Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rosyid Bagus Ginanjar Habibi

Framing Dana Haji dan Kekuatan Jempol Netizen

Lomba | Sunday, 17 Oct 2021, 21:25 WIB
Menangkis Framing Negatif Dana Haji Dengan Menulis Artikel (dok. pribadi)

Bulan Juni kemarin netizen sempat ribut di media sosial tentang masalah pembatalan penyelenggaraan ibadah haji 2021. Mereka menghembuskan isu bahwa dana haji habis dipergunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur. Padahal faktanya, Pemerintah Arab Saudi menutup pintu semua negara untuk beribadah haji 2021 dan penyelenggaraannya digelar khusus hanya untuk jamaah domestik yakni penduduk lokal dan para ekspatriat yang telah berada di negara tersebut. Di lain sisi, Pemerintah Indonesia ingin memastikan kesehatan, keselamatan, dan keamanan jamaah haji mengingat dunia masih dalam susana pandemi Covid-19.

Saat itu Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu, menjelaskan jika dana haji milik jamaah aman dengan saldo per Mei 2021 nilainya Rp150 triliun. Ia juga menegaskan bahwa tak ada kegagalan dalam pengelolaan keuangan dana haji. Bahkan tahun 2020, BPKH membukukan surplus lebih dari Rp 5 triliun dengan pertumbuhan dana kelolaan di atas 15%.

Dua tahun lalu saya pernah menulis artikel tentang isu ini di facebook. Isunya berawal dari polemik kuota tambahan 10 ribu dari Pemerintah Arab Saudi. Untuk memenuhi kuota tambahan ini, pemerintah Indonesia harus merogoh gocek sebesar Rp319 miliar. Saya menulis artikel itu untuk meluruskan disinformation di lingkaran pertemanan dunia maya yang sempat terpanggang isu. Kenyataannya, investasi yang dikelola BPKH telah mendapat izin dari pemilik dana dalam bentuk surat kuasa (akad wakalah) dari jamaah haji. BPKH menerima setoran, mengembangkan, dan memanfaatkannya guna keperluan jamaah haji baik di tanah air atau di tanah suci.

Karena banyak yang membagikan postingan saya, ada salah satu pejabat BPKH yang turut mengomentari tulisan tersebut. Beliau hanya memberi tambahan informasi jika pembiayaan 10 ribu kuota tambahan itu tidak dibiayai sedikitpun dari APBN. Rinciannya, kekurangan dana Rp149,9 miliar diambilkan dari nilai manfaat keuangan BPKH Rp100 miliar sedangkan Rp49,9 miliar dari realokasi anggaran layanan akomodasi di Makkah dan peningkatan layanan transportasi antarkota.

Tulisan saya di facebook itu sebenarnya hanya pelengkap dari tulisan sebelumnya yang mengulas boleh tidaknya dana haji digunakan untuk infrastruktur (bisa dibuka di bit.ly/DANAHAJI). Total ada 165 yang suka, 101 dibagikan, dan 71 komentar. Rata-rata komentar netizen sangat positif sebab sebagian besar dari mereka tidak tahu penjelasan terkait pengelolaan dana haji ini.

Uniknya, isu yang ramai di medsos tentang dana haji ini berkembang dua tahunan sekali. Sesuai catatan saya, enam tahun belakangan banyak reachment mengenai seputar haji di platform daring terutama tahun 2017, 2019, dan 2021. Sentimen yang pertama muncul kebanyakan tone negatif atau kabar bohong yang diviralkan agar emosi masyarakat bangkit dan tergugah. Menurut saya, isu-isu semacam ini memang sengaja dibangun oleh pihak tertentu untuk mengacaukan situasi atau pengalihan isu yang sedang naik daun.

Gedung Bidakara, Kantor Baru BPKH (google/2021)

Beberapa waktu lalu saya mengikuti workshop strategi komunikasi visual yang dikelola lembaga Think Policy secara online di aplikasi zoom. Saat membahas tema manajemen komunikasi krisis di sektor publik, kami diajari bagaimana teknik membangun narasi dan mengembangkan pesan agar bisa ditangkap pembaca. Satu hal penting yang dapat mempengaruhi pikiran pembaca berita di dunia maya yaitu dahsyatnya kekuatan framing.

Dana Haji Dikelola Secara Profesional

Kebijakan investasi dana haji sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2009, akan tetapi dana haji Indonesia lebih banyak disimpan dalam instrumen keuangan. Mayoritas dana haji tersalur ke dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) melalui Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Berbeda dengan kebijakan Lembaga Tabung Haji Malaysia yang memanfaatkan dan mengembangkan dana haji untuk beragam investasi termasuk di sektor properti, perkebunan, dan investasi di luar negeri.

Kuota haji yang terbatas membuat waiting list haji semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya jumlah jamaah haji tunggu, berdampak pada penumpukan akumulasi dana haji. Akumulasi dana haji inilah yang jika mengendap di rekening bank tidak memberikan banyak nilai manfaat untuk umat. Oleh karena itu, potensi pengelolaan dana haji yang profesional akan memberi nilai manfaat yang dikembalikan ke para jamaah sendiri berupa pelayanan ibadah haji yang lebih berkualitas.

Realitas itu mendorong pemerintah untuk menerbitkan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Haji. Kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden No 110 Tahun 2017 tentang Badan Pengelola Keuangan Haji dan Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU No 34 tahun 2014. Tujuan utamanya yakni meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, meningkatkan rasionalitas efisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) serta meningkatkan manfaat bagi kemaslahatan umat islam.

BPKH baru terbentuk dengan Perpres 110/2017 sehingga di tahun yang sama isu miring tentang pengelolaan dana haji pertama kali muncul sebagaimana penjelasan saya di atas. Pada tahun 2019, isu ini mulai ramai dibahas lagi setelah tahun sebelumnya BPKH berhasil meletakkan pondasi kelembagaan dan bekerja sama dengan berbagai stakeholders untuk sinkronisasi program. Selain itu, hal yang paling mencolok karena tahun 2019 ada kontestasi politik nasional pemilihan presiden langsung. Sedangkan di tahun 2021 Pemerintah Arab Saudi melarang penyelenggaraan haji selama dua tahun efek pandemi corona.

Framing negatif atas pengelolaan dana haji bisa diredam jika semua pihak terlibat aktif dalam menjelaskannya ke publik. Sebagai netizen yang peduli siklus kesehatan medsos, peran kita dibutuhkan untuk menyebarkan inspirasi dan kebaikan. Bukankah jempol netizen lebih cepat daripada cahaya?

Ayo lawan framing yang cenderung fitnah!

#BPKHWritingCompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image