RUANG SANTAI TANPA GAWAI
Guru Menulis | 2021-10-10 22:39:31Dimulainya pembelajaran tatap muka terbatas pada beberapa daerah dan sekolah memberikan harapan dan angin segar untuk perbaikan pendidikan para siswa. Semua menyambut gembira dan penuh semangat. Pembelajaran tatap muka terbatas mengurai kerinduan siswa untuk kembali merasakan dunia sekolah. Walaupun model pembelajaran terbatas ini mau tidak mau tetap harus menggunakan gawai pada separoh jatah pembelajaran yang bisa dilakukan.
Blended learning, hybrid learning dan model lainnya tetap menuntut gawai sebagai alat yang menjadi prioritas. Karena pandemi terbukti mampu memaksa dunia pendidikan lebih cepat dalam beradaptasi terhadap kemajuan dan penggunaan teknologi informasi. Tidak mungkin jika kemajuan yang diperoleh ini akan ditinggalkan untuk kembali pada dunia pembelajaran konvensional. Walaupun sisi positif pemakaian gawai ini juga menyisakan beberapa sisi negatif yang menjadi kekhawatiran banyak pihak.
PTMT menkondisikan anak tetap akan terus terkoneksi dengan gawai dengan durasi yang tetap lama.
Sementara kemarin, sepanjang gempuran sebaran virus Covid-19 selama hampir dua tahun, ada jutaan anak-anak gen-Z dan juga gen-Alpha yang terlahir dari para milenial, yang juga semakin sulit dan terjepit. Hingar bingar, celoteh, candaan juga kehebohan mereka di setiap sudut sekolah atau kampung terasa sunyi. Keceriaan dan hari-hari yang seharusnya dilalui bersama teman-teman sebaya harus hilang dalam kurun waktu yang tidak sebentar, hampir dua tahun mereka terkungkung dirumah. Terlihat santai berteman dengan gawai.
Menguatnya kekhawatiran orangtua terhadap lamanya pemakaian gawai pada anak tidaklah berlebihan. Berbagai studi menyatakan bahwa penggunaan gawai pada anak dan remaja lebih dari 3 jam sehari menyebabkan mereka rentan kecanduan gawai. Sementara durasi pemakaian gawai memang menjadi lebih lama pada saat pandemi ini. Bukan hanya untuk belajar dan bersekolah daring, gawai juga dibutuhkan oleh anak untuk bertemu dan berinteraksi dengan teman-temannya. Artinya hari-hari mereka akan terus terkoneksi dengan layar datar yang selalu bersinar ini. Jika berlebihan tentu saja hal itu menambah kekhawatiran pada kondisi fisik dan psikis anak. Apalagi pada orangtua disibukkan mengejar cukupnya kebutuhan, ada anak-anak yang pasti akan nirkontrol dalam pemakaian gawai, tanpa batasan waktu dan penyaringan konten-konten yang diakses. Durasi pemakaian gawai memang menjadi harus jauh lebih lama pada saat pandemi. Bukan hanya untuk belajar dan bersekolah online, gawai juga dibutuhkan oleh anak untuk bertemu dan berinteraksi dengan teman-temannya. Artinya hari-hari mereka akan terus terkoneksi pada gawai. Jika berlebihan tentu saja hal itu menambah kekhawatiran pada konsisi fisik dan psikis anak.
Menjaga anak dari adiksi internet menjadi sebuah hal darurat yang harus dilaksanakan. Anak perlu diistirahatkan untuk mendapatkan ruang santai tanpa gawai, komputer, dan tablet, juga media social (detoks digital), supaya didapatkan kembali kesegaran dan bahkan suasana baru bagi mereka. Karena manfaat dari aktifitas detoks digital ini diantaranya mampu mengurangi stres, stimulasi berlebihan, dan perilaku kompulsif terkait dengan penggunaan teknologi.
Faisal dalam bukunya Generasi Kembali ke Akar (2019) menuliskan beberapa fakta bahwa âdetoks dunia digitalâ berhasil mengembalikan produktifitas, berinteraksi dengan lebih banyak orang, menemukan keasyikan dalam berbagai permainan lawas dan ada juga yang berhasil kembali menemukan nikmatnya membaca buku. Mengurangi cerita pribadi di ranah publik dan tidak tergantung pada gawai akan mengembalikan koneksi dengan hal-hal baru yang lama tak lagi tersentuh dalam keseharian.
Detoks digital perlu serentak dilakukan, misalnya dalam satu hari saja, pasti tidak ada alasan anak untuk harus bersentuhan dengan benda ajaib ini. Satu kali dua puluh empat jam tanpa gawai pasti berat jika dilakukan sendiri. Karena anak merasa jauh tertinggal dengan anak lain yang bersahut-sahutan di dunia cyber. Going offline berjamaah akan terasa lebih ringan. Lalu apa yang harus dilakukan tanpa gawai? Banyak sekali tentu saja.
Bagi anak-anak yang menempuh pendidikan model pesantren atau asrama tentu hal tersebut sudah bisa dikondisikan dengan sistem yang ada, juga barangkali tidak sulit untuk anak-anak yang tinggal di daerah-daerah pedesaan untuk menemukan keasyikan tanpa gawai. Mereka bisa turun ke sawah, kebun, atau sungai untuk membantu orangtua ataupun beraktifitas positif lainnya dengan kondisi tanpa khawatir berkerumun dan mendapatkan kesegaran alam. Namun bagi anak-anak kota hal ini memang menjadi masalah berat. Dimana ruang-ruang publik untuk bermain atau sekedar melepas lelah terkungkung di dalam rumah semakin sempit, atau bahkan hilang sama-sekali. Disinilah pentingnya arahan, program ataupun kerjasama dari sekolah, lingkungan, atau dari orang dewasa di sekitar mereka.
Menghidupkan kembali permainan jaman dulu, berkebun, membuat karya seni atau aktifitas lain mungkin bisa menjadi pilihan. Ada berbagai permainan yang menguatkan sensor motorik, kolaborasi, adu strategi, Kerjasama dalam tim, kekeluargaan dan lain-lain. Semisal dakon, kelereng,, bekel, halma, ular tangga, monopoli, kartu, dan masih banyak lagi beberapa permainan yang bisa dilakukan dengan tetap mengedepankan protokol Kesehatan. Jika dampaknya bagus dan menyamankan, tentu perlu ada upaya-upaya lanjutan yang harus dilakukan. Bahkan dalam sekup keluarga, bisa disepakati dan secara berkala kapan akan ada waktu untuk going offline lagi. Bukan cuma mereka, sepertinya asik juga jika kita yang dewasa pun ikut serta!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
