Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ocehan Zea

Covid-19 Melanda, Pendidik dipaksa Buka Mata

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 08:00 WIB

“Banyak anak yang tidak mencapai KKM.”

“Nak, cepat kerjakan tugasmu! Nanti kamu enggak dapat nilai.”

“Bu, aku cape. Aku enggak paham materinya.”

Pendidik dan peserta didik Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda 1 Pondok Aren sedang melaksanakan simulasi pembelajaran tatap muka terbatas (08/09).

Pendidikan merupakan salah satu aspek krusial di kehidupan bangsa, yang bisa memberikan dampak jangka panjang bagi negara. Bangsa maju karena sistem pendidikan yang sudah mampu memenuhi kebutuhan negara tersebut. Pendidik sebagai poros pergerakan pendidikan memiliki standar kompetensi yang perlu dicapai, supaya bisa menghantarkan pendidikan pada standar kelulusan (SKL). Abuddin Nata (Pengembangan Profesi Keguruan dalam Perspektif Islam, 2018) mengungkapkan bahwa ada 4 kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik; kepribadian; sosial; dan profesional. Namun aspek krusial ini mendapat pergolakan, khususnya di Indonesia yang ‘baru mau’ mendapat kaki yang tepat untuk berdiri, setelah sekian lama tertidur. Maka dari itu perlu ada penambahan kompetensi yang menyesuaikan kebutuhan pembelajaran di masa pandemi, yaitu kompetensi teknologi.

Kasus Covid-19 menjadi satu-satunya pecut yang mampu melucuti para pelaksana pendidikan, dari tingkat nasional hingga tingkat satuan pendidikan. Grafik kasus Covid-19 yang dinamis, menjadi faktor utama di setiap perubahan sistem pendidikan. Bahkan virus yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, bisa melahirkan perang batin antar warga satuan pendidikan, baik kepala sekolah; tenaga kependidikan; pendidik; peserta didik; hingga wali peserta didik.

Peserta didik mengeluh atas kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang mencekik, karena materi yang terasa sulit. Wali peserta didik yang melaporkan keresahan atas pertikaian antar keluarga karena anak yang sulit diajak belajar. Pendidik yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan digital untuk pembelajaran dan tuntutan dari berbagai pihak tentang pencapaian pembelajaran. Tenaga kependidikan yang tidak mampu untuk menjadi fasilitator pembelajaran virtual setiap saat. Serta kepala sekolah yang tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan pembelajaran selama pandemi di bawah perekonomian yang minim.

Pergolakan batin antar warga satuan pendidikan meningkatkan stres pada diri pendidik; peserta didik; dan wali peserta didik, yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim bisa melahirkan loss generation. Lokadata mengungkapkan hasil survei anak putus sekolah yang dilakukan oleh Dana Anak PBB (UNICEF) pada Desember tahun 2020, bahwa ada satu persen atau sekitar 938 anak putus sekolah karena pandemi di Indonesia dari total anak putus sekolah pada tahun pelajaran 2019/2020. Data ini diperkuat oleh Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, bahwa sudah lebih dari 150 anak yang putus sekolah karena alasan kerja dan nikah, sejak awal pandemi hingga Februari 2021.

Data putus sekolah tersebut bukan hanya berasal dari anak yang tinggal di daerah terdepan; terpencil; dan tertinggal (3T), akan tetapi juga daerah yang sudah dijangkau oleh internet. Bahkan lebih banyak anak yang putus sekolah tidak secara administratif, akan tetapi jiwa belajarnya sudah mati dan memilih abai pada pembelajaran. Mereka menjadi korban perekonomian keluarga yang terdampak Covid-19, serta keterbatasan kemampuan pendidik dalam pemanfaatan digital dan inovasi pedagogik, khususnya dalam pengembangan media pembelajaran.

Keadaan pandemi semakin menunjukkan posisi menyimpang para pendidik dari maknanya. Pendidik sudah bukan sosok yang mendidik, seperti tertera pada KBBI Kemdikbud. Sosok yang melatih dan memeilihara akhlak serta kecerdasan kognisi. Karena pada kenyataannya, anak mengalami cognition learning loss dan gangguan psikososial, seperti ungkapan Nadiem Makarim di rapat kerja komisi X DRP RI, Senin (23/08).

Ungkapan keluh kesah seperti “Banyak anak yang tidak mencapai KKM,” “Ah, materi masih banyak yang belum,” “Anak-anak susah paham materinya loh,” “Toh, kita enggak mesti mencapai semua KD,” sudah sering terucap dari para pendidik. Segala celah untuk tetap melanjutkan pembelajaran tanpa perubahan diungkapkan sebagai penghibur. Sadar ataupun tidak, ungkapan ini menunjukkan bahwa pendidik mengakui keterbatasan pedagogik. Terlebih pandemi membatasi pendidik untuk berkomunikasi secara langsung dengan peserta didik, yang menyadarkan pendidik atas kekurangannya di sektor pemanfaatan teknologi, sebagai pengganti komunikasi langsung.

Tidak semua pendidik mengalami hal ini, akan tetapi tidak sedikit pula pendidik yang mengeluhkan kesulitan pengajaran di masa pandemi. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud mengungkapkan sebuah survei di laman Kemendikbudristek, bahwa ada 53.55% pendidik mengalami kesulitan dalam pengelolaan pembelajaran jarak jauh (PJJ); 49.24% pendidik terhambat dalam asesmen PJJ; dan 48.45% pendidik mengalami gagap teknologi.

Kemendikbudristek mengupayakan berbagai solusi pembelajaran yang menyesuaikan dinamika perkembangan Covid-19. Nadiem Makarim merangkum seluruh upaya pemerintah sejak awal pandemi hingga tanggal 5 Oktober 2021 dalam pidato peringatan Hari Guru Sedunia (05/10), berupa relaksasi dana BOS sehingga bisa dialokasikan untuk membayar guru honorer; bantuan tenaga upah untuk pendidik dan tenaga kependidikan non-PNS; memberikan opsi bagi guru untuk menerapkan kurikulum darurat (Kudar); membagi modul pembelajaran khusus untuk daerah 3T; mengembangkan platform guru belajar dan berbagi; serta mengadakan seleksi ASN-PPPK; hingga PTM Terbatas.

Pemerintah juga mengadakan program Guru Belajar dalam kurun waktu 1 hingga 19 Desember 2020. Program lanjutan berupa laman pembinaan dan pelatihan dari Direktorat Kursus dan Pelatihan, yang menampilkan fitur pelatihan bagi pendidik yang beragam. Pendidik bisa memilih pelatihan sesuai kebutuhan. Sayangnya, upaya pemerintah tidak sampai pada semua satuan pendidikan, terlebih pendidik. Banyak pendidik yang tidak mendapat informasi mengenai upaya pemerintah dan mereka juga tidak mengetahui ada laman pembinaan dan pelatihan yang bisa diakses secara gratis.

Kenyataan ini bukan karena pendidik yang tidak membutuhkan, tetapi keterbatasan penggunaan teknologi dan media sosial. Sehingga upaya apapun yang dilakukan, jika tidak disosialisasikan dan dilatih secara langsung, maka tidak akan merubah pembelajaran. PJJ hanya terfokus pada pemberian lembar kerja (worksheet). PTM Terbatas hanya menerapkan metode ceramah.

Kita seperti mengalami teleportasi ke pembelajaran masa lalu, tetapi mengalami sedikit kemunduran, karena keterbatasan komunikasi. Pendidikan sebagai roda kehidupan berhenti, karena pendidik sebagai poros roda mengalami gangguan. Data dan kenyataan di lapangan yang dialami hampir seluruh satuan pendidikan, terutama satuan pendidikan yang berada di perekonomian standar ke bawah, semestinya sudah cukup menjadi alasan perlu adanya revisi kompetensi pendidik.

Pelaksana pendidikan di Indonesia bisa menutup mata dan telinga, dengan menikmati keadaan pembelajaran apa adanya, karena belum merasakan dampak dari ketertinggalan model pembelajaran. Akan tetapi Covid-19 membuka paksa mata dan telinga pelaksana pendidikan di Indonesia, serta menunjukkan betapa jauh kita tertinggal dari bangsa lain. Hal ini menunjukkan hikmah pandemi Covid-19, yang memaksa pelaksana pendidikan di Indonesia untuk berlari mengejar ketertinggalan.

Kompetensi teknologi sudah tidak relevan menjadi cabang kemampuan dari kompetensi profesional. Kompetensi teknologi perlu berdiri menjadi kompetensi tambahan, yang mencakup berbagai cabang kemampuan, seperti penggunaan gadget; pemanfaatan media sosial; pengaplikasian aplikasi pertemuan virtual seperti Zoom dan Google Meeting; serta pengaplikasian Microsoft untuk merekap asesmen pembelajaran anak. Sehingga upaya pemerintah bisa berbanding lurus dengan kemampuan pendidik yang melaksanakan solusi pendidikan di lapangan, agar bisa memberikan perkembangan positif pada pembelajaran di masa pandemic Covid-19.

#GuruHebatBangsaKuat

#TantanganKompetensiGurudiMasaPandemi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image