Haiku dan Kesederhanaan
Sastra | 2021-10-11 13:46:13" Begini banyak gigitan kutu,â
tapi pada kulit gadis manis ituâ
bekasnya malah jadi indah" - Kobayashi Issa (terj. Ahmad Yulden Erwin)â
Seharusnya kita banyak belajar dari "haiku". Ya, model sajak asal Jepang yang terdiri dari 5-7-5 suku kata ini melambangkan kesederhanaan tapi tetap dengan kedalaman. Sebuah warisan kata-kata yang memantulkan keheningan.â
Haiku banyak merepresentasikan sebuah ekspresi kepada alam dan kejadian sederhana dalam kehidupan. Namun siapa sangka kata-kata pendek yang sederhana ini selalu punya ruang bagi pembacanya untuk berdiam. Di hadapan haiku kita dipaksa berhenti dan barangkali, meditasi.â
Salah satu penulis Haiku legendaris yakni Matsuo Basho pernah suatu kali menuliskan dalam memoar perjalanannya yang ditulis tahun 1687 berjudul "oi no kobumi". Dalam tulisan yang berisi pemikirannya tentang alam dan puisi ini ia berkata: â
" ini sesuatu yang disebut "roh yang tersapu angin" (wind-swept spirit), ia melanjutkan, "karena itu seperti tirai tipis yang robek dan tersapu oleh angin sepoi-sepoi."â
Ada yang halus namun mampu merobek. Ada sesuatu yang bisa disingkap dibalik, "guguran kembang magnolia", "capung di kelopak bunga", "angsa yang merenggangkan lehernya", dsb. Ada banyak kejadian alam yang kita lewatkan dan tak pernah kita sadari kedalaman maknanya.â
Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini kita dipaksa berjalan acuh dan berlomba-lomba. Tak pernah ada kesempatan memandang bunga, memperhatikan kupu-kupu terbang, meniup puting sari, bahkan memandang awan cerah di pagi hari. â
Kita kehilangan apa yang sebenarnya ada di sekitar kita.â
Saat manusia terputus koneksinya dengan alam maka terjadilah apa yang bisa kita lihat sebagai bencana. Kita tak lagi memandang suci alam dan tak peduli juga pada kehidupan kecil yang ada di balik daun atau di dalam tanah. Kita merasa berkuasa atas segala kehidupan. â
Ini berbahaya dikala ego dan keinginan menguasai manusia. Dalam salah satu kisah, Basho mengingatkan muridnya yang kehilangan kontrol sebab marah dengan cara yang sangat elegan dan perlu direnungkan. Ia menggengam lembut tangan murid tersebut seraya berkata, "ini bukan puisi, ini bukan puisi!"â
Berulang kali manusia diingatkan dengan bala dan waba. Namun seringkali juga ia lupa. Memang sangat berbahaya hidup tanpa ada waktu untuk diam dan berfikir. Untuk memperhatikan apa yang selalu kita anggap remah dan remeh.
Untuk menulis haiku dan puisi.â
Maka haiku adalah semacam jembatan gantung bagi kita menyberangi kesederhanaan dan menuju kedalaman. Mari mengambil makna dari tujuh belas suku kata tentang hujan atau kucing tidur, tentang salju atau katak danau. â
Mari memperkaya kesederhanaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.