Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faiza Oktafiana

Hak Asasi Manusia (HAM) dan Perspektif Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Eduaksi | Saturday, 04 Jun 2022, 21:02 WIB

Kekerasan seksual merupakan segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yg dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya. Kekerasan seksual meliputi penggunaan atau pelibatan anak secara komersial pada aktivitas seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat pada aktivitas seksual, pelibatan anak dalam media audiovisual serta pelacuran anak. Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja serta kapan saja serta bisa menimpa siapa saja. Anak - anak merupakan salah satu kelompok rentan sebagai korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk kekerasan seksual fisik, tetapi bisa berupa pelecehan yang berkonteks seksual melalui media sosial serta internet.

Pengurangan risiko kekerasan seksual dapat dilakukan melalui pendidikan ketrampilan dan pengetahuan mengenai seksualitas. Kemampuan perlindungan diri pada anak dapat mengurangi risiko anak menjadi korban kekerasan seksual (WHO, 2017). Masa usia dini sering dikatakan sebagai masa keemasan atau The Golden Age Moment. Usia 0 hingga 8 tahun ialah masa di mana anak memiliki kemampuan penyerapan informasi yang sangat pesat. Kepesatan kemampuan otak anak dalam menyerap berbagai informasi di sekitarnya pula diiringi menggunakan rasa ingin tahu yg sangat tinggi. Rasa ingin tahu yg sangat tinggi ditunjukkan anak menggunakan aktif bertanya perihal banyak sekali hal yang mereka temui, serta mencari memahami aneka macam jawaban yang mereka inginkan menggunakan bereksplorasi. Salah satu rasa ingin tahu yang sangat tinggi di anak usia dini adalah berkaitan dengan seks. Anak dibawah usia 8 tahun masih belum dapat membedakan informasi yang mengandung unsur seksual berasal media umum dan kenyataan. Pendidikan kognitif mengenai seksualitas sangat penting buat diberikan di anak usia ini buat dapat mencegah anak salah mendapatkan informasi melalui media.

Kekerasan seksual memang bukan artinya hal yang baru ditelinga warga terlebih pada saat ini kekerasan seksual tidak hanya ditujukan kepada orang yang sudah dewasa melainkan pula di anak-anak. Karena kejahatan seksual yang terjadi bukan hanya terjadi dilingkungan perkantoran, lingkungan pelacuran, atau kawasan yg memungkinkan orang berlainan jenis saling berinteraksi tetapi juga dilingkungan keluarga serta bahkan di lingkungan sekolah. Pelaku pemerkosaan yang tidak menderita kelainan tadi namun melakukan pemerkosaan umumnya lebih dilatar belakangi oleh rasa berkuasa asal pelaku terhadap korbanya, karena anak-anak diklaim lemah serta tidak berdaya sebagai akibatnya sangat mudah diancam, simpel dikelabui, dirayu serta disebut tidak akan buka ekspresi kepada orang lain sehingga aksinya tidak akan terbongkar. Anak-anak yg sebagai korban meliputi anak laki – laki maupun perempuan, walaupun dewasa ini orang lebih mengenal bahwa korban pelecehan seksual lazimnya ialah wanita namun pada fenomena pada pada masyarakat korbannya juga berjenis kelamin laki - laki, dengan demikian kedudukan korban pemerkosaan antara laki - laki dan perempuan adalah sama.

Korban pelecehan seksual baik laki-laki atau perempuan tentunya sangat menderita baik secara fisik, psikis/emosional dan juga sosial, bagi orang dewasa yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual sering kali meninggalkan dampak-dampak buruk seperti depresi, trauma, cacat fisik, bahkan juga cemoohan dari masyrakat. Orang dewasa yang dinilai sudah memiliki pemikiran yang matang saja belum tentu dapat melewati keadaan menjadi korban pelecehan seksual, apalagi anak-anak yang dinilai belum dewasa.

Perempuan di dalam Islam harus dimuliakan dan dijaga martabat dan kehormatannya. Islam melarang segala bentuk kekerasan dan penindasan, termasuk kejahatan seks. Allah SWT berfirman,

“ Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi.” (QS. An-Nur: 33).

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memang semakin memeberikan perlindungan bagi anak, undang-undang yang lama hanya diancam dengan pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), sedangkan dalam undang-undang yang baru diubah dengan ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal sebanyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Yang lebih khusus dalam undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Tindakan pelecehan seksual pada anak biasanya dilakukan dengan menggunakan kekerasan, ancaman, suap, tipu daya atau tekanan. Kegiatan seksual kasar tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dan anak. Kegiatan Kasar dapat berupa memamerkan organ intim (eksibisionisme) atau melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana (voyeurisme), seperti seorang anak yang menonton orang dewasa menanggalkan pakaiannya atau mendorong atau memaksa anak-anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual dengan satu sama lain, sementara pelaku mengamati atau merekam kegiatan tersebut. Pelecehan seksual pada anak bukan hanya sekedar seorang laki-laki dewasa melecehkan secara seksual seorang anak perempuan, melainkan laki-laki dewasa terhadap anak laki-laki, perempuan dewasa terhadap anak perempuan dan atau anak laki-laki. Pelecehan seksual terhadap laki-laki atau biasa disebut male rape.

Oleh:

Dr. Ira Alia Maerani, S. H., M.H.

Faiza Oktafiana Dika Saputri ( Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Islam Sultan Agung Semarang )

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image