Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salsa Indramaharani

Krisis Iklim Sudah di Depan Mata

Politik | Saturday, 04 Jun 2022, 15:19 WIB

Indonesia berada di tengah multikrisis. Dimulai dari pandemi, krisis ekonomi dan krisis iklim, akan tetapi para pemangku kebijakan terus gagal memberikan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Di sisi lain seringkali kita mendengar bahwa banyak hal yang terpaksa dikorbankan untuk kepentingan "nasional". Dari ekonomi "nasional" yang terpaksa diprioritaskan di masa pandemi ketimbang kesehatan, sampai proyek strategis "nasional" yang diprioritaskan meski meningkatkan emisi gas rumah kaca, merusak ekosistem penyerapan karbon dan mengorbankan masyarakat setempat yang tinggal di area area tersebut.

Kita tengah menerima janji-janji dan solusi palsu perubahan iklim. Konon Indonesia disebut hutan terbesar ketiga di dunia dan jadi paru-paru dunia, tapi justru paru-paru nya dirusak oleh oligarki dengan membangun cerobong asap dan pembangunan berdalih ‘investasi’. Krisis Iklim berdampaknya ke berbagai sektor, termasuk petani menjadi yang dirugikan bahkan bisa menyebabkan gagal panen karena perubahan iklim.

Sains menyatakan bahwa tidak bisa dipungkiri lagi bahwa krisis iklim memang hasil dari aktivitas manusia yang berlebih melalui eksploitasi alam yang masif, terstruktur dan sistematis. Tapi kenyataan tidak semua manusia memiliki porsi kontribusi yang sama.

71% dari semua emisi gas rumah kaca di bumi hanya dihasilkan oleh 100 perusahaan, dan mereka lah yang selama ini terus berkampanye besar besaran untuk mendorong konsumerisme di muka bumi. Dalam kasus Indonesia, lebih dari 80% emisi kita dikarenakan sektor energi dan sektor hutan dan lahan. Di sektor energi, para oligarki memastikan penggunaan batubara terus meningkat dan PLTU batubara pun masih terus dibangun meski listrik kita sudah kelebihan 40-60%. Dalam kasus sektor hutan dan lahan, perampasan lahan masyarakat terus terjadi bahkan melalui kriminalisasi masyarakat itu sendiri untuk dijadikan pembangunan milik oligarki di sektor ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan monokultur, infrastruktur dan properti.

Dengan dalih "pertumbuhan ekonomi" yang nyatanya untuk segelintir, industri industri ini malah menghancurkan ekonomi masyarakat sekitar dan juga merusak alam yang tidak hanya mengeluarkan emisi tapi menghilangkan area penyerapan karbon yang sangat dibutuhkan di masa krisis iklim.

Di sisi lain, banyak masyarakat di Indonesia yang jejak karbon pribadinya sangat kecil yang tinggal di pedesaan maupun masyarakat adat, tapi menjadi korban pertama dampak krisis iklim melalui bencana yang melanda.

Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam aliansi perlawanan iklim di berbagai daerah menuntut pemerintah untuk bersikap tegas menangani krisis iklim. Cukup sudah janji dan solusi palsu dari pemerintah karena ternyata pemerintah membuat regulasi yang hanya memudahkan oligarki mengeksploitasi sumber daya alam, mengancam lingkungan, dan mengundang bencana.

Tujuan 2045 Indonesia Emas akan menjadi sia-sia jika krisis iklim akan menenggelamkan kita semua. Negara harus didudukan kembali pada peran dan fungsinya untuk melindungi seluruh warga negara. Bukan sebaliknya yang menjadikan masyarakat sebagai korban ekologis di negerinya sendiri.

Krisis iklim adalah masalah keadilan. Memang kita semua bisa ambil peran dalam memerangi krisis iklim karena situasinya sudah sangat parah, tapi tidak boleh kita lupakan bahwa krisis iklim adalah masalah sistematis yang tidak akan bisa dihentikan jika kejahatan sistematisnya tidak dihentikan. Mari kita bersatu agar bisa lekas terbentuknya suatu balai masyarakat yang adil dan berdaulat, terlepas dari kuasa oligarki yang bisa merumuskan perubahan kebijakan yang kita butuhkan untuk benar benar keluar dari krisis iklim.

Maka dari itu penting sekali untuk adanya pendeklarasian darurat iklim dari tingkat tertinggi negara yang akan menjadi mandat bagi semua lapisan masyarakat untuk mengupayakan apapun yang diperlukan untuk memitigasi dan menghentikan apapun yang memperburuk situasi, termasuk semua ketidakbijakan pemerintah sekarang yang malah memperburuk situasi krisis iklim sekarang. Pendeklarasian ini perlu disertai dengan penyebarluasan fakta tentang krisis iklim, penyebabnya, serta dampaknya melalui media massa dan lembaga pendidikan. Bagaimana masyarakat maupun pelaku usaha bisa membantu, serta rencana dan dukungan penuh dari pemerintah untuk melaksanakan semua itu. Kita tidak punya waktu lagi, karena diam berarti tenggelam. Mari kita satukan suara, mengajak semua orang yang kita kenal untuk melakukan hal yang sama agar Indonesia bisa lebih sigap dalam menangani krisis yang sedang kita alami ini.

Referensi:

Shierine Wangsa Wibawa. (2017). 71 Persen Gas Rumah Kaca Global Ternyata Berasal dari 100 Produsen.sains.kompas.com.https://sains.kompas.com/read/2017/07/12/080800823/71

Diakses pada : 28/11/2021Winda Agustina Rahayu. (2018). GETARAN GELOMBANG DAN OPTIK. https://www.academia.edu/37868336/Polarisasi_Cahaya_pdf Diakses pada: 23/11/2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image