkait dikabulkannya permohonan pasangan beda agama tersebut selain yang sudah disebutkan di atas adalah bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya.

Kemudian menimbang, bahwa dari fakta yuridis tersebut di atas bahwa Pemohon I memeluk agama Islam, sedangkan Pemohon II memeluk agama Kristen adalah mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinannya untuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Tidak diatur Bukan Berarti Boleh

Sungguh ironi, di negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, namun hukum pernikahan saja bisa rancu. Terlebih jika melihat salah satu alasannya supaya tidak terjadi praktik kumpul kebo. Lantas begitu saja dibolehkan. Tidak diatur atau tidak dilarang bukan berarti boleh. Terlebih hukum kita bukan murni hukum Islam melainkan bercampur dengan hukum umum atau Belanda.

Tentang hukum menikah beda agama dalam Islam, kita bisa membagi dalam dua pembahasan, yaitu pernikahan Muslim dengan ahli kitab, dan muslim dengan pemeluk agama lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah :221 yang artinya," Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman".

Dari ayat di atas dikecualikan perempuan-perempuan ahli kitab. Islam membolehkan seorang Muslim menikah dengan ahli kitab, namun melarang perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki ahli kitab. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam Quran surat Al Maidah:5 yang artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi".

Menikah adalah Ibadah, Islamlah Sistem Suport Terbaik

Sebuah pernikahan adalah ibadah sepanjang hayat bagi kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Keduanya pun mengemban misi mulia, selain melestarikan jenis manusia juga menebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Memang tidak benar jika dikatakan ahli kitab sudah tidak ada seiring dengan Isa Al Masih yang diangkat ke langit, sehingga hukum atas mereka bisa dihapus. Sebab, kerusakan tauhid mereka sudah ada jauh sebelum Rasulullah diutus menjadi Rasul dan nabi. Dengan mengatakan trinitas di atas Allah yang satu. Alquran di banyak surat dan ayat, telah menjelaskan kerusakan itu salah satunya, “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu kafir kepada ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” QS Al Imran: 70.

Maka, jikapun pria Muslim menikah dengan wanita ahli kitab, tidak serta Merta dibolehkan, sebab ini menyangkut pengasuhan anak kelak, dimana syariat mewajibkannya kepada ibu. Terlebih juga hari ini marak cara-cara pemurtadan kaum Muslim dengan cara menikahkan dengan anak gadis pemuka agama Nasrani. Terlebih karena pernikahan beda agama ini lebih banyak membawa mafsadat. Itulah mengapa MUI mengharamkannya.

Seorang pria Muslim harus benar-benar berkeyakinan kuat tidak akan terbawa kepada pemurtadan. Sebagai pemimpin dalam rumah tangganya Ia juga wajib membimbing istrinya (tanpa memaksa) untuk bisa masuk kepada Islam dan wajib menjamin anak-anaknya tetap muslim dan mendapatkan pendidikan agama Islam sebagaimana seharusnya. Bukan persoalan yang mudah, terlebih tidak ada support dari negara.

Sedangkan larangan mutlak menikah beda agama jatuh kepada Muslim atau Muslimah yang menikahi kaum Budha, Hindu dan lainnya sebab mereka tidak memiliki kitab samawi (turun dari langit) sebagaimana Yahudi dan Nasrani, kitab mereka ditulis oleh para pendirinya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran surat Al-Mumtahanah:10 yang artinya,"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana".

Butuh Peran Negara Agar Pernikahan Selamat

Pernikahan beda agama, entah itu disertai perpindahan agama dari salah satu pasangan kini semakin marak. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya negara menjaga akidah kaum Muslim. Apa yang seharusnya menjadi dasar dalam sebuah pernikahan, yaitu kesamaan akidah, tak bisa diwujudkan hanya karena hal itu dianggap Hak Asasi Manusia.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Humas PN Surabaya Suparno, bahwa terlihat kedua mempelai sama-sama meyakini agama yang dipeluk sudah sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa diartikan sesederhana itu.

Pernikahan kelak akan tumbuh darinya keluarga. Mana mungkin, akan tumbuh keluarga yang kuat dan mampu mendukung peradaban mulia sebuah bangsa ketika akidah mereka berbeda. Bukankah justru sejak awal mereka sudah berzina jika salah satunya belum mualaf? Apa bedanya dengan kekhawatiran terjadi praktik kumpul kebo, bedanya hanya dipelegalan negara saja bukan?

Yang terjadi kelak bukan saja rusaknya institusi keluarga, namun juga nasab, pewarisan dan perwalian. Sebab, anak yang dilahirkan berstatus bukan anak ayahnya meski secara biologis dapat dibuktikan benar anak kandungnya. Sistem hari ini, jelas berbasis sekuler, hanya memfokuskan pada manfaat semata, sementara halal haramnya tidak diperhatikan.

Kerancuan ini hanya bisa tuntas ketika syariat Islam benar-benar diterapkan. Tidak hanya dalam hukum pernikahannya namun juga hukum interaksi sosialnya. Sebab dengan asas manfaat yang tidak mengindahkan halal haram, semakin terlihat bahwa zina atau pacaran dan pernikahan beda agama bukan persoalan besar. Hanya sekadar keinginan membangun rumah tangga. Dilegalkan dengan undang-undang maka makin dekatlah peradaban rusak ini menuju kehancuran. Wallahu a'lam bish showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image