Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahra Arlinia

PERANG DAGANG AMERIKA-CHINA

Politik | 2022-06-14 16:43:16

Sejarah Hubungan Ekonomi Amerika-China Sebelum Perang Dagang. Dalam konteks global, sejak China resmi bergabung menjadi salah satu anggota WTO pada tahun 2001 dengan dukungan Amerika Serikat mampu membuat pertumbuhan ekonomi China yang sangat cepat semakin berkembang. Masuknya China ke dalam WTO memberi dampak yang cukup positif bagi perekonomian China. Keuntungan perdagangan yang semakin besar berdampak untuk memperkuat perekonomian China sehingga China mampu mengintegrasikan ekonominya ke dalam WTO. Dengan bergabungnya China dengan organisasi besar di dunia maka pintu perdagangan China semakin terbuka luas. Pemerintah China berharap akan nilai ekspor yang meningkat dan meluasnya nilai investasi asing dari sesama anggota WTO yang mau membuka bisnisnya di China.

Neraca perdagangan Amerika Serikat mengalami ketimpangan yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya ekspor China ke Amerika Serikat pada tahun 2008. Dimana hal tersebut merupakan salah satu dampak yang dialami oleh China akibat dari adanya krisis ekonomi global terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Dampak krisis ekonomi global tersebut mempengaruhi jumlah penanaman modal asing yang masuk ke China karena banyak perusahaan terutama perusahaan Amerika Serikat, baik skala besar maupun kecil yang menutup pabriknya di China seperti General Motor. Selain itu pemerintah Amerika Serikat juga melakukan peningkatan anggaran pertahanannya setelah serangan teroris dan menjadi lebih besar lagi dengan adanya serangan ke Afganistan dan Irak oleh Amerika Serikat.

Krisis ekonomi yang mulai terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah mengguncang banyak pihak termasuk masyarakat di berbagai negara. Hal ini sangat mengejutkan karena Amerika Serikat sebagai negara besar dan kuat secara ekonomi, pada akhirnya juga mengalami krisis ekonomi yang menumbangkan bursa saham dan keuangan Amerika Serikat serta berbagai negara di dunia lainnya.

Meningkatnya perekonomian China memberikan tantangan tersendiri bagi Amerika Serikat. Kerja sama di bidang perekonomian antara Amerika Serikat dan China terutama di kegiatan ekspor dan impor mengalami peningkatan. Tren tersebut sebenarnya telah terjadi sekitar tahun 2002. Pada saat itu, total ekspor China ke Amerika Serikat lebih besar yaitu sejumlah $125 miliar, daripada total ekspor Amerika Serikat ke China yang hanya sejumlah $19 miliar. Salah satu alasan jumlah ekspor China ke Amerika Serikat lebih besar adalah masyarakat AS lebih konsumtif daripada masyarakat China. Masyarakat China yang dibayar rendah tidak mampu membeli barang produksi AS yang berharga tinggi. Pada intinya adalah daya beli masyarakat China rendah sehingga permintaan terhadap barang produksi AS menurun, kemudian berdampak pada jumlah ekspor dan impor di kedua negara. Faktor lain yang menyebabkan total ekspor China ke AS lebih besar adalah pertukaran nilai mata uang. Pemerintah China menerapkan kurs tetap yang membuat nilai mata uang Yuan China lebih rendah terhadap Dollar Amerika. Rendahnya mata uang yang ditetapkan pemerintah China membuat harga barang produksi China lebih murah dibadingkan harga barang produksi AS yang masuk ke China.

Sejarah Hubungan Ekonomi Amerika-China sebelum Perang Dagang

Setelah berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya rezim komunis Uni Soviet, munculah tatanan dunia baru yang lebih damai, aman, dan sejahtera. Persaingan ideologi maupun kekuatan militer telah diturunkan dari prioritas utama dalam percaturan dunia, dan masyarakat internasional lebih menghendaki dalam peningkatan kesejahteraan di bidang ekonomi. Saat ini, masalah yang berkaitan dengan pembangunan dan kerjasama ekonomi menjadi agenda utama dalam politik internasional. Dalam hal ini, kemudian dikenal adanya interdependensi yang menyatakan bahwa negara bukanlah aktor independen, melainkan suatu negara yang saling bergantung satu sama lain dengan negara lainnya. Tidak ada satu negara pun yang dapat memenuhi sendiri kebutuhannya secara keseluruhan, tentunya setiap negara bergantung pada sumber daya maupun produk dari negara lain. Begitu juga sama halnya dengan Amerika Serikat dan China yang memiliki hubungan ketergantungan dalam ekonomi. Hubungan ekonomi antara Amerika Serikat dengan China telah diinisiasi sejak tahun 1970-an, ketika Presiden Amerika Serikat yakni Nixon kala itu mengunjungi China dan menyatakan akan melakukan dialog terbuka dengan negara tersebut dan bermaksud untuk membawanya ke dalam komunitas dunia internasional. Pemerintahan Nixon pada kala itu juga mengumumkan tindakan yang bertujuan menghapus berbagai hambatan dalam hubungan perdagangan Amerika Serikat dan China. Normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan China dilaksanakan karena melihat bahwa perekonomian China telah menunjukkan perkembangan yang amat baik dan dianggap dapat memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat di masa mendatang. Selain itu, pendekatan hubungan ini dilakukan berkaitan dengan status hegemon dan pengaruh geopolitik Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Selanjutnya, hubungan Amerika Serikat dan China telah menunjukan perkembangan dan hubungan perdagangan telah mengalami banyak peningkatan. Hubungan antara Amerika Serikat dan China mengalami beberapa transformasi dalam skala berbeda, keduanya lebih dipertemukan melalui kerjasama strategis yang lebih berkonsentrasi pada isu - isu bilateral. Kerjasama Amerika Serikat dengan China bermulai seiring dengan gejolak ‘Kebangkitan China’ pada tahun 1990-2010 ketika pertumbuhan ekonomi China per tahun berkisar 8 - 9%, dimana Amerika Serikat sendiri berkisar 2-4%.

Pada Oktober 2000, Presiden Bill Clinton menandatangani US – China Relations Act, yang tujuannya untuk membantu China agar dapat melakukan perdagangan secara permanen dengan Amerika Serikat dan juga membuka kerjasama yang semakin meningkat. Amerika Serikat berusaha menjalin kerjasama untuk menyeimbangkan ekonomi global dan menghilangkan hambatan dagang serta investasi bilateral diantara kedua negara. Amerika Serikat berusaha mendorong China untuk membuka pasar dan peluang investasi yang baru bagi bisnis internasional. Hasil meningkatnya hubungan ekonomi kedua negara yakni China bersedia untuk bergabung dengan WTO (World Trade Organization) pada tahun 2001. Bergabungnya China dengan WTO meningkatkan hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China. Setelahnya, ekspor Amerika Serikat ke China meningkat sebanyak 81% dalam tiga tahun pertama keanggotaan China dibandingkan pada tiga tahun terakhir sebelum bergabung dengan WTO yakni hanya sejumlah 34%. Di sisi lain, impor dari China justru meningkat sebesar 92% yang sebelumnya berjumlah 46%. Tahun 2004, nilai perdagangan Amerika Serikat dan China mencapai angka 600 triliun dollar AS. Ekonomi China dapat berkembang seperti sekarang salah satunya adalah karena keuntungan yang didapat melalui kerjasamanya dengan Amerika Serikat dan bergabungnya China ke dalam institusi-institusi internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF). IMF mengumumkan bahwa China telah menjadi negara terbesar dalam Purchasing Power Parity mengalahkan Amerika Serikat.

Menurut data dari World Investment Report 2014, Amerika Serikat berada pada peringkat pertama dunia untuk alur masuk keluar FDI (Foreign Direct Investment) , sedangkan China berada pada peringkat kedua. Investasi Amerika Serikat ke China terus berkembang, menurut data Kementrian Perdagangan China, antara tahun 1979-1989 investasi langsung Amerika Serikat di China hanya berjumlah 1,7 juta dollar AS. Namun, ketika China melakukan reformasi ekonomi dengan membuka berbagai sektor bagi investasi asing, investasi Amerika Serikat mulai meningkat sangat drastis. Amerika Serikat menjadi negara penghasil manufaktur terbesar dunia, bahkan menghasilkan 20% manufaktur global. Meskipun manufaktur China hanya menyumbang sejumlah 8%, namun ekspansi perdagangan yang dilakukan China sejak tahun 2001 terbilang cukup mempengaruhi lapangan pekerjaan di Amerika Serikat. Peningkatan ketergantungan ekonomi Amerika Serikat dan China menjadi semakin jelas ketika krisis keuangan melanda dunia. China menjadi pemegang hutang tertinggi Amerika Serikat yakni sejumlah 1,7 triliun dollar AS yang sangat mengguncang ekonomi negaranya saat itu. China juga merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Amerika Serikat.

Ekonomi China bergantung terhadap perusahaan barat, dimana perdagangan China dipengaruhi oleh investasi perusahaan asing. Hal itu membuat China sensitif terhadap kenaikan maupun penurunan ekonomi internasional, terutama ekonomi Amerika Serikat hal tersebut dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi China. China merupakan pasar terbesar bagi Amerika Serikat, bahkan mendominasi sebagian besar wilayah konsumen. Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengesampingkan China dari globalisasi ekonomi. Bagi China sendiri, Amerika Serikat merepresentasikan pasar ekspor yang sangat penting dan amat berpengaruh besar, sedangkan bagi Amerika Serikat, pasar China dinilai menjanjikan di masa mendatang. Hal yang dirasakan oleh Amerika Serikat dan China dapat dijadikan sebagai modal untuk menjalin hubungan ekonomi yang kuat dan saling menguntungkan berjangka panjang. Tanpa pembelian barang-barang China oleh Amerika Serikat, China tidak akan mungkin mempertahankan pertumbuhannya. Tanpa meminjam uang dari China, Amerika Serikat tidak mungkin sepenuhnya pulih dari problematika ekonominya.

⦁ Kerjasama Ekonomi Amerika-China

Menteri Perdagangan China Wang Wentao mengungkapkan China merupakan mitra dagang terbesar AS. Perdagangan bilateral dan kerja sama investasi antara kedua negara telah memberikan kontribusi positif bagi pemulihan ekonomi masing-masing di tengah pandemi.

Meskipun perdagangan global merosot karena pandemi, perdagangan antara China dan AS telah melawan tren tersebut. Data bea cukai China menunjukkan perdagangan barang bilateral naik 8,8 persen pada 2020 dalam mata uang yuan. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri China Wang Yi telah mengatakan negaranya siap memperbaiki hubungan dengan AS. Di masa pemerintahan mantan presiden AS Donald Trump, hubungan Beijing dan Washington diketahui kerap dibekap perselisihan. Dia mengungkapkan, tindakan pemerintahan Trump untuk menekan China telah menimbulkan dampak yang tak terukur. Oleh sebab itu, Wang meminta pemerintahan Presiden Joe Biden membuka kembali dialog antara kedua negara. Terkait hal tersebut, Wang mengatakan pembicaraan via telepon antara Biden dan Presiden China Xi Jinping baru-baru ini sebagai langkah positif. Wang meminta AS menghapus kebijakan pengenaan tarif impor terhadap barang-barang China yang diambil pada masa pemerintahan Trump. Dia juga meminta Washington tak lagi mendiskreditkan sektor teknologi negaranya. Wang juga mendesak menghormati kepentingan inti negaranya dan berhenti mencampuri urusan domestik China. Dia secara khusus meminta AS tak lagi "berkomplot" dengan pasukan separatis untuk kemerdekaan Taiwan.

⦁ Perlakuan tarif dalam perang dagang Amerika-China

Pemberitaan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China akhir-akhir ini menyedot banyak perhatian. Terutama, setelah China memutuskan untuk membalas perlakuan AS dengan menetapkan tarif impor pada barang-barang AS.

Dampaknya, ekonomi dunia yang melambat jadi salah satu 'hasil' perang antara dua negara ini. Selama dua tahun berturut-turut, ketegangan AS dengan China seolah tak menemukan titik damai.

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan segera mengkaji tarif barang impor dari China senilai US$300 miliar yang telah memicu perang dagang dua ekonomi terbesar di dunia ini. Peraturan bea masuk tersebut berlaku selama 4 tahun setelah diimplementasikan, kecuali Perwakilan Dagang AS melakukan analisis efektivitas dan konsekuensinya.

Untuk kelompok barang pertama, kajian tarif produk China senilai US$34 miliar harus dilakukan dalam 60 hari sebelum berakhir pada 6 Juli dengan mayoritas habis masa berlakunya dalam beberapa bulan ke depan. Administrasi Biden belum memberikan sinyal untuk menghapus tarif, meskipun inflasi sudah melambung hingga 7 persen dan harga energi hingga gandum terkerek setelah invasi Rusia ke Ukraina. Seperti diketahui, Trump menerapkan tarif kepada China hampir US$500 miliar untuk produk yang dikirim antara kedua negara. Pada awal 2020, mereka menyetujui kesepakatan fase satu yang ditandai penghapusan sejumlah tarif dengan imbalan Beijing mengatasi pencurian kekayaan intelektual dan membeli produk AS seperti energi, pertanian, dan barang manufaktur senilai US$200 miliar hingga Desember lalu.

Hingga saat ini, Biden masih mempertahankan tarif selama setahun kepresidenannya lantaran China masih jauh dari komitmen pembelian. Hal itu membuka peluang kemungkinan bahwa pungutan akan lebih permanen dari lanskap perdagangan. Perwakilan Kementerian Perdagangan AS Katherine Tai belum berhasil melakukan negosiasi dengan China terkait hal ini. Tanpa justifikasi yang kuat untuk pelonggaran tarif, administrasi Biden akan sulit membuat langkah politik karena inflasi juga sedang memanas menjelang pemilihan paruh waktu pada November. Negosiator perdagangan lama AS yang sekarang menjadi wakil presiden Institut Kebijakan Masyarakat Asia di Washington, Wendy Cutler, mengatakan kesepakatan fase satu Trump telah menghilangkan pilihan bagus agar China mau mematuhinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image