Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Milenia Ferli

Dari Kritik Sampai Kritis, Inikah Wajah Demokrasi Kita?

Politik | Thursday, 21 Oct 2021, 22:06 WIB
Oleh: Milenia Ferlihanisa

Kritikan yang sebetulnya wajar di sebuah negara demokrasi, bisa diartikan lain jika para analis di lingkungan Istana membacanya dalam perspektif lain. Misalnya, melihat kritik itu sebagai potensi ancaman bagi legitimasi pemerintahan. Terlebih, saat ini, kita sedang berada di era post-truth, saat batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi sedemikian realitas yang kabur.

Akhir-akhir ini kita sering kali menemukan atau menyaksiakan beragam kasus di Indonesia yang berakaitan dengan pembungkaman kritik, dari mulai mural, narasi di berbagai media massa, online ataupun konten di media social semua terpantau oleh Istana, tidak ada ruang demokrasi yang mencerminkan freedom of speech, di bawah kekuasaan dan kewenangan Presiden Jokowi Jilid II ini, semua aturan yang ada seperti permainan yang ada di Serial Drama Korea Berjudul Squid Game.

Dimana rakyat kecil dan kaum marjinal diberikan akses yang sama tapi tidak setara. Dalam Serial drama Korea tersebut merepresentasikan rakyat miskin dan kaum marjinal, Squid Game ini bukan hanya sekedar serial film tentang film permainan untuk mencapai pemenangan atau tega-tegaan bunuh-bunuhan, bukan juga sekedar hiburan bagi kaum kelas menengah.

Serial Drama Korea Squid Game ini adalah representasi keadaan didunia nyata, representasi keadaan dunia nyata yang mengakomodir kaum marjinal dan rakyat kecil yang harus tunduk dan patuh terhadap sistem yang rusak tanpa bisa melakukan perlawanan atau peninjauan kembali atas sistem tersebut.

Saat memainkan Squid Game, prinsip yang digunakan adalah prinsip kesamaan, dimana semua orang punya peluang yang sama tapi tidak menjamin kesetaraan. Para pemain Squid Game juga harus patuh pada semua peraturan tanpa bisa mengambil keputusan atas nasib mereka sendiri di tiap permainannya. Mirip dengan keadaan di dunia nyata yang dialami oleh rakyat kecil dan juga kaum marjinal yang seringkali tidak dilibatkan oleh Pemerintah dalam pengambilan keputusan yang menentukan kehidupan mereka dan hidupnya dikendalikan oleh Penguasa.

Dimula dari kritik yang dilayangkan oleh BEM UI yang mengatakan soal King Of Lip Service di akun Instagram Official BEM UI tersebut terdapat flyer dengan foto Presiden Jokowi menggunakan emoticon Mahkota, yang berujung pada pemanggilan 10 Mahasiswa pengurus BEM UI untuk melakukan klarifikasi terkait postingannya yang dirasa menyinggung Presiden Jokowi. Sebelumnya, melalui akun @BEMUI_Official, organisasi kampus itu secara blak-blakan menyebut Presiden Jokowi sebagai the king of lip service. “Itu bentuk kritis kami jadi itu dibuat oleh Brigade [organ taktis] di bawah BEM UI. Itu bentuk kritik bahwa banyak selama ini pernyataan Presiden yang kemudian tidak sesuai dengan realita atau pelaksanaannya,” Jawab Leon saat ditanya wartawan Bisnis.Com

Selain itu terkait demonstrasi, Jokowi sempat menyatakan kerinduannya untuk didemo saat awal-awal memimpin Indonesia. Akan tetapi, tindakan kekerasan malah dialami mahasiswa saat berunjuk rasa. Saat ini kejadian mahasiswa dibanting polisi ketika sedang melakukan aksi demonstrasi menjadi sorotan publik. Tidak hanya di Indonesia, peristiwa mahasiswa dibanting polisi juga turut disaksikan oleh wartawan luar negeri.

Hal tersebut dapat berarti tragedy mahasiswa dibanting polisi bukan hanya disorot orang Indonesia saja, akan tetapi juga seluruh dunia. Dikutip dari Utara Times Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan “ bahwa kejadian tersebut sebagai salah satu kemunduran bagi demokrasi Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).” Setelah dibanting oknum polisi itu, MAF sempat kejang-kejang lalu dibawa ke rumah sakit dan kondisinya sudah membaik meskipun sempat kritis, dan korban dilarikan ke Rumah Sakit.

Walaupun Oknum tersebut dan Kapolda Banten sudah meminta maaf kepada korban, aksi banting mahasiswa tersebut dinilai sebagai bentuk dari kesewenang-wenangan Pemerintahan Jokowi dalam menanggapi kritik yang ada dengan represif. Di era ini, opini yang menggelinding kuat dan makin membesar bagai bola salju akan mampu menghancurkan kebenaran bahkan legitimasi yang selama ini diakui.

Gelindingan opini ini, kalau membesar tentu akan menjadi ancaman bagi kukuhnya legitimasi seorang presiden. Di sisi lain, ini juga merupakan cobaan bagi demokrasi di Indonesia. Apakah rakyat masih boleh melontarkan kritik kepada Presiden, ataukah justru sebaliknya, akan ditindas dengan tanpa ampun, baik secara terbuka atau pun diam-diam. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah cerdas dari Istana untuk mengantisipasi gelindingan isu tersebut tanpa harus mematikan demokrasi. Keadaan kita di Indonesia saat ini persis seperti apa yang dikatakan George Orwell dalam satirenya yang berjudul 1984, orwell mengatakan bahwa masyarakat kita hidup dalam totalitarian masa depan yang di dalamnya setiap gerak warga negara dipelajari, setiap kata yang terucap disadap, dam setiap pemikiran dikendalikan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image