Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Saat Pembagian Rapor, Ranking Masih Menjadi Momok?

Eduaksi | Sunday, 19 Jun 2022, 18:00 WIB
Suasana belajar siswa di kelas. (Dokumentasi Pribadi)

Mengapa ranking menjadi momok? Benarkah sistem di Indonesia saat ini tidak ada lagi perankingan nilai siswa di sekolah?

Seusai pembagian raport akhir semester (Sabtu,18/06/2022). Tiba-tiba seorang wali murid dari salah satu siswa menelpon istri saya. Kebetulan istri adalah seorang guru yang dipercayakan sebagai wali kelas di sebuah sekolah tempat ia mengabdi sehari-hari.

Dari ujung telepon di seberang sana terdengar suara seorang laki-laki yang mengaku sebagai wali siswa yang kebetulan anaknya duduk di kelas istri saya dimana ia sebagai wali kelas.

Sebut saja bapak yang menelpon tersebut berinisial TL. Tanpa banyak basa basi, TL langsung mempersoalkan posisi ranking anaknya yang kebetulan urutan paling bontot dari total siswa 32 orang di kelas VII.

Lebih tepatnya TL mempertanyakan mengapa ranking anaknya pada nomor paling ujung. Padahal menurut TL anaknya itu termasuk memiliki kemampuan memadai dalam menguasai pelajaran sekolah atau kategori tidak bodoh-bodoh amat.

Oleh istri saya kemudian menjawab, dan memberikan informasi secukupnya untuk TL agar dirinya memahami duduk perkara yang sebenarnya terlebih dahulu serta menghindari perdebatan.

Singkat kata, menurut istri saya saat ini tidak ada lagi sistem ranking kelas. Katanya lagi, sejak penerapan kurikulum 13 (K13) sistem penentuan prestasi akademik siswa melalui ranking sudah dihapuskan. Begitu ia sampaikan kepada TL.

Konon, pada kurikulum baru yang diberlakukan sekarang ini pun yaitu kurikulum merdeka belajar, sistem perankingan juga tidak ada alias dihilangkan. Kendati demikian masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya.

Maka tak heran jika saat ini sistem ranking di sekolah masih menjadi polemik yang dihadapi oleh warga sekolah dan wali siswa.

Sistem perankingan biasanya diberikan pada saat penerimaan rapor di akhir semester. Perankingan ini umumnya diberikan guru untuk mengetahui tingkat kepintaran siswa-siswanya.

Tak diketahui secara pasti kapan awal mula muncul sistem ranking dan siapa yang menciptakannya. Namun sistem ini telah ada sejak puluhan tahun yang lalu dan telah banyak digunakan oleh berbagai macam institusi termasuk pendidikan.

Menurut Toinatul Husna (2021) sistem ranking ini tak hanya di terapkan di Indonesia, banyak negara di dunia yang pernah menggunakan sistem ini.

Singapura juga pernah menerapkan sistem ranking di sekolah meski pada tahun 2018 kemarin terdapat kabar beredar bahwa Singapura telah secara resmi menghapus sistem ranking di negaranya.

Kementrian Pendidikan Singapura secara mengejutkan menghapuskan sistem pemeringkatan bagi murid-murid Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas (primary and secondary school).

Menurut Menteri Pendidikan Ong Ye Kung, penghapusan sistem ranking ini adalah untuk menegaskan bahwa sekolah bukan ajang kompetisi. Penghapusan ini mulai berlaku pada awal tahun 2019 terhadap 1700 sekolah di Singapura (Ayobandung.com, 2018).

Bahkan Prof Etty Indriati Ph.D pakar pendidikan Indonesia menyatakan mestinya anak-anak tidak diranking karena akan memberikan stigma dan mempengaruhi secara psikologi siswa yang mendapatkan peringkat kurang bagus.

Ada pendapat Psikolog Sartono Mukadis pernah mengatakan bahwa sistem ranking adalah bentuk pelecehan kepada kemampuan anak. Ini akan membuat keadaan menjadi tidak sehat dan terpaku pada nuansa persaingan (hipwee.com, 2018).

Berkaca dari sistem pendidikan di negara Singapura, maka tidak diharamkan pula hal yang sama dapat diterapkan atau diadopsi oleh Indonesia. Dengan tidak lagi menjadikan ranking sebagai satu-satunya indikator kemampuan siswa sebagai hasil belajar. Maka anak-anak pun tidak terbebani dengan peringkat tertentu.

Begitu pun para orang tua/wali juga harus dapat mengerti apa sebenarnya tujuan dari proses belajar yang diharapkan. Apakah sekedar ingin mendapatkan nilai (angka) tinggi bahkan juara di kelasnya ataukah hendak meraih nilai manusia yang paripurna?

Jika mengacu pada undang-undang pendidikan nasional maka tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu insan yang beriman serta bertaqwa terhadap yang kuasa yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan serta keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yg mantap serta berdikari serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan serta kebangsaan.

Kalimat "mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya" di atas merupakan kata kunci outcome pendidikan yang akan dicapai oleh sekolah atau lembaga pendidikan lainnya yang dilakoni oleh guru dan siswa. Sehingga tidak tersirat bahwa ranking paling tinggi sebagai "manusia seutuhnya".

Dengan kata lain, mereka yang memiliki pengetahuan, akhlak yang baik, dan mampu membawa diri dalam kehidupan sosial dan masyarakat, sebenarnya itulah yang dikatakan siswa yang berhasil dalam proses belajar.

Semoga catatan kecil ini kiranya dapat menjadi tambahan informasi bagi warga sekolah dan orang tua/wali agar kedepannya tidak lagi mempermasalahkan ranking ketika musim pembagian raport digelar sebagaimana yang dialami oleh istri saya kemarin. "Ranking masih menjadi momok saat orang tua menerima rapor anaknya".

Memang, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dahulu dengan mendapatkan ranking pertama, orang tua sangat bangga atas kemampuan anaknya. Namun bagaimana perasaan orang tua yang anaknya tidak masuk dalam ranking atas? Apakah itu berarti anaknya bodoh? Padahal setiap orang memiliki kecerdasan masing-masing. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image