Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Supadilah

Guru Makan Gaji Buta?

Guru Menulis | Saturday, 09 Oct 2021, 11:16 WIB

Sedang mengantre di bank, secara tidak sengaja saya menangkap obrolan orang tua. Mereka mengeluhkan susahnya mendampingi anak belajar dari rumah. Daring yang bikin pusing. Jika sebelum pandemi urusan pendidikan diserahkan kepada guru atau sekolah, saat pandemi orang tua terlibat dalam belajar anak.

Dalam percakapan itu, orang tua juga mengeluh karena tetap membayar SPP secara penuh tapi anak tidak belajar penuh. Jika sebelum pandemi anak belajar hingga sore, saat pandemi hanya sampai siang. Itu pun dilakukan secara daring.

Mereka mengeluh anaknya banyak tugas. Banyak guru yang lebih suka memberikan tugas tanpa memberikan penjelasan kepada siswa. Guru dianggap mengajar lebih singkat, lebih ringan pekerjaannya. Mereka menganggap atau menuduh guru makan gaji buta.

Dua orang tua itu dengan tanpa beban mengobrol. Mereka tidak tahu di dekatnya ada seorang guru. Saya juga tidak mengenal mereka. Mungkin yang mereka maksud, terjadinya di sekolah swasta. Sebab sekolah negeri kan gratis.

Namun, tidak menutup kemungkinan tuduhan itu terjadi juga di sekolah negeri. Ini pula yang yang ramai dibicarakan di grup media sosial. Termasuk di grup WhatsApp guru-guru. Ada guru yang bilang sakit hati karena ada orang tua yang menganggap guru makan gaji buta.

Sekolah libur, tapi orang tua tetap bayar. Atau sekolahnya sebentar, orang tua penuh membayar. Kalau di sekolah negeri yang gratis, jarang orang tua yang protes. Walaupun tetap saja ada yang bilang guru makan gaji buta karena mereka juga dibayar oleh negara.

Apa respon guru kalau dibilang makan gaji buta? Ada yang kesal dan marah. Kemudian bilang, “Ya sudah. Anaknya nggak usah disekolahkan saja. sekolah di rumah saja.” Ada yang menjawab, “Pekerjaan guru itu tidak mudah. Orang tua pasti merasakan saat mendampingi anaknya di rumah. Kok tega bilang makan gaji buta.”

Desain grafis oleh Supadilah

Ada yang menanggapi dengan santai, senyum, bahkan tertawa. Ada juga yang diam saja. ada yang menjadikan tuduhan sebagai bahan renungan atau refleksi bagi guru.

Apakah ada guru yang makan gaji buta? Dari jutaan guru di Indonesia tentu ada guru yang makan gaji buta. Manusia itu kan ada yang amanah dan ada yang tidak amanah.

Ada guru yang menjalankan perannya dengan baik. Namun, ada juga guru yang memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mendapatkan keuntungan pribadinya. Saya yakin lebih banyak guru yang tidak mau makan gaji buta.

Apa ukuran makan gaji buta? Seseorang dikatakan makan gaji buta kalau dia tidak bekerja sementara dia tetap menerima gaji. Dia tidak mau bekerja, tapi pengen gajinya utuh.

Padahal, kata Jalaludin Rumi seperti yang disebutkan Kang Maman bahwa menerima gaji tanpa bekerja adalah merupakan sebuah kejahatan.

Pandemi, Tugas Guru Semakin Berat

Mengajar di masa pandemi bisa semakin berat. Tantangannya lebih banyak dibanding pembelajaran tatap muka (PTM) di kelas. Persiapan mengajar daring lebih lama dan lebih sibuk daripada PTM.

Saat PTM satu mata pelajaran berdurasi 45 menit per jam pelajaran. Kalau 2 jam pelajaran durasi 90 menit. Guru bisa berhenti mengajar kalau bel istirahat atau pulang terdengar. Guru bahkan terbiasa mengajar

Guru mempersiapkan belajar daring bisa sehari atau dua hari. Apalagi kalau guru mengajar dengan membuat video pembelajaran. Persiapannya semakin berat. Guru menyiapkan naskah pembelajaran, merekam video, mengedit video, meng-unggahnya dan mengirimkannya ke siswa atau

Proses rekaman video pembelajaran (dok. pribadi)

Untuk belajar daring guru menggunakan zoom atau google meet. Kalau aplikasinya berbayar atau premium, durasinya bisa lama. Tapi harganya mahal. Banyak guru atau sekolah yang tak mampu beli. Akhirnya menggunakan akun yang gratis.

Akun gratis ini punya beberapa kekurangan. Durasi dan fasilitasnya terbatas. Sering zoom tiba-tiba tertutup saat sedang mengajar.

Mengajar daring itu butuh kuota internet yang besar. Padahal tidak setiap guru yang dapat bantuan kuota internet dari Kemendikbud. Sekali mengajar pakai zoom durasi dua jam bisa habis 1,5-2 GB.

Respon Guru

Alih-alih berdebat dengan anggapan guru makan gaji buta, guru harus mengintrospeksi diri. Sudahkah menjalankan amanah dengan baik. Apalagi kalau benar kita digaji oleh orang tua. Maka, amanah itu harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Daripada sibuk memasang alibi, lebih baik introspeksi diri.

Daripada sibuk mengklarifikasi, lebih baik lakukan perbaikan diri.

Anggap kritik dari orang tua sebagai pemacu untuk perbaikan diri. Toh, kalau diri kita semakin berkualitas, kita juga yang diuntungkan.

Orang tua sudah memenuhi tanggung jawabnya. Maka, kewajiban kita memberikan haknya yaitu agar anaknya mendapatkan pendidikan sebaik-baiknya.

Jika selama ini kita setengah hati mengajar saat pandemi, ada baiknya kita serius, fokus, dan sepenuh hati mengajar. Bukan hanya dalam rangka memenuhi hak orang tua tapi memberikan ilmu yang terbaik kepada siswa.

Ibarat tanaman, siswa harus disiram dengan ilmu agar dia tetap hidup dan berkembang. Mari pandang mereka sebagai sosok yang haus ilmu dari guru. Guru mesti berjuang memberikan pendidikan yang bermanfaat untuk mereka. Berusahalah agar mereka tersenyum dan bahagia saat belajar bersama kita.

Jika selama ini guru sering korupsi waktu, perlahan dibenahi agar guru menjadi sosok yang amanah. Guru menjadi teladan bagi siswanya. Kalau guru korupsi waktu, siswa pun kemungkinannya begitu. Mulailah komitmen dengan waktu.

Segera mengajar kalau sudah waktunya. Sudahi kalau waktunya sudah habis. Tapi kalau mau memberi waktu lebih, itu lebih baik. Ya, guru kadang tidak mengenal waktu. Bahkan memberikan waktu yang lebih lama dari jam sekolah. Mudah-mudahan pengorbanan guru menjadi tabungan pahala. Selamat menjadi guru yang dirindu siswa.

#GuruHebatBangsaKuat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image