Kontribusi Nyata BPKH untuk Kemaslahatan Umat
Lomba | 2021-10-19 10:59:02Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, kewajiban ini dilaksanakan sekali seumur hidup. Setiap pribadi muslim tentunya memiliki keinginan untuk bisa melaksanakan ibadah haji ke baitullah. Keinginan untuk melaksanakan ibadah haji tentunya harus didukung oleh kemampuan fisik dan juga materi. Jika tidak mampu salah satunya maka kewajiban tersebut gugur atas diri seorang muslim.
Di Indonesia sebelumnya pengurusan ibadah haji diselenggarakan sepenuhnya oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Sebagai lembaga yang memayungi segala aktivitas keagamaan di Negeri ini, tentu wajar bila pengelolaannya berada di bawah Kementerian Agama. Mengingat banyaknya amanah yang diemban oleh Kementrian Agama selain dari ibadah haji, maka Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dibentuk untuk membantu pendayagunaan keuangan haji agar lebih besar nilai pengembangan dananya dan tidak tergerus inflasi. Keberadaan BPKH sangat penting dan dinilai perlu untuk mengelola dana yang diperoleh dari jemaah haji secara lebih produktif untuk kemaslahatan jemaah haji agar penyelenggaraan ibadah haji lebih berkualitas.
BPKH hadir atas amanah undang-undang Nomor 34 tahun 2014. Sesuai amanah UU, BPKH diberi amanah untuk mengelola dana haji dalam bentuk penempatan di berbagai bank Syariah yang terpilih, investasi surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya. Lembaga ini bertugas untuk mengelola penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji di Indonesia dan mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat melalui pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah.
Setiap tahunnya jemaah yang mendaftar ibadah haji mengalami peningkatan, sementara kuota haji terbatas sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah jemaah haji tunggu. Hal demikian mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji. Akumulasi dana haji memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas. Berdasarkan data BPKH Nilai Dana Haji meningkat sekitar Rp10 Triliun setiap tahun yang berasal dari pendaftar baru dan kenaikan nilai manfaat, dimana pendapatan nilai manfaat yang didapat BPKH dari pengelolaan Dana Haji meningkat sekitar Rp1 Triliun per tahun.
Persoalan penyelenggaraan Ibadah haji, sejatinya tidak hanya soal kesuksesan pemberangkatan jemaah dan ketenangan yang diperoleh selama pelaksanaan ibadah sampai kembalinya jemaah ke tanah air. Jauh sebelum itu, terdapat permasalahan yang juga mempengaruhi jemaah untuk menjadi haji mabrur. Di antaranya berupa kendala keuangan yang dihadapi oleh calon jemaah haji di Indonesia. Karenanya, keberadaan BPKH menjadi penolong yang mengupayakan agar biaya yang dikeluarkan oleh calon jemaah haji dapat terjangkau.
Pada tahun 2020, Pemerintah melalui Menteri Agama mengumumkan standar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp.35.235.602,- (Republika, 29/11/2019). Nilai ini sesungguhnya tidak mengalami kenaikan sejak 2013 sebelum BPKH berdiri. Kontribusi BPKH dalam memanfaatkan dana abadi umat untuk kemashalatan sangat dirasa manfaatnya, bagaimana tidak BPKH telah berupaya seoptimal mungkin untuk memastikan biaya yang dikeluarkan oleh jemaah haji sama murahnya dengan yang dibayarkan sebelum adanya BPKH, meski fakta inflasi dan besarnya pengeluaran riil yang harus dikeluarkan jamaah telah naik dua kali lipat. Tentu hal ini bukanlah persoalan mudah. Sebab bila mengacu pada biaya riil, ongkos haji yang mesti dikeluarkan disinyalir sekitar 70 juta rupiah. Ini berarti, BPKH harus mencari cara untuk dapat menutupi kekurangan biaya dari dana yang telah disetorkan calon jemaah sebesar 100% dari dana yang tersedia.
Mengatasi kenaikan BPIH maka sudah menjadi tanggungjawab BPKH mencarikan solusi. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan mengelola setoran awal jemaah haji untuk di investasikan ke berbagai instrumen investasi syariah yang sesuai dengan UU No. 34 tahun 2014 pasal 2. Menginvestasikan dana haji ke instrumen yang tepat akan memberikan keuntungan yang besar dengan catatan BPKH mampu membuat analisis secara cermat mengenai potensi keuntungan dan kerugian yang akan terjadi. Jika resiko tersebut dapat dikelola dengan baik diawal maka akan memberikan probabilitas yang cukup untuk mencapai nilai manfaat sesuai dengan yang diharapkan. Hasil perolehan nilai manfaat investasi yang dikelola BPKH dibagi menjadi tiga; (1) subsidi jemaah yang berangkat; (2) dikembalikan atau dibagi dengan jemaah tunggu, dan (3) biaya operasional BPKH, maksimal 5% dari total nilai manfaat tahun sebelumnya, setelah mendapat persetujuan DPR.
Sekarang yang menjadi pertanyaan kira-kira sarana investasi apa yang dapat memberikan imbal hasil sebesar 100% untuk memenuhi kebutuhan keuangan tersebut? meskipun ada, dalam prinsip ilmu investasi, keuntungan yang besar lazimnya diikuti oleh resiko yang besar juga. Padahal di sisi lain, BPKH dengan segala kapasitasnya sebagai pengelola dana haji, juga berkewajiban untuk dapat menempatkan serta melindungi dana yang dititipkan oleh calon Jemaah ke tempat yang aman, ini sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2014 Pasal 53 ayat 1.
Tak hanya itu saja tantangan lain yang dihadapi oleh BPKH dalam menginvestasikan dana haji yaitu masih terbatasnya jumlah instrumen keuangan syariah di Indonesia. Berdasarkan data OJK total aset keuangan syariah di Indonesia per Juli 2019 adalah sebesar Rp1.359 triliun atau setara dengan 8,71% aset keuangan Indonesia. Dengan jumlah yang relatif kecil tentunya ini menjadi tugas tambahan bagi BPKH untuk lebih berperan aktif dalam mengembangkan istrumen keuangan syariah demi terwujudnya pengelolaan keuangan haji yang lebih optimal. Melihat kerja keras BPKH dalam mengoptimalkan pengelolaan dana haji dan besarnya tanggung jawab yang diemban, maka sepatutnya bila pengelolaan lembaga ini dibuat khusus tidak lagi di bawah Kementerian Agama, tetapi langsung berfungsi sebagai Lembaga negara yang mengelola keuangan pubik.
# BPKHWritingCompetition
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.