Kesetaraan Digital Gender di Era Tatap Layar
Guru Menulis | 2021-10-09 08:22:27âHak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dengan perempuan bukanlah berarti bahwa pekerjaan yang hanya bahu laki-laki yang kuat memikulnya perempun disuruh pula memikulnya.â â Hamka.
Ada fenomena menarik dari film-film horor di negeri ini. Jika kita eksplorasi melalui google akan muncul poster dengan mayoritas gambar seram sesosok perempuan sebagai figur utama. Jika dilihat dari judulnya tampak pula bahwa nama perempuan masih mendominasi; dari nama orang biasa sampai nama hantu ala kuntilanak, suster ngesot, suster keramas, sampai suster gepeng. Bahkan benda keramat seperti boneka pun tak luput berjenis kelamin perempuan. Dari alur cerita juga sudah bisa ditebak. Sosok perempuan menjadi pribadi teranianya, diteror, disakiti, dan akhirnya terbunuh hingga menjadi hantu gentanyangan. Kalau pun tidak sempat menjadi hantu, kisah perempuan yang ketakutan karena penindasan hantu selalu saja mendominasi alur cerita.
Inilah toksik patriaki. Meski tidak disadari, kita masih memiliki gender gap yang mengunggulkan kaum lelaki dalam segala hal dibanding perempuan. Kajian film di atas menjadi contoh nyata bagaimana kaum laki-laki menempatkan kaum perempuan. Mereka seolah diagungkan sebagai figur utama tapi sebenarnya ditempatkan pada sosok hantu penyebab masalah, sosok yang tersakiti atau sosok yang tereksploitasi secara seksual. Mereka ditempatkan pada pribadi lemah dan teraniaya dengan hidup yang selalu dibatasi.
Kesenjangan Gender Digital
Fenomena toksik patriaki tentu tidak muncul begitu saja. Fenomena ini muncul dari proses sosial yang panjang, bahkan lewat dunia pendidikan. Penelitian Charles dan Bradley (2009) di 44 negara dengan judul âIndulging Our Gendered Selves?â menemukan stereotip gender bahwa matematika, teknologi, dan komputer identik dengan maskulinitas. Penelitian Eccles (2011) âGendered Educational and Occupational Choicesâ juga mengamini bahwa kesukaan mempelajari matematika dan fisika pada anak perempuan lebih rendah daripada pelajar laki-laki. Jika anak laki-laki lebih kompeten dalam bidang olah raga, sebaliknya anak perempuan lebih kompeten di bidang bahasa.
Hasil penelitian tersebut tidak begitu mengejutkan karena tradisi keluarga yang mengenalkan anak laki-laki dengan aktivitas komputasi, olahraga, dan mainan yang cenderung berhubungan dengan teknologi. Sedangkan untuk anak perempuan berhubungan dengan kecantikan, kebiasaan membaca, interaksi sosial, dan pengasuhan. Habituasi gender ini merusak kepercayaan diri anak perempuan dalam dunia komputasi dan teknologi digital. Frekuensi penggunaan teknologi digital akan didominasi oleh anak laki-laki. Kalaupun anak perempuan tertarik dengan teknologi digital, mereka cenderung memanfaatkannya untuk membangun interaksi sosial dan ego-selfish.
Kesenjangan gender digital menimbulkan celah adanya perundungan. Hal ini muncul karena adanya penguasa media sosial digital yang berpeluang memarginalkan, bahkan menindas kaum lemah di media tersebut. Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus kekerasan berbasis gender siber yang mengalami peningkatan dari 241 kasus (tahun 2019) menjadi 940 kasus (tahun 2020). Broadband Search juga merilis laporan bahwa sebanyak 73% dari pelajar pernah merasakan perundungan selama hidup mereka.
Perundungan di dunia siber (cyberbullying) memberikan dampak negatif bagi anak, khususnya perempuan. Masih menurut Broadband Search, sekitar 41% anak yang mengalami perundungan siber menderita kecemasan sosial. Mereka akan cemas, apakah yang dilakukannya benar atau salah dan cocok atau tidak menurut orang lain. Ada 9% anak akan terjerumus dalam narkoba, 37% anak merasa depresi, dan 26% anak terbesit untuk melakukan bunuh diri. Dan itu semua terjadi melalui wahana digital di Instagram (42%), Facebook (37%), WhatsApp (12%), dan Twitter (9%).
Kesetaraan dalam Pembelajaran Daring
Sebagai orang beriman, kita tentu tidak jatuh terpuruk akibat pandemi COVID-19 ini. Pasti ada blessing in disguise! Pembelajaran daring akibat pandemi merupakan bukti adanya berkah lompatan digitalisasi edukasi. Kita tidak pernah membayangkan bahwa dunia pendidikan akan mengalami revolusi dari era tatap kertas menjadi tatap layar. Saat itu sekolah masih melarang siswa membawa handphone, saat ini secara tiba-tiba, mereka harus membawanya untuk belajar.
Saat ini komputasi digital dalam gadget bukan lagi barang langka. Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga Juni 2020, jumlah pengguna internet Indonesia ada 196,7 juta orang. Naik sebanyak 25,5 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis data bahwa proporsi perempuan yang menggunakan internet mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, yaitu 30,15% (tahun 2017), 37,49% (tahun 2018), dan 44,86% (tahun 2019). Fenomena ini menunjukkan semakin masifnya penetrasi teknologi digital di tengah masyarakat.
Pembelajaran daring di kala pandemi memberikan peluang efektivitas dalam menghapus digital gender gap. Pembelajaran daring sampai 7 jam per hari menjadikan teknologi digital tidak lagi mengenal sekat gender. Ada 2 cara yang bisa dilakukan dalam pembelajaran daring guna lebih membangun kesetaraan gender digital. Pertama, literasi digital sejak dini. Literasi digital bukan sekadar kompeten menggunakan perangkat digital. Literasi juga menyasar pada kemampuan memilih informasi valid dan etis. Dari kebiasaan berliterasi digital, diharapkan anak-anak perempuan tidak lagi menjadi objek eksploitasi di dunia maya. Kedua, membiasakan pembelajaran STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics). Model pembelajaran ini akan membongkar maskulinitas teknologi dan matematika, serta feminitas keindahan (Art). Berbagai fenomena alam merupakan situasi yang bisa didekati melalui STEAM sebagai satu kesatuan yang tidak berdiri terpisah. Akhirnya, semoga pandemi ini menjadi sarana pemantik kreativitas guru dalam menghapus jurang gender digital sehingga terbangun bangsa yang bersatu, kuat, dan tangguh.
#GuruHebatBangsaKuat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.