Polusi Udara di Kota Surabaya, Apakah Bersahabat atau Bermusuhan dengan Pandemi ?
Eduaksi | 2022-06-10 17:12:13Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, tepatnya setelah Ibukota Jakarta. Sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur, laju pertumbuhan penduduk di Kota Surabaya terus bergerak secara dinamis dari tahun ke tahun. Data pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surabaya menunjukkan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2021 selalu terjadi kenaikan jumlah penduduk.
Meningkatnya penduduk di Kota Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor terbesarnya adalah faktor urbanisasi. Kota Surabaya menjadi pusat kegiatan perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal tersebut mendorong masyarakat luar daerah memilih berpindah ke Kota Surabaya. Tidak hanya kegiatan ekonomi, Kota Surabaya juga didominasi dengan aktivitas dalam bidang pendidikan.
Jumlah penduduk yang terus bertambah menimbulkan dampak yang nyata di Kota Surabaya. Dampak tersebut dapat terlihat dar terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, sedangkan masyarakat yang perekonomiannya di bawah standar masih ramai melakukan pembangunan pemukiman di jalur tanah kanan dan kiri sungai atau rel kereta.
Pemukiman di area bantaran tersebut pada akhirnya akan berkembang menjadi pemukiman kumuh karena kebersihan lingkungannya tidak terjaga. Di sisi lain, bertambahnya jumlah penduduk di Kota Surabaya juga mengakibatkan terjadinya mobilitas warga yang terus mengalami peningkatan. Terlebih tujuan masyarakat urbanisasi untuk tinggal di Surabaya adalah karena kepentingan ekonomi dan pendidikan. Jalanan di Kota Surabaya selalu dipadati dengan hilir mudik kendaraan bermotor, baik oleh mahasiswa atau pelajar maupun masyarakat yang melakukan aktivitas ekonomi melalui berbagai usaha.
Kondisi tersebut menciptakan permasalahan baru bagi Kota Surabaya, yaitu meningkatnya polusi udara. Seperti yang telah kita ketahui bahwa kondisi Kota Surabaya tidak pernah lepas dari padat merayapnya kendaraan bermotor. Hal tersebut tentunya akan menjadi penyumbang polusi yang besar, ditambah dengan industri yang ada di Kota Surabaya ini. Kondisi kendaraan yang sudah tidak layak pakai atau terlalu tua juga menjadi penyumbang emisi karbon dioksida, meski telah dilakukan uji emisi kendaraan bermotor secara rutin di Kota Surabaya, tetapi faktanya masih ada kendaraan yang tidak lolos uji emisi dan masih beroperasi.
Keberadaan tanaman hijau dinilai sudah tidak mampu untuk menanggulangi polusi kendaraan. Pepohonan yang sengaja ditanam di sepanjang jalan perkotaan, menunjukkan indikasinya berupa warna yang menghitam karena terlalu banyak menyerap karbon dioksida. Menurut data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) pada tahun 2019, kualitas udara di Kota Surabaya masuk dalam kategori sedang. Hal tersebut berarti bahwa kualitas udara di Kota Surabaya sudah tidak lagi bersih sehingga dapat mempengaruhi tanaman yang sensitif dan bukan manusia ataupun hewan. Namun, status sedang tersebut perlu diwaspadai mengingat penggunaan kendaraan bermotor di Kota Surabaya yang kian meningkat. Kota Surabaya juga sempat diduga memiliki potensi menjadi kota dengan kualitas udara yang buruk ketiga di Asia setelah Kota Bangkok dan Kota Jakarta. Potensi ini tentu dapat dimiliki mengingat Kota Surabaya adalah kota metropolitan kedua setelah Jakarta.
Pada tahun 2020, kualitas udara di Kota Surabaya sudah mulai membaik. Udara di Kota Surabaya dinilai lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya. Namun, kondisi tersebut belum bisa dikatakan sebagai kabar yang menggembirakan. Faktanya, penurunan polusi udara di Kota Surabaya bukan murni karena keberhasilan dalam menanggulangi, tetapi terjadi karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, tidak terkecuali Kota Surabaya, mengakibatkan pembatasan interaksi masyarakat. Kebijakan bekerja dan belajar dari rumah juga sangat berpengaruh terhadap penggunaan kendaraan bermotor. Tidak hanya perusahaan yang mempekerjakan karyawannya dari rumah atau instansi pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara daring, tetapi tempat-tempat umum juga banyak yang operasinya dibatasi, bahkan ditutup. Contohnya adalah tempat-tempat wisata yang ditutup total serta tempat penjualan makanan yang hanya diperbolehkan beroperasi di jam tertentu dengan sistem drive thru. Berbagai lembaga pelayanan masyarakat umum juga sempat mengalami hambatan karena perubahan sistem kerja. Operasi kendaraan yang menurun drastis tersebut tentu saja memberi pengaruh yang sangat besar dan terlihat bagi kesehatan udara di Kota Surabaya.
Namun, pada pertengahan tahun 2021, kulitas udara di Kota Surabaya kembali menurun, bahkan berpotensi menjadi yang terburuk di Indonesia. Pasalnya, pada waktu tersebut sudah tidak diberlakukan kebijakan pemerintah yaitu PSBB. Masyarakat mulai diperbolehkan untuk beraktivitas dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Akses kendaraan juga telah dibuka. Kondisi demikian, menyebabkan emisi karbon dioksida kembali melambung tinggi. Hasilnya kondisi udara di Kota Surabaya kembali seperti sebelum terjadinya pandemi COVID-19.
Apakah pandemi COVID-19 benar-benar menjadi musuh ataukah sahabat bagi kesehatan Kota Surabaya? Di satu sisi, pandemi COVID-19 merenggut korban jiwa yang sangat banyak. Namun, di sisi lain ‘penjara’ akibat COVID-19 mampu memberikan kesehatan lingkungan di Kota Surabaya, bahkan di berbagai penjuru dunia. Di tengah ribuan manusia yang menangis akibat pandemi COVID-19, Kota Surabaya seolah tersenyum dan bersyukur karena kembali membaiknya kualitas udara Kota Surabaya. Secara tidak sadar, Kota Surabaya dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu kesehatan masyarakat ataukah lingkungannya. Namun, perlu diingat bahwa kesehatan lingkungan yang buruk lambat laun akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Ketika udara sudah tercemar, masyarakat akan dihadapkan dengan ancaman kesehatan saluran pernapasan. Jika demikian, Kota Surabaya menjadi Kota yang tidak sehat, baik lingkungan maupun masyarakatnya. Maka dari itu, Kota Surabaya perlu penanganan atau strategi khusus untuk menangani masalah udara, baik secara preventif maupun represif mengingat pepohonan Kota Surabaya yang sudah mulai menghitam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.