Pendidikan Karakter dan Masa Depan Indonesia
Eduaksi | 2022-06-13 11:21:02Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan tidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda ketika masih anak-anak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagiaan dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Perubahan sosial membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja. Pertimbangannya adalah pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.
Masa remaja diawali dengan masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sisitem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan memengaruhi organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh.
Remaja dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni, maka beresiko mengalami gangguan kepribadian. Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli, antara lain:
a. Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce).
b. Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah.
c. Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik.
d. Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).
Hal paling berbahaya dari kegagalan keluarga membina anak jelang remaja adalah salah pergaulan. Salah satunya terpengaruh bahaya narkotika yang kebanyakan diawali dengan salah memilih teman. Data dari badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkapkan bahwa pengguna narkotika di Indonesia dalam satu dekade terakhir mencapai kurang lebih 4 juta orang dan 22 persen diantaranya merupakan anak muda yang masih duduk di sekolah menengah dan universitas.
Selain narkoba, seks bebas juga menjadi ancaman. Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pernah melansir tingginya tren peningkatan aborsi. Setiap tahun peristiwa aborsi meningkat 15 persen. Riset yang dilakukan sepuluh tahun terakhir menunjukkan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Sebanyak 800 ribu diantaranya terjadi di kalangan remaja. Tingginya aborsi diiringi dengan peningkatan seks pranikah.
Pendidikan karakter bisa menjadi solusi menghadapi labilnya perkembangan jiwa dan emosi remaja. Pendidikan karakter berkaitan erat dengan kecerdasan emosional berpengaruh sangat kuat dalam keberhasilan belajar. Ia juga menegaskan bahwa faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah bukan karena kecerdasan intelektual, melainkan pada karakter seperti rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berempati, dan kemampuan berkomunikasi.
Pendidikan karakter ini fokus pada sikap yang dimiliki seseorang yang menjadi suatu ciri khas seseorang yang terbentuk dengan sendirinya, kemudian dipengaruhi oleh lingkungan sekitar atau orang-orang di sekitarnya. Secara realitis dan utuh, karakter dapat dipahami sebagai kondisi rohaniah yang belum selesai. Ia bisa diubah dan dikembangkan mutunya, tetapi bisa pula diterlantarkan sehingga tak ada peningkatan mutu atau bahkan makin terpuruk.
Pakar pendidikan Thomas Lickona mengatakan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior ". Statemen Thomas Lickona tersebut menunjukkan bahwa karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations).
Pendidikan karakter merupakan salah satu dari sekian paradigma pendidikan di Indonesia, yang semakin ramai diperbincangkan, baik melalui tulisan artikel, buku, atau seminar. Karakter menjadi suatu praktek pendidikan yang bisa mengupayakan adanya perubahan dalam masyarakat yang lebih baik. Kemunculan pendidikan karakter dilatarbelakangi oleh konstruksi filosofis yakni pengalaman individu, waktu pendidikan, lingkungan yang mempengaruhinya maupun perspektif pengajarnya.
Pendidikan karakter melalui sekolah tidak bisa dilakukan hanya melalui pembelajaran pengetahuan saja, tetapi juga melalui penanaman nilai-nilai baik menyangkut etika maupun estetika, sebab sekolah bukan hanya bertanggung jawab dalam melahirkan peserta didik yang unggul dalam pengetahuan dan teknologi semata, tetapi juga dalam karakter dan kepribadian.
Negara pun bertanggungjawab agar masa depan bangsa, yang notabene ada pada generasi muda saat ini, mendapatkan porsi pendidikan karakter yang optimal. Dengan begitu, pengelolaan dan penyelenggaraan negara akan lebih baik lagi di masa depan. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.