Hybrid Learning, Ujian Sertifikasi Guru Sebenarnya?
Guru Menulis | 2021-10-08 11:59:25Ah akhirnya malam ini, materi pembelajaran Google Classroom kelar, dan bersyukurlah internet masih baik-baik saja. Menghela nafas, saatnya rutinitas lain memeriksa grup-chatt WA anak murid yang mengular, untuk dibalas.
âBu, saya minta fotokan rangkuman materi pelajaran saja via WA ya?â Chatt seorang tua murid.
âSaya masih bingung, membuka Google classroom, bisa ditulis di kertas saja?â Sambung orang tua lainya, yang tidak hanya satu, tapi banyak.
Tersenyum, sambil mengerutkan dahiku, âBaik tunggu sebentar ya,â Balasku.
Bertanya sendiri, menjawabnya sendiri pula, âBagaimana sih idealnya guru mampu melayani pendidikan di masa Pandemi ini ya? Dimana kemendadakan Pandemi, mau tidak mau menciptakan pemakluman yang hakikiâ
Jujur, hampir setahun mengajar di sekolah negeri dan bertepatan suasana Pandemi memberikan sensasi tinggi, dibanding bertahun-tahun mengajar di sekolah swasta sebelumnya. Meski notabene berpredikat guru bersertifikasi diasumsikan adalah mahir segalanya?
Duh apakah saya terus menggunakan platform pembelajaran daring terkini, atau mundur âlagi- ke pembelajaran manual saja, melayani selera anak didik tadi? Ah ini dilema, yang pastilah menuntut saya tampil lebih adaptif lagi kan?
Sebenarnya nikmat mana lagi sih yang didustakan dari pembelajaran daring ini? Semuanya berjalan praktis memberikan pelajaran, tugas hingga akses penilaiannya. Tapi, tentu ada SKB yang harus dipenuhi.
1. Kesiapan guru yang harus adaptif teknologi, guna mentransfer ilmunya dalam bentuk digital.
2. Kesiapaan murid, plus dukungan orang tua murid, yang jua harus adaptif teknologi, guna menerima pembelajaran daring.
Nah, meski pendidikan sudah terlanjur dimanja teknologi, tak semua pihak selalu terbiasa dengan hal baru? Khususnya pendidik senior yang tak mudah beradaptasi digital. Dan hal itu masih menjadi tantangan bersama dikerjakan.
Dan tentu hal itulah yang mendorong, setiap yang terlibat, seakan hanya mau menentukan pilihannya sendiri kan?
Nah diperlukan kerja keras guru agar kreatif, mengeksplorasi sumber pembelajaran selama di kelas maya. Menyediakan kesegaran bahan ajar, dan menyajikannya menjadi âterjangkauâ oleh peserta didik. Tapi sampai kapan hal itu terus dijalani sih?
Nah, bagi saya, hybrid-learning, yakni kombinasi tatap muka dan maya, akan menjadi potensi tantangan selanjutnya melayani pendidikan kedepan. Meski kerumitannya bakal lebih tajam. Eh siapkah aku?
Learning to know, learning to do, learning to be dan learning together
Empat pilar pendiidkan itu menjadi tanggung jawab di pundak guru untuk dilaksanakan? Meski, kini teknologi menjadi tool yang mutlak digunakan. Namun, kita mampu bersepakat, jika teknologi tidak akan dapat menggantikan peran dan interaksi belajar-mengajar antara guru dan muridnya.
Namun adakah jalan mengenyahkan kekhawatiran akan hilangnya kesempatan belajar âlearning loss- akibat Pandemi?
Sepintas banyak asumsi menyebut, jika pembelajaraan daring hanya sebatas transfer ilmu, yang lambat laun menyumbat pembangunan karakter anak didik. Selain juga faktor pemicu kurang efektifnya kelas berjalan. Dan muaranya, memunculkan kesulitan dalam mengukur keberhasilan anak didik selama pembelajaran daring.
Padahal misi pembelajaran daring dan tatap muka harusnya tetap memanja empat pilar pendidikan untuk diwujudkan, untuk memperkuat karakter anak didik. Dengan cara mengharmonisasikan knowladge, skill dan attitude. Dan ketiganya sangat berkorelasi pada aspek kognitif, afektif dan jua psikomotorik. Kesimbangan ketiga hal itulah yang menstimulasikan bangunan karakter peserta didik.
1. Knowledge, memang mudah dieksekusi dari kelas daring, asal guru dan murid hadir, menjalankan hak dan kewajibannya.
2. Skill, didapat dari interaksi, namun jika interaksinya terbatas lewat virtual, hasilnya menjadi tidak maksimal?
3. Attitude, berkaitan dengan kompetensi, mengharmonisasikan critikal thinking, communication, collaboration dan creativity. Ketika kelas daring berjalan, yang dicapai biasanya sampai pada tingkatan knowledge saja. Hal itu bisa dilihat dari nilai peserta didik yang tinggi-tinggi. Karena yang dinilai hanya pengetahuannya saja?
Saya mau katakan, mencapai tingkatan skill dan attitude pembelajaran daring agak sulit tercapai. Padahal dua faktor ini bisa menstimulasi, faktor kepercayaan diri. Artinya anak didik yang pede, akan mampu membawa kreatifitas dan produktivitas. Pembawaannya pun akan penuh suka cita, dan hal itulah pencapaian pembangunan karakter yang kita impikan, melepaskan tanggung jawab sebagai guru kini dan kapan pun.
Sekelebat, kita pasti berfikir sulit sekali ya pembelajaran daring ini, untuk fokus dalam tujuan pendidikan yang sebenarnya? Atau kita menyerah, menunggu Pandemi ini berakhir saja?
Pandemi berakhir, tantangan pendidikan berakhir?
Membayangkan Pandemi usai, lantas apakah kita mampu melupakan kenangan indah pembelajaran daring itu? Cuek fokus pada pembelajaran tatap muka saja?
Ini, tentu hal yang mubazir juga dilakukan? Dimana pengorbanan, baik waktu, usaha, dan biaya bekerja keras sudah menghadirkan teknologi dan penerapannya.
Saya lantas beranggapan, Pandemi kini layaklah menjadi ujian sertifikasi guru sebenarnya, yang terbukti mampu mensimulasikan survival guru atas tekanan pembelajaran selama Pandemi.
Dan optimis, jika improvisasi pembelajaran daring kini, mampu pula dikombinasikan dengan pembelajaran tatap muka kemudian?
Jika kedua kolaborasi tampil apik, potensi hadirnya turbelensi apapun, tidak mudah menggoyahkan kualitas pendidikan masa depan kan? Membayangkan Pandemi hadir kembali âmisalnya- adalah sebuah keniscayaan. Namun bekal Hybrid-Learning yang mendaging akan siap melayaninya. Mau daring ataupun tatap muka nih?
Jika itu terjadi, sepentasnya-lah pengorbanan dan usaha para guru layak menyandang sertifikasi guru sesungguhnya? Terlebih bagi saya pribadi dan guru yang sudah bersertifikasi agar lebih serius menjadi pioner mewujudkan angan itu.
Pandemi, seyogyanya mengajak guru belajar bersama lagi kan? Yuk #GuruHebatBangsaKuat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.