Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syaeful Cahyadi

Ruang Rakyat di Gedung Bertingkat

Sejarah | Friday, 22 Oct 2021, 10:22 WIB
Sekaten Jogja (sumber gambar: http://mesjidgedhe.or.id/event/sekaten-kraton-ngayogyakarta-hadiningrat/)

Suatu sore belasan tahun silam, bapak saya berkisah soal pengalaman berkunjung ke Sekaten semasa beliau kecil. "Dulu kalau ke sana, pada naik sepeda onthel bareng-bareng," katanya. Dan percakapan itu diakhiri janji kami untuk datang ke Sekaten esok sore.

"Besok kita lihat tong setan, Le," tentu saja, perkataan itu saya sambut dengan riang gembira sebagaimana bocah desa pada umumnya.

Lalu, kini, setelah beranjak dewasa, di suatu sore saya melihat banyak sekali postingan media sosial tentang pemindahan Sekaten. Ruang rakyat yang telah mewarnai banyak generasi itu berpindah. Dari sebuah ruang terbuka bernama alun-alun, halaman kerajaaan, menuju pusat perbelanjaan di tengah kota dengan tajuk Sekati YK ing Mall.Dan itu semua tidak sesederhana berpindahnya tempat penyelenggaraan suatu acara, tetapi juga soal budaya yang akan bergeser. Entah itu disengaja atau tidak.Dan saya tiba-tiba merindukan berisiknya tong setan di Sekaten belasan tahun silam...

***

Dalam sistem tata letak kraton, alun-alun adalah satu bagian dari konsep catur gatra tunggal kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Konsep itu sendiri memuat kraton sebagai simbol pemerintahan, masjid agung sebagai simbol keagamaan, pasar gedhe sebagai simbol ekonomi, dan alun-alun sendiri merupakan simbol hubungan raja dengan rakyat. Ia bukan hanya simbol kosong karena berbagai peristiwa sejarah berkata memang demikian.

Di masa dahulu, ada tradisi bernama Setonan, momen ketika rakyat bisa melihat latihan berkuda para prajurit kraton. Ada pula gregeg, upacara adat di hari besar Islam, Maulud dan lebaran. Di masa Orde Lama, alun-alun Kraton Jogja juga menjadi saksi tercetusnya Trikora. Di antara semua cerita itu, ada sekaten yang diadakan untuk menyambut Maulud dengan dikeluarkannya 2 pusaka kraton dan akan ditutup dengan prosesi grebeg Maulud.

Lebih dari sekadar upacara adat, Sekaten dengan pasar malamnya telah melekat jadi satu. Tidak berlebihan rasanya menyebutnya sebagai pesta rakyatnya masyarakat Jogja. Mirip dengan PRJ bagi masyarakat Jakarta. Awul-awul, kora-kora, dan mainan perahu otok-otok mungkin beberapa hal berkesan tentang hajatan ini. Ada pula momen ketika orang tua mengajak main anaknya, atau anak-anak muda mengajak sang bribikan kencan murah meriah.

Dan itu semua, sejak ditiadakannya Sekaten dan pasar malam di alun-alun, sejak alun-alun dipagari, tidak akan pernah sama. Sama sekali tidak.

Alun-alun, mau bagaimanapun, adalah tempat penting bagi Yogyakarta sebagai kota istimewa dengan kerajaan aktif di dalamnya. Berkunjung ke sana sama halnya berkunjung ke halaman rumah raja. Saat Sekaten dan pasar malam masih ada di alun-alun, mungkin para mahasiswa perantauan akan merasakan, "Oh ini to sisi lain Jogja, di halaman keraton ada pasar malam," atau orang tua berujar ke anaknya, "Ini lho, Nok, kraton Yogyakarta..."

Lalu, apa yang diharapkan dari berpindahnya Sekaten? Dari alun-alun sebagai tempat sang raja dan rakyatnya 'bercengkerama' ke pusat perbelanjaan, pusat modal, atau jika meminjam istilah aktivis sosialis; pusat kapitalisme.

Satu hal yang layak dan harus digarisbawahi bahwa sekaten bukan hanya soal perputaran ekonomi. Ada nuansa budaya yang khas. Mulai dari budaya tingkat kerajaan nan sakral dengan dikeluarkannya Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu, pengajian, hingga budaya-budaya di kalangan rakyat kecil perkotaan. Sekaten, saat pindah ke pusat perbelanjaan, tak lebih akan menjadi sebuah acara belanja yang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Dan budaya-budaya itu akan entah kemana.

Kita mungkin akan kehilangan pemandangan tawar menawar antar pembeli-pedagang, rakyat kecil berkantong cepak yang sekadar ingin menyenangkan anaknya dengan jajanan murah, atau pasangan muda-mudi sederhana yang akan minder jika harus masuk mall. Kita mungkin juga akan kehilangan ruh Sekaten itu sendiri, dan pada akhirnya ia hanya hadir sebagai pasar, bazaar, pameran. Rasanya tidak mungkin kita bisa melihat dan mendengarkan tabuhan pusaka kraton di sana dan pengajian yang biasanya ada di Sekaten versi alun-alun. Tidak mungkin pula ada kirab grebeg Maulud di mall dengan ratusan orang berebut gunungan.

Saya tiba-tiba teringat, Pekan Raya Jakarta di masa silam sejatinya juga sebuah pasar rakyat. Itu dahulu, jauh sebelum PRJ berubah dan dikenal sebagai Jakarta Fair. Tempat yang keren, modern, tertata rapi, ada stand dealer kendaraan, hingga jenawa-jenawa kenamaan, dan tentu saja tiket puluhan ribu per kepala. Melihat sejarahnya, mungkin saja, Sekaten akan bernasib sama dengan PRJ.

Saat masuk ke pusat perbelanjaan, kita tidak akan pernah menemukan obral baju impor atau awul-awul dan tong setan di sana. Bagi yang punya anak kecil, mereka juga mungkin harus khawatir, "Kalau anakku minta jajan dan di sana harganya mahal bagaimana ya? Masa iya boleh ditawar? Kan ada di mall" Dan tentu saja, bagi kamu yang dahulu suka ke Sekaten dengan sandal jepit dan kaos kumal sambil merokok, gayamu itu harus diubah jika ingin datang ke Sekaten versi mall.

Tapi, bisa jadi masyarakat Jogja kelas menengah ke atas akan senang dengan transformasi ini. Sekaten akan lebih tertata, bersih tempatnya, atau pilihan barang lebih modern. Lalu Sekaten versi baru ini akan ramai dikunjungi orang-orang berkantong lumayan tebal, menjadi potensi ekonomi baru, dan supaya lebih menarik dan kekinian kelak diganti namanya jadi "Sekaten Fair" atau "Yogyakarta Fair".

Eh, tapi kan itu sekarang dinamai Sekati YK Ing Mall? Loh, apa sih yang tidak mungkin diubah di kota ini? Tugu Jogja nan punya arti penting sebagai bagian dari sumbu filosofi saja sangat sering direnovasi.

Sementara di sudut lain, satu bagian dari catur gatra tunggal di kota istimewa kehilangan ruhnya. Satu tempat simbol kerakyatan, hubungan raja-rakyat, kini telah berpagar. Satu hajatan yang mewarnai tempat itu berpuluh tahun lamanya berpindah sudah, menuju ke sebuah tempat baru. Alun-alun tidak perlu lagi khawatir akan menjadi kotor. Tidak ada lagi ceceran oli dari mesin penggerak bianglala. Kesakralan Sekaten tidak lagi dinodai asap knalpot dari motor di tong setan. Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu mungkin akan lebih khusuk ditabuh tanpa harus terganggu berisiknya pengunjung pasar malam.

***

Terlepas dari segala hal di atas, saya harus berterima kasih pada zaman karena telah membawa perubahan di kota ini. Kini, simbolisasi ruang kerakyatan kota wisata tercinta bukan sekadar alun-alun. Ini adalah 2021, zaman telah maju, peradaban telah berbenah. Begitupun konsepsi wisata, budaya, dan cara manusia melihat keduanya.

Catur gatra tunggal boleh saja meletakkan alun-alun sebagai simbol kerakyatan. Tapi, alun-alun di kraton hanya ada 2, sementara di kota ini ada banyak mall. Kenapa tidak kita gunakan mall untuk membangun ruang kerakyatan? Toh, jika datang ke ke alun-alun dengan alasan ingin bertemu atau melihat raja, kita pun jarang menemukan momen itu.

Siapa tahu, saat Sekanten sepenuhnya dipindah ke mall, kita bisa lebih mudah melihat dan bertemu raja. Atau, jika beruntung, kita bisa berpapasan dengan beliau. Kapan lagi kita bisa bertemu raja dengan sesantai itu tanpa harus kikuk karena tidak bisa berbahasa Jawa krama halus?

Itu semua tentu saja sebuah kemajuan dan Sekati YK Ing Mall telah memulainya. Lagi pula, jika ingin jujur, rasanya lebih menyenangkan datang ke mall. Masyarakat tidak kepanasan, tidak takut bertemu pengamen, dan tidak usah pusing mencari pintu pagar demi masuk ke sana.

Bukankah itu sebuah kemajuan? Ruang rakyat yang tadinya di lapangan terbuka berpindah ke sebuah bangunan bertingkat? Kita tentu saja harus berbangga, kota ini mau menyesuaikan dan berjalan bergandeng tangan dengan kondisi zaman.

Suatu saat nanti, generasi yang lahir di tahun 2030 mungkin akan mengenal Sekaten sebagai acara wisata tahunan dengan lokasi berpindah-pindah dari mall ke mall tiap tahunnya. Jika ingin mengitarinya pun bisa naik lift tanpa harus lelah mengitari alun-alun dan saat bosan bisa langsung ke bioskop. Sementara, Sekaten yang kita kenal sekarang dengan segala cerita tentang bianglala, awul-awul, kacang rebus, dan perahu otok-otok, mungkin akan menjadi bagian dari sejarah bersama kisah Perang Jawa dan Perjanjian Giyanti.

***

Seperti kala bapak berkisah pada saya tentang Sekaten di masa ia muda, mungkin saya pun kelak akan berkisah serupa ke anak saya.

"Dulu itu gak di mall, dulu di alun-alun utara, Nak."

"Oh jadi dulu Sekatennya di dalem pagar itu ya, Pa?"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image