MEMAHAMI IMAMAH DALAH PERSPEKTIF POLITIK SYIAH
Agama | 2021-10-21 22:55:06Dalam Al Qurâa,kata Imam dalam bentuk tunggal dipergunakan sebanyak 7 kali dan kata aâimamah dalam bentuk pelural digunakan sebanyak lima kali dengan arti dan maksud yang berfreasi sesuai denagn pengunaannya. Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, hal tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang berarti pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin dalam arti negatif yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin spiritual.
Pada dasarnya Kata imam (pemimpin) dalam arti luas dan bersifat umum bisa digunakan untuk sebutan pemimpin pemerintahan atau pemimpin politik (sekuler), dan juga bisa untuk pemimpin agama. Sedangkan pengunaan kata pemimpin yang memiliki arti khusus, yakni sebagai pemimpin spiritual, bisa saja berimplikasi politik karena dipengaruhi oleh tuntutan keadaan. Karena pada kenyataannya, pelaksanaan ajaran agama islam dalam sebuah kehidupan bermasyarakat , tidak hanya menyangkut surusan pribadi saja tetapi juga kehidupan kolektif.
Oleh sebab itu, urusan seorang imam bisa berdimensi politis.hal ini telah kita lihat bahwa sannya rosullulah SAW, pada awalnya lebih berfungsi sebagai nabi dan rasul dalam makna sempit, yakni pemimpin spiritual yang menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, pada periode Madinah kedudukan beliau mulai bersifat politis, karena beliau juga melaksanakan tugas politik dan pemerintahan sebagai pemimpin (kepala negara) bagi masyarakat Madinah.
Secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga urusan dunia sekaligus. Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan mutlak agama dan negara, dunia dan akhirat, mesjid dan istana, atau ulama dan politikus. Inilah yang menjadikan penganut syiah, tidak hanya memandang para imam sebagai pengajar agama, tetapi juga sebagai pengatur segala urusan umat yang berhubungan dengan pranata sosial, politik, keagmaan, ekonomi, budaya, dan seluruh kebutuhan interaksi umat lainya. Bagi orang Syiâah, imam bukan hanya menjadi pemimpin politik belaka melainkan juga menjadi seorang guru yang maâshum (terjaga dari dosa). Menurut pendapat mereka tanpa adanya imam, kesucian agama akan mudah tercemari sehingga dunia akan terjerumus ke dalam anarkisme dan kekacauan. Pada awalnya Syiâah berketetapan bahwa imam itu mungkin menghilang untuk sementara (ghaibah), lalu akan kembali di akhir zaman. Imam akan berperan penting mengisi dunia dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya terisi dengan kepalsuan dan kesewenang-wenangan.
Pemakaian konsep Imamah secara evolutif telah mengalami perkembangan makna. Di sini imamah yang berarti sama dengan khalifah sebagai konsep politik. Namun, dalam perkembangannya kemudian imamah diberi muatan ideologis dan teologis sehingga tidak murni lagi sebagai konsep politik, melainkan berkembang menjadi pemimpin spiritual yang mempunyai makna sakral. Defenisi lain Imamah adalah Negara besar yang mengatur urusan -urusan agama dan dunia. Tetapi, lebih tepat lagi apabila dikatakan bahwa Imamah adalah pengganti Nabi di dalam menegakkan agama. Sejarah mencatat, bahwa hari-hari pertama setelah wafatny a Nabi saw persoalan yang timbul adalah persoalan kekuasaan, yaitu menyangkut sosok figur yang dianggap paling pantas menggantikan kepemimpinan Nabi saw.
Dalam politik Syi'ah, imamah (kepemimpinan) memiliki makna yang lebi khusus, karena di dalamnya terdapat salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama (Arkan ad-Din) dimana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah, yaitu Ali sebagai imam dan pelanjut Nabi SAW yang salah karena langsung ditunjuk oleh beliu (bukan Abu Bakar). Dengan batasan semacam itu, maka model kepemimpinan dalam imamah didasarkan pada sistem "penunjukan" nabi kepeda Ali dan turun -menurun oleh keturunannya. oleh sebab itu, Syiâah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait
Pemikiran khas Syiâah tentang Imamah dan Khilafah dalam periode Empat Khalifah masih menunjukkan eksitensinya sebagai pemikiran teologis al-wisayah al-Ilahiyyah kelompok Ali ibn Abi Talib. Tetapi pada pasca perang Siffin pemikiran tersebut telah menjadi milik sebuah kelompok religio-politik yang dari awal tidak mendukung kekhalifahan Muâawiyah dan mendukung tanpa reserve keimaman Ali ibn Abi Talib, memiliki perbedaan mendasar dengan kelompok âbesarâ umat Islam yang lain. Perkembangan pemikiran religio-politik Syiâah secara umum, diwarnai oleh perkembangan pemikiran tentang Imâmah dan istikhlâfnya (untuk menyebut: penggantian dan pewarisan imâmah Syiâah) secara lebih spesifik. Banyak di antara sejarawan yang menyebut bahwa esensi perkembangan Syiâah adalah pada masalah penggantian dan pewarisan Imam ini. Dalam perkembangan pemikiran tentang Imâmah ini, bisa disebut tiga kelompok besar Syiâah Imamiyah, yang hingga saat ini kehadirannya masih dapat kita saksikan, di samping pemikiran-pemikiran khasnya, yaitu: Isna âAsyariyah, Zaidiyah dan Ismaâiliyah
Dalam Al Qurâa,kata Imam dalam bentuk tunggal dipergunakan sebanyak 7 kali dan kata aâimamah dalam bentuk pelural digunakan sebanyak lima kali dengan arti dan maksud yang berfreasi sesuai denagn pengunaannya. Begitu pula dalam makna pemimpin, kata ini merujuk pada banyak konteks, hal tersebut menunjukkan bahwa kata imam yang berarti pemimpin, bisa digunakan untuk beberapa maksud, yaitu pemimpin dalam arti negatif yang mengajak manusia kepada perbuatan maksiat, pemimpin dalam arti luas dan bersifat umum, dan pemimpin yang bersifat khusus yakni pemimpin spiritual.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.