Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nenden Wulansari

Sapa Guru Menguatkan Jiwa Anak Bangsa

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 23:59 WIB

Kondisi pandemi yang berkepanjangan pada akhirnya membawa banyak dampak terhadap kehidupan bangsa kita, khususnya dunia pendidikan. Sejak terbitnya Permendikbud Nomor 719 Tahun 2020 mengenai pedoman pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus, maka sistem pembelajaran selama masa pandemi disesuaikan dalam rangka mencegah penyebaran virus covid 19. Bisa dibilang inilah titik dimana guru pada akhirnya mau tidak mau harus berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk bertahan di tengah kondisi yang terbatas.

Sejak berlakunya permendikbud yang dikeluarkan oleh Nadiem Makarim tersebut, mulailah dunia pendidikan dikenalkan dengan istilah BDR atau Belajar Dari Rumah. Beberapa kalangan ada yang menyebutnya dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), Study From Home (SFH), belajar online, belajar daring dan lain sebagainya. Intinya, proses pembelajaran dilakukan tanpa tatap muka langsung dan dilaksanakan melalui media daring dengan pemanfaatan gadget dari rumah. Bisa dibayangkan bagaimana “kagetnya” para pelaku dunia pendidikan dengan sistem pembelajaran seperti ini. Mereka harus mempersiapkan kegiatan belajar mengajar yang dapat diterima dengan baik melalui beragam platform yang terjangkau oleh siswa.

Pada dasarnya dalam proses belajar mengajar, seorang guru perlu memperhatikan perkembangan beragam aspek dari para siswanya. Benjamin S Bloom membagi tiga aspek atau domain yang perlu diperhatikan dalam proses belajar yaitu aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui tiga kekuatan (trisakti) manusia yaitu cipta (pikiran), rasa (hati) dan karsa (kemauan). Pertanyaannya adalah, mampukah para guru tetap memperhatikan perkembangan ketiga aspek tersebut selama pembelajaran daring di masa pandemi?

Dengan terbatasnya ruang gerak dan hilangnya kontak langsung dengan siswa, aspek afektif menjadi hal yang paling menantang bagi para guru. Bagaimana caranya membuat siswa tetap merasa termotivasi, merasakan makna dan terlibat secara emosi dengan guru dan juga teman-temannya. Hal ini yang seringkali banyak dilupakan oleh para guru selama masa pandemi. Akhirnya kisah klasik tentang siswa yang stress karena tugas dan curhatan siswa yang mengatakan bosan dengan belajar online pun semakin bertebaran. Kelas online menjadi tidak bermakna dan siswa pun semakin merasa tertekan karenanya.

Membangun kelas yang bermakna berawal dari guru yang mampu mengemas komunikasi yang efektif terhadap siswa-siswinya. Seperti halnya pembelajaran di masa normal, komunikasi yang dibangun dengan siswa selama masa pandemi ini tentunya juga membutuhkan strategi yang lebih akurat. Sangat penting bagi guru memilah dan mengeluarkan kalimat “ajaib” yang dapat membius dan pada akhirnya menghadirkan kebermaknaan kepada para siswa. Setidaknya ada 5 kalimat sapaan yang dapat diterapkan oleh para guru untuk menghadirkan kelas yang bermakna dan menguatkan jiwa siswa.

Pertama, “Halo, bagaimana kabar kalian hari ini?”. Kalimat menanyakan kabar seperti ini terdengar sepele, tapi cukup bermakna bagi siswa. Apalagi jika siswa ditanya kabarnya satu persatu. Menanyakan kabar menjadi sinyal kepada para siswa bahwa guruku memperhatikanku. Rasa diperhatikan bisa menjadi bahan bakar untuk para siswa agar semangat menjalani satu bahkan dua jam pelajaran ke depan.

Kedua, “Ibu percaya sama kamu!”. Dalam masa Belajar Dari Rumah, guru tidak seratus persen mendampingi siswa saat belajar di jam sekolah. Hal ini tentunya menuntut kesadaran dan tanggung jawab siswa pribadi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dengan menyatakan kepercayaan kepada para siswa, secara tidak langsung guru menyampaikan bahwa kehadirannya adalah untuk mendukung segala potensi dan kemampuan unik siswa.

Ketiga, “Kalau ada kendala, bilang ibu ya!”. Banyak faktor seorang siswa tidak hadir dan jarang mengumpulkan tugas dalam pembelajaran online. Masalah-masalah seperti kuota internet, gangguan sinyal, kesehatan diri dan keluarga, serta sulitnya siswa memahami pelajaran bisa jadi menghambat siswa selama proses Belajar Dari Rumah. Dan ingat, mereka adalah siswa dengan tahap perkembangan yang masih harus dibimbing dalam memecahkan sebuah masalah. Dengan kalimat ini siswa akan merasa sang guru adalah sosok yang terbuka dan siap membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.

Keempat, “Maaf ya, ini kesalahan Ibu. Nanti akan diperbaiki”. Tidak ada manusia yang sempurna, begitu pun seorang guru. Tidak jarang seorang guru melakukan kesalahan selama proses belajar mengajar baik luring maupun daring. Dengan mengatakan hal ini, seorang siswa belajar untuk menjadi manusia seutuhnya. Siswa menjadi lebih merasa aman dengan segala kekurangan dan kesalahan yang mereka perbuat. Kata maaf dapat menjadi jembatan kuat untuk membangun kedekatan dengan siswa.

Kelima, “Wah kamu, hebat! Salut ibu sama kamu”. Kalimat apresiasi mampu menenangkan dan memacu motivasi siswa dalam belajar. Penghargaan terhadap kemajuan siswa sekecil apa pun, dapat menjadi pemantik semangat yang membekas dalam jiwa. Meskipun tidak bertatap muka secara langsung, kalimat pujian guru terhadap kemampuan siswa tetap mampu membakar semangat belajar mereka.

Tentunya yang tidak kalah penting dari kelima kalimat sapaan tadi adalah hati yang tulus. Penting bagi para guru untuk menyampaikan semua hal kepada siswa dengan hati yang jujur, terbuka, dan apa adanya. Apa yang datang dari hati, akan melandas sempurna di hati. Tidak ada yang mampu menghalangi ketulusan seorang guru dalam menghadirkan kebermaknaan dalam belajar. Jarak boleh berjauhan, internet boleh menghadirkan beragam ilmu pengetahuan. Tetapi ketulusan seorang guru tetap tidak akan tergantikan. Sebuah sapa guru mampu menguatkan jiwa anak bangsa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image