Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Pemahaman Literasi Makanan, Makan Bukan Hanya Sekedar Gaya dan Kenyang

Agama | 2022-06-04 06:51:38

Kebutuhan pangan utama manusia adalah makanan. Orang bekerja siang malam, banting tulang, intinya karena ingin memenuhi kebutuhan makanan. Setelah kebutuhan makanan terpenuhi, barulah ia beralih kepada kebutuhan lainnya.

Dari sudut pandang agama, makanan menjadi salah satu indikator kesempurnaan keimanan dan ketaatan terhadap ajaran agama. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membuktikan keseriusannya melaksanakan ajaran Islam dengan berbagi makanan.

Seseorang dianggap sebagai pendusta agama manakala ia enggan berbagai makanan dengan orang-orang miskin dan anak yatim (Q. S. al Ma’un : 103). Seseorang menjadi penghuni neraka Saqar karena selain tidak melaksanakan ibadah shalat, juga karena tidak mau berbagi makanan dengan orang-orang miskin (Q. S. al Mudatsir : 42 - 44).

“Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedang tetangganya kelaparan, padahal orang tersebut (yang dapat tidur nyenyak) mengetahuinya” (H. R. Bukhari).

Dari sudut pandang fiqih, makan merupakan perbuatan yang bernilai ibadah. Malah dalam waktu tertentu, makan boleh didahulukan daripada melaksanakan ibadah shalat.

“Apabila makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam tersebut daripada shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dari makan kalian” (H. R. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits nomor 672, dan H. R. Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 557).

Ajaran Islam telah menjadikan makanan bagian dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam kita tidak boleh asal makan, selain harus memperhatikan halal dan haramnya, juga harus memperhatikan tata kramanya.

Berdo’a sebelum makan merupakan suatu perbuatan yang tak boleh dilupakan. Keberkahan makanan yang kita konsumsi berawal dari doa yang kita ucapkan ketika mulai makan.

Berdoa dengan menyebut nama Allah sebelum makan merupakan permohonan agar kita diberi keberkahan dari makanan dan menjadikan kegiatan makan kita sebagai suatu perbuatan yang dapat menjauhkan diri dari azab neraka.

Namun demikian, kita terkadang melupakan memohon keberkahan dari makanan yang kita konsumsi. Dengan dalih hukumnya sunat, doa sebelum dan sesudah makan kita lewatkan begitu saja. Padahal, tidak akan merugi orang-orang yang selalu berdoa sebelum dan sesudah makan.

Perbuatan lainnya yang harus kita perhatikan adalah tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan. Tidak terlalu sedikit, juga tidak sampai kekenyangan. Rasulullah saw menganjurkan agar membagi perut kita menjadi tiga bagian, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga untuk udara.

Kemaruk dalam mengkonsumsi suatu makanan bukanlah perbuatan yang baik. Beragam penyakit yang timbul pada saat ini, pada umumnya berawal dari makanan yang kita konsumsi dan sikap kita dalam mengkonsumsinya.

Ajaran Islam sangat menekankan agar kita menarik manfaat dan keberkahan dari makanan. Selain tidak kemaruk, mengukur kadar kebutuhan akan makanan pun menjadi bagian dari upaya menarik keberkahan dari makanan.

“Timbanglah makananmu, kamu akan diberi keberkahan” (H. R. Bukhari, Nashir bin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Juda’i, at-Tabaruk, ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal. 304, Penerbit : Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh-Saudi Arabia).

Hadits tersebut mengajarkan agar kita mengkonsumsi makanan sesuai kebutuhan. Ajaran Islam melarang kita menyia-nyiakan makanan. Hal lainnya yang harus kita lakukan adalah tidak mencela makanan. Salah satu indikator mencela makanan adalah mengambil makanan, kemudian kita membiarkannya, tidak memakannya, bahkan membuangnya begitu saja.

Perilaku yang kurang dirasakan sebagai perbuatan dosa adalah membuang makanan yang masih layak dikonsumsi. Kebanyakan dari kita pun jarang merasakan berdosa ketika kita mengambil makanan dan tidak menghabiskannya.

Dalam setiap tumpukan sampah yang kita temukan, pasti ada sampah sisa-sisa makanan, dan tak sedikit dari makanan yang dibuang tersebut adalah makanan yang masih layak dikonsumsi. Perayaan pesta atau kenduri, baik kenduri pernikahan, khitanan, maupun kenduri lainnya merupakan acara yang biasanya banyak membuang sisa makanan.

Dari tahun ke tahun, jumlah sampah makanan semakin banyak. Ironisnya di sekitar kita pun masih banyak orang yang kekurangan makanan, bahkan kelaparan. Untuk memperoleh sesuap nasi, mereka harus berpeluh keringat, “berperang” dengan debu jalanan dan asap kendaraan.

Kajian terhadap Food Loss and Waste (FLW)/sampah makanan dan makanan terbuang yang dilakukan Kementeriaan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), World Resources Institute (FLW), dan Waste4Change menemukan bahwa timbunan FLW di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2017, berdasarkan laporan Food Sustainability Index yang dikembangkan The Economist Intelligence Unit, negara kita tercatat sebagai pembuang makanan terbanyak kedua di dunia. Satu orang penduduk Indonesia, rata-rata membuang 300 kilogram sampah makanan setiap tahun.

Dalam setiap tahun, di seluruh Indonesia terdapat hampir 13 juta ton makanan yang terbuang. Jika dihitung rata-rata, jumlah 13 juta ton makanan tersebut dapat memberi makan sekitar 28 juta orang.

Jika diakumulasikan, dalam rentang waktu dari tahun 2000 – 2019 di negara kita ditemukan timbunan FLW/sampah makanan dan makanan terbuang berkisar 23 – 48 juta ton per tahun atau setara dengan 115-148 kg/kapita/tahun. Secara ekonomi, jika dikonversikan ke dalam uang jumlah FLW ini bisa mencapai Rp. 213 triliun – Rp. 551 triliun.

Padahal, jumlah makanan yang terbuang tersebut dapat memberi makan sebanyak 61 juta – 125 juta orang. Lebih jauh lagi, pembuangan sampah makanan ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup. Salah satu dampaknya adalah semakin meningkatnya kadar karbondioksida.

Penelitian lainnya mencatat, di negara-negara muslim, selama bulan Ramadhan, 15 -25 persen makanan yang dibeli atau dipersiapkan untuk keperluan buka puasa dan kebutuhan lainnya berakhir di tempat sampah, bahkan sebelum makanan tersebut dikonsumsi.

Sungguh ironis, di satu sisi masih banyak orang yang kelaparan, namun di sisi lain begitu banyak orang yang kemaruk dan membuang-buang makanan. Sikap rakus dan konsumtif untuk memenuhi kebutuhan makanan dan takut kekurangan menguasai jiwa, namun setelah makanan berhasil dikumpulkan, hanya dimakan seperlunya, dan sisanya menjadi bagian tong sampah.

Agar makanan kita berkah dan bermanfaat, sudah saatnya kita memahami literasi makanan. Artinya kita kembali menelaah konsep, fungsi, dan filosofi dari makanan. Apa yang kita makan harus bernilai, bukan saja bernilai gizi baik dan halal, namun juga harus berkah. Kita harus memahami nilai dari makanan yang kita kunyah. Di dalamnya terdapat nilai-nilai sosial-budaya, ekonomi, dan yang terpenting adalah nilai-nilai spiritual atau ibadah.

Salah satu berkah dari makanan adalah mengkonsumsi makanan secukupnya, tidak membuang makanan yang masih layak dikonsumsi, dan berbagi makanan dengan orang-orang yang membutuhkan. Dengan memahami literasi makanan, makanan apapun yang kita konsumsi, selama halal dan baik, makan secukupnya berasaskan ajaran Islam, serta mau berbagi dengan orang lain,

Dengan cara seperti itu maka makanan kita akan benar-benar berkah. Bermanfaat bagi diri kita dan orang lain, menyenangkan di dunia, dan menjadi penebus kesenangan di alam akhirat.

ilustrasi : membuang makanan (sumber gambar : https://sukabumiupdate.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image