Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Via Qinuri

Potret Dunia Pendidikan Selama Pandemi, Sudah Idealkah?

Guru Menulis | Saturday, 09 Oct 2021, 09:48 WIB

Sebagian anak-anak Indonesia tidak belajar dengan layak selama pandemi. Lalu, adanya potret dunia pendidikan yang demikian ini salah siapa?

Pandemi Covid-19 yang menelan banyak korban jiwa sejak awal kemunculannya, mau tidak mau memaksa semua orang untuk kembali dan tetap berada di rumah. Hal ini memberikan dampak yang besar dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Ketika virus ini mulai menyebar di Indonesia pada Maret 2020, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan surat edaran untuk pencegahan Covid-19 baik di lingkungan Kemendikbud, maupun di satuan pendidikan. Kegiatan sekolah menjadi sangat terbatas, tetapi tantangan tersebut harus dihadapi demi tetap berlangsungnya pendidikan di negeri ini. Akibatnya, proses pembelajaran mau tidak mau harus beralih dari pembelajaran tatap muka (PTM) menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Kita tidak memungkiri bahwa pembelajaran jarak jauh membawa nilai-nilai positif bagi dunia pendidikan, di antaranya adalah mempercepat transformasi pendidikan, dari yang awalnya tradisional menjadi akrab dengan teknologi. Aplikasi pendukung pembelajaran secara daring pun banyak bermunculan. Guru juga menjadi lebih kreatif dalam menyajikan pembelajaran. Selain itu, hubungan antara guru dan wali murid menjadi lebih dekat karena kedua belah pihak terlibat kolaborasi dalam pembelajaran anak-anak.

Namun, nilai-nilai positif yang dibawa oleh pembelajaran jarak jauh ini sayangnya tidak bisa dinikmati oleh sebagian anak-anak Indonesia. Hasil Survei Pelaksanaan Belajar dari Rumah pada Masa Covid-19 di Madrasah dan Sekolah oleh Balitbang Kemenag pada Mei 2020 lalu menunjukkan bahwa tiga kesulitan utama yang dihadapi siswa dalam pembelajaran jarak jauh adalah tidak terbiasa belajar di luar kelas (33%), sarana prasarana terbatas (28%), dan keterbatasan pembiayaan (27%). Sisanya adalah terbatasnya dukungan orang tua (3%) dan faktor lain (14%).

Grafik Kesulitan yang Paling Dihadapi (oleh siswa) dalam Pembelajaran dari Rumah Selama Covid-19 (Foto: tangkapan layar hasil survei Kemenag)

Hal ini juga selaras dengan hasil survei yang sama terhadap orang tua, bahwa kesulitan yang paling banyak dihadapi selama pembelajaran jarak jauh adalah sarana prasarana terbatas (35%), keterbatasan pembiayaan (21%), tidak terbiasa mendampingi anak belajar di rumah (17%) dan faktor lain (27%).

Grafik Kesulitan yang Paling Dihadapi (oleh orang tua) dalam Pembelajaran dari Rumah Selama Covid-19 (Foto: tangkapan layar hasil survei Kemenag)

Jika melihat latar belakang responden dari survei tersebut, maka sangat relevan jika sarana prasarana dan pembiayaan yang terbatas menjadi kesulitan utama. Hal tersebut disebabkan karena mayoritas penghasilan orang tua kurang dari 3 juta rupiah (63%). Dengan latar belakang demikian, tentu menyediakan fasilitas yang memadai untuk pembelajaran anak-anak di rumah menjadi tantangan tersendiri. Apalagi jika kebetulan jumlah anak lebih dari satu dan harus belajar di waktu yang bersamaan. Jangankan menyediakan laptop, bisa jadi orang tua hanya mampu menyediakan satu ponsel untuk dipakai anak-anak secara bergantian. Ditambah lagi harga kuota internet juga cukup mahal.

Grafik Penghasilan Orang Tua (Foto: tangkapan layar hasil survei Kemenag)

Selain faktor kendala internal, faktor eksternal juga terpaksa dialami oleh anak-anak yang tinggal di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal). Mereka belum sampai tahap mengikuti pembelajaran daring sebab mengakses sinyal saja mereka kesulitan. Bahkan, Survei Belajar dari Rumah Tahun Ajaran 2020/2021 yang dilakukan oleh Kemendikbud pada Agustus 2020 menunjukkan bahwa 73,4% guru di daerah 3T menghadapi kendala karena jaringan internet yang kurang memadai. Jadi, meskipun kemudian pemerintah meluncurkan bantuan kuota belajar atau kuota Kemendikbud, hal itu tidak bisa digunakan oleh mereka.

Hambatan Guru selama Pembelajaran dari Rumah (Foto: tangkapan layar hasil survei Kemendikbud)

Lalu, apa akibatnya jika mereka terkendala mengikuti pembelajaran daring selama pandemi? Tentu saja anak-anak itu tidak belajar dengan maksimal. Ketika pembelajaran tatap muka saja, materi pelajaran masih bisa sulit dipahami, apalagi dalam pembelajaran daring. Lebih-lebih ketika mereka tidak mendapatkan bimbingan guru sama sekali. Mereka sama saja dengan tidak belajar apa-apa karena tidak semua anak mampu belajar dengan baik secara mandiri.

Hambatan Siswa selama Pembelajaran dari Rumah (Foto: tangkapan layar hasil survei Kemendikbud)

Hasil survei-survei di atas memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa dalam dunia pendidikan Indonesia masih banyak yang perlu dievaluasi dan ditingkatkan. Bukan hanya dari faktor internal seperti sarana prasarana dan pembiayaan yang harus disediakan orang tua, melainkan juga faktor eksternal seperti jaringan internet yang memadai sampai di seluruh penjuru negeri. Walaupun demikian, mudah-mudahan kendala-kendala tersebut tidak menyurutkan langkah guru untuk terus memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa. Keterbatasan ini jangan sampai dijadikan beban karena di situlah peran guru yang hebat diperlukan untuk membuat bangsa ini kuat.

Jadi, kalau selama pandemi sebagian anak-anak Indonesia tidak belajar dengan layak, yang salah siapa? Bukan salah siapa-siapa. Artinya, ini bukan waktunya menyalah-nyalahkan pihak tertentu. Pendidikan anak-anak di negeri ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Bukan hanya Pemerintah, Kemendikbud, dan Kemenag, melainkan juga guru, wali murid, dan seluruh rakyat sudah waktunya berkolaborasi dan bersinergi untuk masa depan anak Indonesia yang lebih baik. Semoga pandemi Covid-19 segera berlalu. Saatnya kita mengubah potret pendidikan Indonesia menjadi lebih maju.

#GuruHebatBangsaKuat #PotretDuniaPendidikanIndonesia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image