SEJARAH TERBENTUKNYA BADAN PENGELOLA KEUANGAN HAJI (BPKH)
Lomba | 2021-10-09 23:28:41Badan Pengelola Keuangan Haji atau yang disingkat BPKH merupakan suatu lembaga yang dibentuk guna melakukan pengelolaan dibidang Keuangan Haji. Keuangan Haji sendiri yakni semua hak dan kewajiban pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pengelolaan Keuangan Haji berasaskan pada prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan dan akuntabel.[1] Adapun tujuan dari pengelolaan keuangan haji yaitu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
Pada awalnya sebelum BPKH dibentuk, pengelolaan dana haji dikelola langsung oleh Kementerian Agama. Hal ini termuat di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999. Pengelolaan dana haji merupakan tanggungjawab dengan cakupan yang sangat luas sehingga membuat tantangan baru bagi Kementerian Agama. Berbagai tantangan tersebut menjadikan pihak pengelola Dana Abadi Umat (DAU) diubah dari kementerian agama menjadi (BP DAU) dengan diawasi Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Kemudian, saat ini diperbarui kembali melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 yang memberikan wewenang yang lebih luas dalam investasi oleh BPKH melalui produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya dengan pengawasan KPHI.[2]
Pada tahun 2008 telah dilakukan amandemen Undang-Undang No 17 Tahun 1999 menjadi Undang-undang No 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Beberapa prinsip perubahan yang ditegaskan dalam undang-undang ini diantaranya:[3]
1. Dijelaskan azas penyelenggaraan ibadah haji, yaitu keadilan,profesional, akuntabel dengan prinsip nirlaba;
2. Dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) sebagai perbaikan regulator dan operator di tangan Pemerintah;
3. Hak dan kewajiban jamaah haji;
4. Mekanisme pengelolaan BPIH sejak perencanaan, pelaksana-an, pemeriksaan dan pelaporan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 juga mengganggap bahwa pengelolaan keuangan haji perlu untuk menyusun regulasi yang khusus. Adapun pertimbangannya sebagai berikut:[4]
1. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu sebagaimana yang diamanat kan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
2. Jumlah warga negara Indonesia yang mendaftar untuk menu-nai kan ibadah haji terus meningkat sedangkan kuota haji terbatas sehingga jumlah jamaah haji tunggu meningkat.
3. Peningkatan jumlah jamaah haji tunggu mengakibatkan BPKH Badan Pengelola Keuangan Haji terjadi nya penumpukan akumulasi dana haji.
4. Akumulasi dana haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung peyelenggaraan ibadah haji yang lebih ber-kua litas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan;
5. Untuk menjamin pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, trans paran, dan akuntabel memerlukan payung hukum yang kuat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan bahwa âakumulasi jumlah dana haji memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya yang dapat digunakan untuk mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitasâ.
BPKH memiliki tugas mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 menerangakan bahwa tugas dari BPKH adalah menyelenggarakan fungsi merencanakan, melaksanaan, mengendalian dan mengawasi, melakukan laporan dan bertanggung jawab atas penerimaan, Pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji.[5] Adapun tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH berwenang:
a. Menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat; dan
b. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji.
Diharapkan dengan didirikannya BPKH, diharapkan pengelolaan keuangan haji dapat lebih terpercaya dengan sistem keuangan yang transparan dan modern untuk meningkatkan rasionalitas serta efisiensi melalui investasi yang mempertimbangkan imbal hasil optimal berprinsip syariah guna meningkatkan kesejahteraan umat.
BPKH memiliki tugas mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 menerengakan bahwa tugas dari BPKH adalah menyelenggarakan fungsi merencankan, melaksanaan, mengendalian dan mengawasi, melakukan laporan dan bertanggung jawab atas penerimaan, Pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji.[6] Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH berwenang:
c. Menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat; dan
d. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji.
[1] Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014.
[2] Wikipedia, âBadan Pengelolaan Keuangan Hajiâ, dalam https:// id. wikipedia.org /wiki/ Badan_Pengelola_Keuangan_Hajiâ, diakses pada tanggal 24 September 2021.
[3] Bidang Investasi BPKH, Apa & Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH Edisi 2, (Jakarta: T.P, T.T), 21
[4] Ibid., 22.
[5] Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014.
[6] Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.