Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image setya windiarti

Bullying di Era Digital: Studi Kasus Yurika dan Dampaknya

Edukasi | 2024-05-30 18:28:03
https://media.istockphoto.com/id/1369689362/photo/asian-teenage-boy-sitting-at-stair-covering-his-face-with-hands-face-down-holding-smartphone.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=K0QR5L5F1kpj9a4zxf3o72FB-YQQ3jHfE9Ku9QzKfJo=" />
https://media.istockphoto.com/id/1369689362/photo/asian-teenage-boy-sitting-at-stair-covering-his-face-with-hands-face-down-holding-smartphone.jpg?s=612x612&w=0&k=20&c=K0QR5L5F1kpj9a4zxf3o72FB-YQQ3jHfE9Ku9QzKfJo=

Bullying kini menjadi istilah yang akrab di telinga masyarakat Indonesia. Berasal dari kata "bull" dalam bahasa Inggris, yang berarti banteng, bullying menggambarkan perilaku agresif yang menakut-nakuti dan menyerang pihak yang lebih lemah. Dalam bahasa Indonesia, kata "bully" merujuk pada penggertak atau orang yang suka mengganggu orang lain yang lebih lemah.

Menurut Ken Rigby, bullying adalah tindakan yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain, dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat, dan dilakukan berulang kali dengan perasaan senang. Bullying mencakup kekerasan baik secara psikologis maupun fisik, di mana pelaku merasa memiliki kekuasaan dan kendali atas korbannya, sementara korban merasa tidak berdaya dan selalu terancam. Fenomena ini menciptakan dinamika kekuasaan yang merusak, di mana pelaku mempersepsikan diri sebagai pihak yang dominan dan superior, sedangkan korban merasa terintimidasi dan terbelenggu oleh rasa takut.

Dampak Bullying Secara Umum

Bullying dapat memiliki berbagai dampak yang serius dan berkepanjangan terhadap korban, baik dari segi psikologis, emosional, sosial, maupun akademis. Dampak ini dapat berlangsung jauh setelah perilaku bullying berhenti, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan korban.

Korban bullying sering kali mengalami berbagai gangguan psikologis dan emosional. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics oleh Gini dan Pozzoli (2009), anak-anak yang dibully lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Mereka sering merasa tidak berharga dan takut, yang dapat menyebabkan gangguan kecemasan sosial. Selain itu, dampak emosional ini bisa berlanjut hingga dewasa, mempengaruhi kemampuan mereka untuk membentuk hubungan interpersonal yang sehat.

Secara sosial, korban bullying sering kali mengalami isolasi. Mereka mungkin merasa malu atau takut untuk berinteraksi dengan teman sebaya, yang dapat mengarah pada perasaan kesepian dan isolasi sosial. Studi yang diterbitkan oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa anak-anak yang dibully cenderung memiliki kesulitan dalam membentuk dan menjaga hubungan pertemanan (Hawker & Boulton, 2000). Isolasi sosial ini dapat memperburuk perasaan depresi dan kecemasan, menciptakan lingkaran setan yang sulit untuk dihentikan.

Bullying juga berdampak negatif pada prestasi akademis korban. Mereka sering merasa tidak aman di lingkungan sekolah, yang dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi mereka untuk belajar. Penelitian oleh Glew et al. (2005) dalam jurnal Journal of Pediatrics menemukan bahwa anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki kecenderungan untuk prestasi akademis yang lebih rendah, lebih sering bolos sekolah, dan mengalami kesulitan belajar. Rasa takut dan stres yang dialami di sekolah dapat menyebabkan penurunan signifikan dalam kinerja akademis.

Selain dampak psikologis dan sosial, bullying juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik korban. Stres yang berkepanjangan akibat bullying dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti sakit kepala, masalah pencernaan, dan gangguan tidur. Studi dalam Journal of Adolescent Health oleh Wolke dan Lereya (2015) menunjukkan bahwa korban bullying cenderung memiliki lebih banyak keluhan fisik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dibully, yang menunjukkan adanya hubungan antara stres psikologis dan kesehatan fisik.

Dampak bullying tidak berhenti saat perilaku bullying berakhir. Banyak korban membawa luka psikologis dan emosional ini ke masa dewasa. Menurut penelitian dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) Psychiatry oleh Copeland et al. (2013), orang dewasa yang pernah menjadi korban bullying di masa kanak-kanak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Mereka juga cenderung memiliki kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan dan hubungan interpersonal yang sehat.

Kisah Yurika

Salah satu contoh yang mencuat baru-baru ini adalah kisah seorang anak perempuan bernama Yurika, yang menjadi viral di TikTok karena pengakuannya sebagai korban bullying di sekolah. Yurika adalah seorang siswi kelas 1 Sekolah Dasar (SD) yang setiap hari berjualan tisu untuk membantu orang tuanya. Video tentang Yurika menjadi viral setelah diunggah oleh akun TikTok @yoenik.apparel. Dalam video tersebut, Yurika menceritakan bagaimana ia sering dibully oleh teman-temannya di sekolah. "Aku di sekolah sering dibenci sama teman-teman dan di-bully," kata Yurika. Ia juga menambahkan bahwa teman-temannya sering mengejeknya dengan kata-kata kasar seperti "Yurika mah bau tai". Ejekan ini tidak hanya menyakiti perasaan Yurika tetapi juga menunjukkan betapa kejamnya perilaku bullying yang ia hadapi sehari-hari.

Meskipun Yurika telah melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya, sayangnya laporannya tidak mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini menunjukkan bahwa masalah bullying sering kali tidak ditangani dengan baik oleh pihak sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua siswa. Kurangnya respons dari pihak sekolah menyoroti perlunya tindakan lebih tegas dan responsif dalam menangani kasus bullying untuk melindungi anak-anak dari dampak psikologis yang merusak. Viralitas video ini juga menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat terhadap dampak bullying dan bagaimana media sosial dapat berperan dalam menyebarkan informasi serta mendukung korban.

Namun, ketika sebuah cerita menjadi viral, reaksi publik bisa sangat beragam. Di satu sisi, banyak orang yang menunjukkan simpati dan dukungan moral, yang dapat menguatkan korban dan meningkatkan kesadaran tentang isu bullying. Namun, di sisi lain, ada juga yang memanfaatkan situasi tragis tersebut untuk hiburan semata. Dalam kasus Yurika, beberapa pengguna TikTok dengan tidak bertanggung jawab membuat parodi dari kisahnya, menciptakan remix DJ, dan menggunakan cerita tersebut sebagai soundtrack untuk video mereka. Tindakan ini tidak hanya merendahkan pengalaman traumatis Yurika tetapi juga memperparah penderitaannya. Alih-alih memberikan dukungan, perilaku semacam ini menambah beban psikologis korban, menunjukkan kurangnya empati dan kesadaran sosial di kalangan pengguna media sosial.

Yang lebih mengkhawatirkan, tindakan tersebut mencerminkan sebuah budaya di mana kesedihan dan penderitaan orang lain dijadikan bahan hiburan. Fenomena ini tidak hanya memperburuk kondisi Yurika tetapi juga dapat menimbulkan ketakutan bagi korban-korban bullying lainnya untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Mereka mungkin takut bahwa cerita mereka juga akan dijadikan bahan olokan, yang pada akhirnya menghalangi mereka untuk mencari bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana korban bullying merasa semakin terisolasi dan tidak berdaya, sehingga memperkuat dampak negatif dari bullying itu sendiri.

Viralitas yang tidak terkendali dan kurangnya tanggung jawab dari pengguna media sosial dapat merusak tujuan positif dari penyebaran cerita seperti ini. Alih-alih membangun komunitas yang suportif dan penuh empati, perilaku tersebut malah mendorong budaya yang menikmati penderitaan orang lain.

Sebagai penutup, kisah Yurika dan fenomena bullying yang ia alami mengingatkan kita akan pentingnya peran setiap individu dalam menciptakan lingkungan yang aman dan penuh empati. Bullying tidak hanya meninggalkan luka psikologis yang mendalam tetapi juga dapat memperburuk kondisi korban melalui eksploitasi di media sosial. Respons yang tidak pantas dari publik, seperti menjadikan penderitaan korban sebagai bahan hiburan, hanya akan menambah beban psikologis dan menakut-nakuti korban lain untuk berbicara. Kasus Yurika menunjukkan bahwa dukungan moral dari masyarakat sangat penting, namun lebih dari itu, kita membutuhkan tindakan nyata dan sistematis untuk menangani bullying di sekolah-sekolah serta lingkungan sekitar.

Untuk menciptakan perubahan positif, semua pihak harus bekerja sama, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk mengidentifikasi, menangani, dan mencegah bullying. Sekolah harus memperkuat kebijakan anti-bullying dan memberikan pelatihan kepada guru dan staf tentang cara menangani insiden bullying secara efektif. Keluarga harus mendukung anak-anak mereka dan menciptakan ruang di mana mereka merasa aman untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Di era digital ini, kita juga harus menggunakan media sosial secara bijak, menyebarkan pesan dukungan, dan menghindari tindakan yang mengeksploitasi penderitaan orang lain. Dengan meningkatkan kesadaran dan empati, kita dapat membangun komunitas yang lebih suportif dan mengurangi dampak negatif bullying, sehingga setiap anak dapat merasa aman, dihargai, dan didukung dalam lingkungannya.

Referensi:

Amnda, V., Wulandari, S., Syah, S. N., Restari, Y. A., Atikah, S., dkk. (2020). Bentuk dan Dampak Perilaku Bullying terhadap Peserta Didik. Jurnal Kepemimpinan dan Pengurusan Sekolah. Vol 5, No 1, 19-32.

Copeland, W. E., Wolke, D., Angold, A., & Costello, E. J. (2013). Adult psychiatric outcomes of bullying and being bullied by peers in childhood and adolescence. JAMA Psychiatry, 70(4), 419-426. http://dx.doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2013.504

Darmayanti, H. (2019). Bullying di Sekolah: Pengertian, Dampak, Pembagian dan Cara Menanggulanginya. Pedagogia, Vol 17, No 1, https://doi.org/10.17509/pdgia.v17i1.13980

Gini, G., & Pozzoli, T. (2009). Association between bullying and psychosomatic problems: A meta-analysis. Pediatrics, 123(3), 1059-1065. http://dx.doi.org/10.1542/peds.2008-1215

Glew, G. M., Fan, M. Y., Katon, W., Rivara, F. P., & Kernic, M. A. (2005). Bullying, psychosocial adjustment, and academic performance in elementary school. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 159(11), 1026-1031. http://dx.doi.org/10.1001/archpedi.159.11.1026

Hawker, D. S. J., & Boulton, M. J. (2000). Twenty years’ research on peer victimization and psychosocial maladjustment: A meta-analytic review of cross-sectional studies. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 41(4), 441-455. http://dx.doi.org/10.1111/1469-7610.00629

Hidajat, M., Adam, A. R., danaparamita, M., & Suhendrik, S. (2015). Dampak Media Sosial dalam Cyber Bullying. Binus Journal Publishing, Vol 6, No 1, 72-81. https://doi.org/10.21512/comtech.v6i1.2289

Makarin, F. R. (2023). Bullying. https://www.halodoc.com/kesehatan/bullying

Tyas, E. (2024, April 26). Viral di Tiktok! Bocah Ngaku Dibully Bau Tai Oleh Teman di Sekolah, Terkuak Kisah Hidupnya yang Menyayat Hati. https://pop.grid.id/read/304073209/viral-di-tiktok-bocah-ngaku-dibully-bau-tai-oleh-teman-di-sekolah-terkuak-kisah-hidupnya-yang-menyayat-hati?page=all

Wolke, D., & Lereya, S. T. (2015). Long-term effects of bullying. Archives of Disease in Childhood, 100(9), 879-885. http://dx.doi.org/10.1136/archdischild-2014-306667

Zakiyah, E. Z., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Remaja dalam Melakukan Bullying. Jurnal Penelitian dan PPM, Vol 4, No 2, 129-389.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image