Menangisi Kehilangan, Ihwal Manusia yang Posesif
Curhat | 2021-10-21 17:38:18Juli 2001. Sesaat setelah Bapak menghembuskan nafas terakhir, Ibu langsung memegang kedua pundaknya, memnggoyang-goyangkannya seolah tak percaya. âPak, Bapak, bangun. Bapak jangan pergi dulu,â katanya sambil mbrebes mili. Selang beberapa menit, adikku yang bungsu langsung menangis dengan keras, nyaris histeris. Entah kenapa, aku yang sebetulnya juga diliputi kesedihan yang sama, memilih marah dan memarahi adikku. âJangan cengeng, jangan ratapi kepergian Bapak, nggak boleh!,â kataku.
Apakah manusia memang berwatak posesif? Makhluk yang mudah terjebak dalam hasrat kepemilikan. Atau dalam Bahasa Erich Fromm, modus eksistensialnya melulu to have, bukan to be. Bukankah rasa memiliki pula yang menjadikan kita takut kehilangan atas apa yang kita miliki? Karena âmilikâ pula, kehilangan bisa menjelma sakit.
Saat orang yang kamu cintai pergi, yang kamu rasakan adalah kehilangan. Begitu dalamnya rasa kehilanganmu, sampai-sampai kamu selalu butuh waktu cukup lama untuk bisa mendamaikan hatimu. Berdamai dengan kenyataan bahwa dia telah meninggalkanmu. Sebagian kita mungkin akan kesulitan menerima kenyataan. Kau ingin selekasnya move on karena begitu pahitnya kenyataan, tetapi pada jeda waktu yang sama sebetulnya kamu memelihara hatimu yang belum bisa menerima kenyataan. Agh, andai saja aku..., kalau saja dia dan sekawannya kita sirami telaten dengan air kenangan.
Lantas, apa yang sebetulnya kita tangisi; kepergiannya atau kehilanganmu? Sakit itu karena dia yang baru saja ada, kini tiada. Hilang. Karena sebelumnya dia adalah milikmu. Lantas, hati menanggung sakit karena kehilangan. Respon biologisnya adalah tumpahan air mata, menangis setiap kali mengenangnya.
Anehkah kita, kaum manusia? Bukankah sebelumnya hidupmu juga sendiri, tanpa kekasih. Dan mungkin saat itu kehidupan juga berjalan fine-fine saja. Lalu dia masuk dalam duniamu, kau labeli sebagai milikmu. Ketika ia pergi, kau sakit karena kehilangan, kesulitan menyadari bahwa sebelumnya kamu juga sendiri. Manusia menjadi terasing dengan cinta yang ia buat sendiri. Ini seperti tangga dan eskalator. Dulu pekerja kantoran mungkin terbiasa naik turun tangga hingga lantai 5, lalu segalanya menjadi mudah setelah ada fasilitas eskalator. Tetapi apa jadinya ketika escalator, entah error system atau linstrik dan genset mati, mendadak semua mengeluh ketika harus kembali naik turun tangga.
Apa bedanya dengan cinta. Konsep cinta menjadi bermakna menyandera, tidak membebaskan. Itu semua karena modus to have tadi. Menurut Fromm, idealnya cinta adalah perkara mencintai (to have), sehingga kita hanya fokus bagaimana mencintai. Tetapi manusia modern yang posesif (materilistis) mereduksi cinta sebagai perkara dicintai (be loved). Bukanlah cinta kalau bertepuk sebelah tangan, orientasinya hanya bagaimana kita dicintai. Cinta menjadi lebih transaksional.
***
September 2001. Kami telah berbaris rapih di pelataran dalam kampus yang luas. Beberapa senior mulai berorasi, menjejali kami dengan ini dan itu. Inilah identitas kita sebagai mahasiswa Fisip. Tiba-tiba imajinasiku melayang, sketsta wajah Bapak begitu jelas hadir di kepalaku. Lantas, sementara mahasiswa baru yang lain tengah merunduk serius menerima wejangan, aku menangis sesenggukan, menghayati kenangan tentang Bapak.
âBapak, anakmu akhirnya bisa kuliah. Aku kangen Bapakâ []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.